mascipoldotcom – Ahad, 22 Mei 2022 (23 Syawal 1443 H)
Medan – Polda Sumatera Utara akan memperketat pengawasan terhadap Distribusi minyak Goreng dan mewanti-wanti jika ada oknum-oknum yang mencoba menyelewengkan pendistribusian minyak goreng (CPO).
Kapolda Sumut melalui Kabid Humas Kombes Hadi Wahyudi mengajak semua pihak khususnya di sumatera Utara untuk mendukung kebijakan strategis Presiden Jokowi. Sebab dengan dibukanya kembali keran ekspor, pastinya akan dapat meningkatkan kesejahteraan para petani sawit di Provinsi Sumut bahkan Di Indonesia
“Para petani sawit tentu sangat berterima kasih dengan kebijakan ini, dan Polda Sumut akan tetap mengawasi hal ini serta menindak tegas apabila ada oknum-oknum atau mafia yang mencoba menyelewengkan distribusi minyak goreng di Sumatera Utara,” kata Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi, Sabtu (21/5).
Menurutnya, pengawasan yang dilakukan Polda Sumut untuk memastikan distribusi minyak goreng sebagai kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi setelah ekspor minyak goreng (CPO) kembali dibuka Presiden Joko Widodo.
“Kita tidak ingin kejadian seperti dulu (langka) terulang, dan berharap setelah ekspor minyak goreng (CPO) kembali dibolehkan Bapak Presiden, kebutuhan pasokan minyak goreng di Sumut tetap stabil dan para petani sawit kembali bergairah,” tuturnya.
“Oleh karena itu, Kapolda Sumut sudah menginstruksikan seluruh Dirkrimsus dan para Kapolres untuk mengawasi secara ketat pendistribusian minyak goreng yang dilakukan perusahaan agar tidak sampai terjadinya penyelewengan. Sehingga pasokan minyak goreng tetap tersedia dan sesuai harga sebagaimana yang ditetapkan pemerintah,” tegas Hadi.(Leodepari)
____________________
Renungan
RINCIAN PENDAPAT TENTANG ZAKATNYA SAHAM
Pertanyaan
Saya mohon rincian penjelasan tentang hukumnya zakat saham pada perusahaan, apakah ada zakatnya atau tidak?, dan seberapa banyak ?
Jawab
Saham adalah hak patner dalam bisnis yang dihasilkan dari modal awal perusahaan bagi hasil. Saham dikenal juga dengan cek yang menetapkan hak tersebut. [Baca juga Al Ashum wa Al Sanadaat: 47. Mausu’ah al Musthalahat al Iqtishadiyyah wal Ihshaiyyah: 775]
Saham menghasilkan sebagian keuntungan bagi perusahaan, bisa berkurang dan bisa bertambah, mengikuti ritme keberhasilan perusahaan dan bertambahnya keuntungannya atau kerugiannya, dan dia pun terkena dampak dari kerugian tersebut; karena pemilik saham hakekatnya dia juga menjadi pemilik perusahaan sesuai dengan besar kecilnya sahamnya.
Harga saham.
Saham mempunyai beberapa harga sebagaimana berikut:
Nilai nominal, adalah nilai yang dibatasi bagi saham tertentu sejak awal pendirian perusahaan, hal itu tercatat dalam perjanjian saham.
Nilai Pembukuan, adalah nilainya saham setelah dipotong administrasi perusahaan, dan pembagian modal awalnya sesuai dengan jumlah saham yang ada.
Nilai Riil dari Saham, adalah nilai uang yang serupa dengan saham, pada saat perusahaan melakukan cuci gudang dan pembagian kepada anggota pemilik saham tersebut.
Nilai Pasar, adalah nilai saham yang dijual di pasar dan akan terus mengalami perubahan sesuai dengan permintaan dan penawaran.
Saham-saham yang ada berpeluang bisa berpindah-pindah antar satu orang dengan lainnya, sama dengan barang dagangan lain yang sebagian orang menjadikannya sarana untuk jual beli dengan mengharapkan keuntungan.
Telah disebutkan bahwa tidak masalah jual beli dengan sahamnya perusahaan, selama kegiatan perusahaan tersebut tidak diharamkan.
Bagaimana anda mengeluarkan zakatnya saham perusahaan?
Sebagian investor saham menjadikan sahamnya untuk bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan, sebagian yang lain menjadikannya untuk konsumsi dan bekerja tidak untuk diperjual belikan.
