mascipoldotcom – Ahad, 10 April 2022 (8 Ramadhan 1443 H)
Lombok Timur – Komandan Kodim 1615/Lotim Letnan Kolonel Inf Amin Muhammad Said, SH., mengatakan para Bintara Pembina Desa (Babinsa) jajarannya terus mengefektifkan patroli malam untuk memberikan rasa aman dan nyaman selama bulan suci Ramadhan, Minggu (10/4/2022) malam.
Patroli yang dilakukan oleh Babinsa merupakan patroli rutin yang dilakukan setiap malam, bukan hanya pada bulan puasa.
Hal itu dilakukan menurut Amin, selain untuk menjaga kondusifitas wilayah, juga sebagai bentuk komunikasi sosial kepada warga binaan sehingga terjalin hubungan emosional yang baik antara TNI khususnya Babinsa dengan masyarakat.
“Jadi patroli ini banyak manfaatnya diantaranya terciptanya situasi wilayah yang kondusif, terjalinnya silaturahmi dan komunikasi sosial yang baik dengan masyarakat. Informasi dan aspirasi masyarakat juga diperoleh sebagai bagian dari pengumpulan keterangan,” bebernya.
Selain itu, ia juga menyampaikan melalui patroli rutin ini, masyarakat bisa lebih khusyuk menjalankan ibadah sepanjang bulan Ramadhan.
Orang nomor satu di jajaran Kodim 1615/Lotim itu juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama menjaga situasi keamanan lingkungan tempat tinggal agar keamanan dan ketertiban tetap terjaga dengan baik. (Hasna)
_____
Renungan
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [al-Anfâl/8:29]
Allah Azza wa Jalla Memanggil Dengan Panggilan yang Baik dan Menarik
Di ayat ini, Allah Azza wa Jalla memberikan contoh terbaik dalam mentarbiyah manusia agar mau menerima ajaran-ajaran-Nya. Allah Azza wa Jalla memanggil para hamba-Nya dengan sebutan terbaik ‘ wahai orang-orang yang beriman ‘.
Setelah itu, perintah atau larangan datang menyertainya. Panggilan ini mencakup seluruh umat Islam dengan berbagai strata keimanannya.
Baik mereka yang sudah mencapai derajat keimanan yang tinggi, atau masih berada dalam level pertengahan, maupun mereka yang keimanannya masih dangkal, mudah terpengaruh dengan fitnah-fitnah yang menerjang.
Orang yang baru memeluk Islam pun termasuk di dalamnya. Intinya, seluruh kaum mukminin dengan beragam tingkat keimanannya masuk dalam konteks ayat ini.
Penggunaan bentuk khithâb (arah pembicaraan) demikian ini mengandung dua manfaat sekaligus pada diri mukhâthab (kaum mukminin).
Pertama, ajakan kepada mereka supaya memahami konsekuensi gelar iman tersebut hingga tergerak untuk menyempurnakan keimanan mereka dan melengkapi seluruh cabang-cabangnya, secara lahiriah maupun batiniah.
Kedua, agar mereka ingat gelar sangat mulia itu dan pada gilirannya tertuntut untuk mensyukurinya dengan mematuhi perintah dan larangan-Nya.[1]
Sangat Penting, Wasiat Untuk Bertakwa Kepada Allah Azza wa Jalla
Perintah untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla senantiasa relevan dengan waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun.
Mengingat, ragam fitnah yang mengancam hati seorang hamba, lingkungan yang tidak kondusif ataupun lantaran hati manusia yang rentan mengalami perubahan dan sebab-sebab lainnya yang berpotensi menimbulkan pengaruh negatif pada keimanan dan ketakwaan.
