mascipoldotcom – Minggu, 10 April 2022 (8 Ramadhan 1443 H)
Jakarta – Polda Metro Jaya memastikan tidak akan menggunakan peluru tajam dalam pengamanan unjuk rasa BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) di Istana Negara pada Senin (11/4/2022) esok.
Hal ini mengikuti arahan dari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang meminta aparat tidak represif terhadap peserta aksi hingga menggunakan peluru tajam.
“Kami sudah siapkan, tentunya pelayanan kami kedepankan ke seluruh peserta demo dan tidak gunakan peluru tajam,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan kepada wartawan, Minggu (10/4/2022).
Lanjut Kombes Pol Zulpan, Polda Metro Jaya akan mengerahkan personil untuk mengawal aksi tersebut. Meski begitu, ia masih enggan mengungkap jumlah personel yang akan bersiaga.
“Polda Metro Jaya siap mengamankan ya. Kami akan menurunkan kekuatan sebanding dengan kekuatan yang melakukan kegiatan,” jelas Kombes Pol Zulpan.
Kombes Pol Zulpan memastikan, pelaksanaan unjuk rasa akan dikawal dengan baik dan humanis oleh kepolisian. Sesuai dengan arahan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran, sehingga tidak berimbas pada aktivitas masyarakat di bulan suci Ramadan.
“Pengamanan demo kami secara humanis,” pungkas Kombes Pol Zulpan. (Muhairo)
_____________
Renungan
Pertanyaan.
Apakah setiap kali bertemu, sebagai kaum muslimin wajib megucapkan salam? Tolong diperjelas!
Jawaban.
Hukum mengucapkan salam ketika bertemu adalah mustahab/sunnah. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits shahîh, antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُما أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Dari ‘Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Manakah Islam yang terbaik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal”.[1]
Adapun menjawab salam adalah wajib, karena diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. [an-Nisâ`/4:86].
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bahwasanya memulai salam adalah Sunnah, mustahab (disukai), tidak wajib. Yaitu Sunnah kifayah. Jika yang memberi salam itu sekelompok orang, ucapan salam satu dari mereka sudah mencukupi, jika mereka semua mengucapkan salam, itu lebih utama”.[2]
Beliau juga berkata: “Adapun menjawab salam, jika yang diberi salam itu satu orang, maka ia wajib menjawab. Jika mereka sekelompok orang, maka menjawab salam itu fardhu kifayah. Jika satu dari mereka sudah menjawab, yang lain tidak berdosa.
Jika mereka semua meninggalkannya (yakni tidak menjawab), mereka semua berdosa. Jika mereka semua membalas salam, maka itu puncak kesempurnaan dan keutamaan”.[3]
Hal ini dikecualikan para ahli bid’ah atau pelaku maksiat terang-terangan yang dihukum dengan hajr (pemboikotan), maka tidak diucapkan salam kepadanya dan salamnya tidak dijawab. Tetapi penerapan metode hajr salam ini menimbang mashlahat dan madharat sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.[4]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika seseorang menampakkan kemungkaran-kemungkaran, ia wajib diingkari dengan terang-terangan, dan tidak berdosa ghibah terhadapnya.
Dan dia wajib dihukum secara terang-terangan dengan perkara yang menghentikannya dari hal itu, dengan hajr (pemboikotan) atau selainnya.
Maka kepadanya tidak diucapkan salam dan salam darinya tidak dijawab, jika pelaku hajr itu mampu melakukannya dengan tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar”.[5]
Sehingga bukan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan hikmah, mereka menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah –padahal tidak ada bid’ah padanya- kemudian menghajrnya dengan salam atau lainnya.
Baca Juga Adab-Adab Buang Hajat Dalam Dienul Islam
Wallahul-Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.]
________
Footnote
[1] HR Bukhâri (no. 12), Muslim (no. 39).
[2] Al-Adzkâr, 1/548, Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilali.
[3] Al-Adzkâr, 1/549.
[4] Lihat Mauqif Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah min Ahlil-Ahwa` wal-Bida’, Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Amir ar-Ruhaili, hlm. 511-528.
[5] Majmu’ Fatâwâ, 28/217-218.