Adapun bagian yang pertama:
Saham menurut kelompok ini termasuk barang dagangan dan diperjual belikan di bursa efek, maka hukumnya sama dengan barang dagangan lainnya, dan zakatnya diambil sesuai dengan nilainya pada setiap akhir tahun.
Sedangkan bagian yang kedua:
Para ulama, pakar dan peneliti kontemporer berbeda pendapat, bagi mereka bagian ini mempunyai dua sisi:
1. Dianggap barang dagangan, tanpa melihat kegiatan perusahaan.
Mereka berkata: “Karena pemiliknya mendapatkan keuntungan darinya, sebagaimana setiap pedagang mendapatkan keuntungan dari barang dagangannya, maka dalam konteks ini saham termasuk barang dagangan”.
Yang menjadi dasar dari pendapat ini adalah: Biaya dan alat produksi sekarang ada zakatnya; karena menurut mereka semua itu termasuk harta yang berkembang.
Pendapat ini diusung oleh Muhammad Abu Zuhrah, Abdurrahman bin Hasan, Abdul Wahab Khollaf dan lain-lain.
2. Saham ini dibedakan hukumnya sesuai dengan jenis perusahaan yang menerbitkannya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama kontemporer, meskipun mereka berbeda pendapat di antara mereka pada rincian permasalahan tertentu.
Perusahaan saham ini dapat dibagi menjadi empat bagian:
1. Murni perusahaan industri yang tidak diperjual belikan, seperti perusahan cat, perusahaan hotel, perusahaan transportasi, semua itu tidak wajib membayarkan zakat pada sahamnya; karena nilai dari saham tersebut berupa alat, bangunan, perabot dan lain sebagainya yang dibutuhkan. Semua itu tidak ada zakatnya, akan tetapi yang ada zakatnya adalah pada keuntungannya saham tersebut jika sudah sampai nisab dan sudah mencapai satu tahun.
2. Perusahaan yang murni untuk bisnis, adalah perusahaan yang membeli barang lalu menjualnya tanpa dikenakan biaya transportasi, seperti perusahaan ekspor import dan perusahaan perdagangan luar negeri.
3. Perusahaan industri yang diperdagangkan adalah yang menggabungkan antara industri dan bisnis, seperti perusahaan tambang mentah, atau membelinya kemudian setelah itu terkena biaya transportasi, baru kemudian diperdagangkan, seperti perusahaan kilang minyak, perusahaan pemintalan dan penenunan, perusahaan besi dan baja, perusahaan kimia dan lain sebagainya.
Kedua model perusahaan tersebut (Perusahaan yang murni untuk bisnis dan Perusahaan industri yang diperdagangkan) sahamnya wajib dikeluarkan zakatnya, setelah dikurangi biasa bagungan, peralatan, dan peralatan lain yang menjadi hak milik perusahaan.
Kemungkinan bisa mengetahui netto nilai gedung, peralatan dengan merujuk pada modalnya perusahaan yang diaudit setiap tahunnya.
4. Perusahaan pertanian, yang bergerak pada sektor tanaman pangan.
Hal ini zakatnya mengikuti zakat tanaman dan buah-buahan, jika hasil panennya termasuk tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya, maka hendaknya dilihat setiap saham pertanian tersebut sesuai dengan kepemilikan saham tersebut, maka dia wajib membayarkan 1/10 jika diairi dengan irigasi tanpa biaya, dan 1/5 jika diairi dengan biaya, syaratnya yang menjadi bagian dari pemilik saham tersebut sudah mencapai nisab, yaitu’ 300 sha’.
Semua ini berdasarkan bahwa pabrik, gedung yang menjadi fasilitas umum, seperti hotel, mobil, dan lain sebagainya tidak ada zakatnya, kecuali keuntungannya saja yang wajib dizakati, jika sudah sampai nisab, dan sudah berlalu selama satu tahun.
Pendapat kedua di atas lah yang benar, karena saham itu menjadi bagian dari perusahaan, maka dalam hal zakat hukumnya mengikuti hukum perusahaan, baik berupa perusahaan industri, bisnis, atau pertanian.
Yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Abdurrahman Isa dalam bukunya: “Al Mua’amalat al Haditsah wa Ahkamuha”, dan Syeikh Abdullah al Bassam dan DR. Wahbah Zuhaili yang tertera pada Majalah Al Majma’ al Fiqhi: 4/742.