Urgensi berwasiat untuk takwa dapat disaksikan dari kenyataan bahwa Allah Azza wa Jalla menjadikannya wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَاِيَّاكُمْ اَنِ اتَّقُوا اللّٰهَ ۗوَاِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَنِيًّا حَمِيْدًا
… dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang dibumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [an-Nisâ/4:131]
Ketakwaan juga merupakan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Pada haji wada’, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
Bertakwalah kepada Allah, kerjakan sholat lima waktu, berpuasalah di bulan (Ramadhan), tunaikan zakat harta kalian, taati para penguasa, niscaya kalian masuk syurga Allah. [HR. at-Tirmidzi. Lihat Shahîhul Jâmi’ no. 109]
Beliau juga menyampaikan pesan penting ini kepada pasukan ekspedisi (sariyyah) sebelum mereka berangkat menyelesaikan misinya. Dan ini, selanjutnya membudaya pada generasi Salaf sejak dahulu.
‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah berpesan:
أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ – عَزّ وَجَلَّ – فَإِنَّهُ مَنْ اتَّقَاهُ وَقَاهُ , وَمَنْ أَقْرََضَهُ جَزَاهُ وَمَنْ شَكَرَهُ زَادَهُ
Amma ba’du, sesungguhnya aku berwasiat kepadamu untuk bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla. Sungguh orang yang bertakwa kepada-Nya, Allah akan melindunginya. Barang siapa menginfakkan hartanya, niscaya Allah akan memberinya balasan. Barang siapa mensyukuri-Nya, niscaya akan diberi tambahan
Keutamaan Takwa Dalam Ayat di Atas
Ketakwaan (at-taqwa, Arab) bermakna luas. Hal ini dapat diketahui dari definisi para ulama yang menerangkan bahwa ketakwaan ialah upaya seorang hamba membuat pelindung antara dirinya dengan sesuatu yang ia takuti.
Dengan begitu, seorang hamba yang ingin bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, berarti ia ingin membangun pelindung antara dirinya dari Allah Azza wa Jalla Ta’ala yang ia takuti kemarahan dan kemurkaan-Nya, dengan melaksanakan amal ketaatan dan menjauhi larangan.
Berdasarkan keterangan Ibnul Jauzi rahimahullah[2], seseorang mesti menjaga hal-hal berikut hingga berhasil memperoleh ketakwaan:
Mata: Karena mata pemberi perintah kepada hati. Apa saja yang dilihat, akan ia kirim ke hati, baik yang diperbolehkan maupun terlarang. Dengan pelindung takwa, mata hanya mengirimkan obyek-obyek yang diperbolehkan saja kepada hati.
Telinga: Penerima suara-suara yang juga berperan besar mengantarkannya ke hati. Kebatilan yang datang lebih banyak ketimbang kebenaran.
Oleh sebab itu, kewajiban seorang hamba mengekang dari berbaur dengan kebatilan, dan menjauhkan diri dari orang-orangnya.
Bila mendengar perkataan, hanya mengikuti yang terbaik, dan mencerna yang paling selamat, dan memelihara telinga dari lainnya atau melontarkannya jauh-jauh bila telah sampai ke telinga.
Lisan: Terdapat 20 lebih pelanggaran yang dapat dilakukan oleh lidah. Bila ia dibentengi dengan kejujuran, ketakwaan akan menjadi sempurna dan kedudukan tinggi pun teraih.
Tangan: Alat untuk mengambil atau berbuat aniaya. Cara pemeliharaannya deng menahannya dari segala sesuatu kecuali yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla
Kaki : Untuk melangkah kepada hal-hal yang halal atau tidak. Pemeliharaannya dengan menghalanginya dari hal-hal yang tidak boleh.
Hati: Ini bagaikan lautan yang luas. Selain berfungsi positif, hati juga dapat melakukan perkara-perkara negatif.
Bila telah dibentengi, maka akan menanggalkan seluruh potensi buruknya, memenuhinya dengan niat yang murni dan melapangkannya untuk bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla .
Allah Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa penghuni syurga adalah al-muttaqîn (insan-insan yang bertakwa kepada-Nya).