Al Bassam menyebutkan adanya perbedaan antara perusahaan bisnis dan perusahaan industri, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. [Majalah Al Majma’ Al Fiqhi: 4/1/725]
Perhatian:
Perlu diperingatkan bahwa perusahaan industri atau pertanian, berangkasnya bisa dipastikan menyimpan uang tunai, uang tersebut tidak ada perbedaan bahwa wajib dikeluarkan zakatnya,maka hendaknya dikira-kira setiap saham bernilai berapa dari uang tersebut, maka pemilik saham tersebut wajib membayarkan zakatnya, jika yang menjadi bagiannya sudah mencapai nisab, atau akan mencapai nisab jika digabungkan dengan uang lain yang menjadi miliknya.
Pendapat tersebut dinyatakan oleh DR. Ali As Salus sebagaimana yang dimuat pada Majalah Al Majma’ Al Fiqhi: 4/1/849.
Syeikh Ibnu Utsaimin juga memberikan peringatan:
“Jika seseorang sudah membeli saham-saham tersebut dengan tujuan untuk berbisnis dalam arti bahwa dia hari ini membeli saham tersebut kemudian menjualnya besok setiap kali akan mendapat untung, maka dia wajib membayarkan zakat dari saham tersebut setiap tahunnya, keuntungannya pun juga wajib dizakati.
Sedangkan jika saham tersebut untuk dikonsumsi (sebagai penghasilan) dan untuk dikembangkan, dan dia tidak ingin menjualnya, maka perlu dilihat, jika berupa uang –emas, perak atau uang kertas- maka wajib dizakati; karena uang, emas dan perak termasuk yang wajib dizakati, maka dalam keadaan seperti apapun tetap wajib dikeluarkan zakatnya.
Maka perlu ditanyakan kepada mereka yang bertanggung jawab pada rumah tersebut ada berapa banyak harta di berangkas mereka.
Namun jika berupa barang dan jasa, bukan emas, perak dan bukan uang, maka tidak perlu dibayarkan zakatnya, akan tetapi zakatnya berlaku pada keuntungan yang didapatnya saja, jika sudah berlalu selama satu tahun”. [Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/199]
Lajnah Daimah Lil Ifta’ pernah ditanya:
“Kami telah menginvestasikan harta kami untuk membeli saham perusahaan, dan sebagian perusahaan tersebut akan memotongnya untuk zakat yang syar’i sebelum dibagikan keuntungannya, dan sebagiannya yang lain tidak menganggap ada zakatnya, maka apakah diwajibkan membayar zakat pada modal utamanya atau hanya pada keuntungan dari perusahaan tersebut saja ?, perlu diketahui bahwa asal dari saham itu ada dua bagian:
Yang satu tujuannya untuk menerima keuntungan saja tidak untuk dijual belikan.
Yang satu lagi saham yang untuk diperjual belikan seperti barang dagangan.
Mereka menjawab:
“Dia wajib membayarkan zakat dari saham yang untuk diperjual belikan dan keuntungannya pada setiap tahunnya, dan jika perusahaan sudah membayarkan zakat dari masing-masing pemiliknya dengan seizin mereka, maka sudah dianggap cukup. Sedangkan saham yang ingin dijadikan investasi saja, maka zakatnya hanya dari keuntungannya saja, jika sudah berlalu selama satu tahun, kecuali jika saham itu berbentuk uang maka zakatnya wajib dikeluarkan dari modal dan keuntungannya”. [Fatawa Lajnah Daimah: 9/341]
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Sebagian lembaga bisnis membagi saham dari tanah hak milik dan lainnya, uangnya berada pada lembaga tersebut dalam jangka waktu yang lama, bisa jadi sampai bertahun-tahun, maka bagaimana cara membayarkan zakat dari saham tersebut ?, apakah pemilik lembaga tersebut boleh membayarkan zakat dari semua harta yang ada pada waktunya, kemudian dipotongkan modal dari masing-masing pemilik saham atau diambilkan dari keuntungan mereka sebelum dibagikan ?
Beliau menjawab:
“Saham yang diperjual belikan wajib dibayarkan zakatnya setiap tahunnya; karena menjadi barang dagangan, maka dinilainya dikruskan setiap tahunnya pada saat diwajibkan membayarkan zakatnya dengan membayar 2,5 %, baik harganya sama dengan pada saat membelinya, atau lebih mahal atau lebih murah.
Adapun jika pemilik lembaga tersebut yang membayarkan zakat dari semua anggota yang mempunyai saham, jika menjadi wakil dari mereka maka tidak apa-apa. Zakatnya diperkirakan sesuai dengan ketentuan tadi. Namun jika mereka tidak mewakilkan kepadanya maka dia tidak berhak membayarkan zakat mereka, akan tetapi menyampaikan kepada anggotanya bahwa sudah diwajibkan membayarkan zakat, agar mereka membayarkan zakat saham mereka masing-masing atau mereka mewakilkan kepada pemilik lembaga tersebut untuk membayarkan zakatnya. Jika yang mewakilkan hanya sebagian dari mereka, maka dia hanya berhak membayarkan zakat mereka yang mewakilkan saja.
Bisa dimaklumi bahwa jika dia membayarkan zakat mereka, dia akan memotong modal mereka atau diambilkan dari keuntungannya”. [Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/217]
Kesimpulan.
Bahwa jika pemilik saham itu ingin menjadikannya untuk bisnis dan mencari keuntungan, dan semua saham dari perusahaan bisnis wajib dibayarkan zakatnya pada modal dan keuntungannya.
Adapun perusahaan industri, maka kewajiban zakatnya hanya pada keuntungannya saja, jika sudah sampai nisab dan sudah berlalu selama satu tahun, dan tidak ada zakat bagi saham yang menjadi modalnya, kecuali jika sahamnya berupa uang dari brangkas perusahaan.
Sedangkan perusahaan pertanian, zakat sahamnya disamakan dengan zakat pertanian, jika termasuk tanaman yang wajib dizakati, dengan syarat yang menjadi bagian dari masing-masing pemilik saham sudah mencapai nisab, yaitu; 300 sah’, termasuk yang wajib dizakati adalah yang berupa uang dari berangkas perusahaan.
Apakah zakat itu diwajibkan kepada perusahaan saham atau kepada masing-masing pemilik saham ?
Sebagian pakar berpendapat bahwa zakatnya saham diwajibkan kepada perusahaan, alasan mereka adalah bahwa perusahaan saham mempunyai personal independen yang mumpuni, maka dia berhak mengatur keuangan yang ada, sedangkan zakat itu adalah kewajiban yang berkaitan dengan harta, maka dari itu tidak ada syarat bahwa pemiliknya harus berakal dan baligh.
Sanggahan dari pendapat di atas adalah bahwa meskipun perusahaan tersebut mempunyai personal independen, hanya saja personal tersebut tidak sah diwajibkan zakat kepadanya, karena yang menjadi syarat wajibnya zakat adalah Islam dan merdeka, dan seterusnya… dan sifat-sifat tersebut tidak dimiliki perusahaan.
Kemudian perusahaan kepemilikan hartanya hanya bersifat perwakilan dari semua anggota yang mempunyai saham, kepemilikan aslinya adalah mereka para investor, bukan milik perusahaan.
Mereka juga beralasan dengan dianalogikan dengan musyarakah (kerja sama / partnership) pada binatang ternak, maka zakat wajib dibayarkan pada harta yang berkumpul sebagai satu kesatuan, bukan pada harta masing-masing dari pemilik modal.
Jawaban dari alasan di atas adalah bahwa kewajiban zakat pada binatang ternak sebagai satu kesatuan bukan berarti bahwa diwajibkan bagi perusahaan karena dianggap sebagai personal independen, akan tetapi maknanya adalah pengumpulan semua harta dari para investor kemudian dihitung zakatnya seperti harta milik satu orang.
Jumhur ulama dan para peneliti berpendapat bahwa zakatnya dibebankan kepada tiap investor (pemilik modal / saham) –dan inilah yang benar-; karena investor adalah pemilik harta yang sesungguhnya, sedangkan perusahaan hanya menjalankan harta mereka dan sebagai wakil mereka, tentu disesuaikan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan pada peraturan perusahaan.
Karena zakat adalah ibadah yang membutuhkan niat pada saat membayarkannya, dan diberi pahala bagi yang mengeluarkannya dan berdosa bagi yang tidak mau membayarnya, semua itu tidak terbayang bisa didapatkan oleh sebuah perusahaan.
Siapa yang berhak membayarkan zakatnya saham, perusahaan atau pemilik saham?
Hukum asalnya yang berhak membayarkan zakatnya saham adalah pemiliknya, karena pemiliknya lah yang diwajibkan mengeluarkan zakat, akan tetapi tidak apa-apa jika perusahaan yang membayarkannya sebagai wakil dari para investor yang ada, Al Majma’ Al Fiqhi telah menyebutkan bahwa tidak masalah bagi perusahaan investasi yang membayarkan zakatnya pada empat kondisi:
“Jika perusahan tersebut menyebutkan pada peraturan pokoknya tentang masalah tersebut, atau ada semacam keputusan dari LSM atau menjadi undang-undang negara yang mewajibkan setiap perusahaan untuk membayar zakat, atau ada penyerahan dari pemilik saham agar perusahan yang membayarkan zakat dari sahamnya”. [Majalah Al Majma’ AL Fiqhi: 4/1/881]
Jumlah zakat saham
Jumlah zakat sahamnya perusahaan adalah 2,5 %, baik pemiliknya bertujuan untuk bisnis atau hanya untuk penghasilan tahunannya, karena jika tujuannya untuk bisnis maka dianggap sebagai barang dagangan, dan zakat barang dagangan adalah 2,5 %, dan jika hanya untuk dikonsumsi dan penghasilan tahunan, maka disamakan dengan tanah hak milik yang disewanya, dan sakatnya sewa gedung adalah 2,5 %.
Kapan mulai dihitungnya haul (masa satu tahun) dari saham-saham yang ada ?
Adapun saham-saham yang berada pada perusahaan bisnis, atau saham yang oleh pemiliknya diperjual belikan, maka keuntungannya mengikuti modal awalnya dalam masalah haul, karena laba dari perdagangan tidak dihitung haul sendiri, haulnya mengikuti haulnya modal awal, jika haulnya modal awal sudah mencapai nisab”. (Al Mughni: 4/75)
Perlu diperhatikan bahwa jika barang dagangan dibeli dengan emas, perak atau uang, haulnya tidak dimulai dari baru lagi sejak awal membelinya, akan tetapi berdasarkan haulnya harta yang telah dibeli (sebagi modalnya) jika sudah mencapai nisab.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Ketahuilah bahwa barang dagangan haulnya tidak dihitung dari satu tahun setelah pembeliannya, akan tetapi haulnya adalah ikut haul dari harta asalnya; karena sebenarnya adalah berbentuk uang dari modal anda yang anda rubah menjadi barang dagangan, maka hitungan haulnya berdasarkan haulnya harta pertama anda”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/234)
Adapun perusahaan industri yang mengumpulkan sahamnya untuk dikembangkan dan keuntungan tahunan, tidak untuk diperdagangkan, maka saham tersebut wajib dikeluarkan zakatnya dari keuntungannya saja, jika keuntungan tersebut sudah mencapai nisab atau mencapai nisab dengan ditambahkan dari hartanya yang lain, haulnya mulai dihitung dari awal mendapatkan laba tersebut, sebagaimana yang telah diputuskan oleh Al Majma’ Al Fiqhi dan Syeikh Abdullah Al Bassam.
Perlu diperhatikan bahwa saham dari perusahaan yang bergerak pada sektor pertanian, yang diwajibkan adalah zakat pertanian, yang berarti tidak ada syarat haul (berlalunya satu tahun) sesuai dengan kesepakatan para ulama, berdasarkan firman Alloh –subhanahu wa Ta’ala- :
( وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ )
“dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”. [Al An’am/6: 141]
[Al Mausu’ah Al Fiqhiyah: 23/281]
Maka zakat hasil panennya dihitung sendiri.
Bagaimana caranya menghitung nilai dari saham yang wajib dibayarkan zakatnya ?
Ada saham yang wajib dikeluarkan zakatnya –yaitu; saham yang diperjual belikan oleh pemiliknya atau saham dari perusahaan bisnis- maka zakatnya dibayarkan sesuai dengan nilainya di pasaran pada akhir tahun.
Karena saham-saham tersebut adalah menjadi barang dagangan, dan barang dagangan pada akhir tahun diperkirakan dalam bentuk uang kemudian zakatnya dibayarkan dari nilai tersebut, tanpa melihat nilai penamaan saham tersebut.
Adapun saham yang tidak ada zakatnya adalah saham perusahaan industri, maka pada akhir tahun tidak perlu diperkirakan nilainya; karena zakatnya hanya dari keuntungannya saja, bukan pada saham yang menjadi modalnya.
Syekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Zakat saham itu disesuaikan dengan harga riil atau dengan harga pasar atau bagaimana ?”
Beliau menjawab:
“Zakat pada saham atau yang lainnya dari barang dagangan, menyesuaikan harga pasar, jika pada saat membelinya harganya 1.000 kemudian naik menjadi 2.000 pada saat wajib membayarkan zakatnya, maka zakatnya mengikuti harga yang 2.000; karena yang dianggap adalah harga barang pada saat diwajibkan zakat bukan pada saat membelinya”. [Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 18/197]
Disalin dari islamqa