Karenanya, sudah menjadi kewajiban seorang manusia (muslim) untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , guna menggapai pahala dari-Nya dan mengharap keselamatan dari siksa-Nya.
Ketakwaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla akan memunculkan banyak manfaat dan keutamaan. Secara khusus, dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla mengetengahkan empat keutamaan besar dari buah ketakwaan seseorang kepada Allah Rabbul ‘alamîn.
Dikatakan Syaikh al-Jazâiri , bahwa ayat ini merupakan himbauan dan anjuran untuk bertakwa dengan cara mengetengahkan manfaat-manfaat besarnya[3].
Manfaat-manfaat tersebut, ialah:
Pertama: Memperoleh furqân.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا
niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqân
Inilah manfaat pertama bila seseorang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla . Sebagian ulama memaknai kata furqân dengan pengertian makhraja, yaitu jalan keluar, sesuai dengan kandungan firman Allah Azza wa Jalla dalam surat ath-Thalâq/2 berikut ini :
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar
Sebagian lain, memaknainya dengan fathan (penaklukan kota musuh), nashran (kemenangan) atau najâtan (keselamatan).[4].
Sementara itu, Muhammad bin Ishâq rahimahullah mengatakan: “(niscaya dikaruniai) kata pemutus (fashlan) antara kebenaran dan kebatilan”.
Penafsiran terakhir ini dinilai Imam Ibnu Katsîr rahimahullah lebih kompleks dari apa yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan bisa mengandung konsekuensi-konsekuensi pengertian yang ada pada pendapat-pendapat sebelumnya. Lantas, beliau menjabarkannya dengan berkata:
“Barang siapa bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-larangan, akan mendapatkan taufik (kemudahan) untuk mengenali antara kebenaran dan kebatilan.
Dan itu (pada gilirannya) merupakan faktor yang mendatangkan kemenangan, keselamatan dan solusi bagi masalahnya di dunia dan kebahagiaannya di hari Kiamat”[5]
Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah dalam tafsirnya juga merajihkan pendapat Ibnu Ishaq rahimahullah[6]. Kata beliau, “Pendapat yang dikuatkan oleh ayat al-Qur`an dan bahasa Arab adalah pendapat Ibnu Ishaq rahimahullah. Sebab kata furqân merupakan bentuk washf (sifat, adjektif) yang berarti pembeda antara kebenaran dan kebatilan”.
Kemudian beliau membawakan beberapa ayat yang memuat makna sepadan dengan furqân yang ada dalam ayat di atas. Salah satunya, firman Allah Azza wa Jalla dalam surat al-Hadîd/57: 28 berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَاٰمِنُوْا بِرَسُوْلِهٖ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَّحْمَتِهٖ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ نُوْرًا تَمْشُوْنَ بِهٖ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌۙ
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami.Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Cahaya yang dimaksud dalam surat al-Hadîd/28 di atas maknanya ilmu dan hidayah guna membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Hal ini akan semakin jelas bila juga diperhatikan firman Allah Azza wa Jalla berikut ini, yang membicarakan mengenai orang yang kafir kemudian memperoleh hidayah Allah Azza wa Jalla dan memeluk Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ
Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia,…. [al-An’âm/6:122]
Allah Azza wa Jalla menjadikan cahaya yang disebutkan dalam surat al-Hadîd bermakna furqân yang termaktub dalam surat al-Anfâl. Begitu juga, pengguguran kesalahan dan penghapusan dosa yang merupakan buah ketakwaan juga disebutkan pula di surat al-Hadîd.[7]
Jadi, pengertian furqân ialah alat pembeda antara kebenaran dan kebatilan maupun saat menghadapi perkara-perkara musytabih (yang hakikatnya masih kabur).
Dengan ‘piranti’ ini, kaum muttaqîn (orang-orang yang bertakwa) – setelah dengan taufik dari Allah Azza wa Jalla – dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara yang berbahaya dan hal-hal yang bermanfaat, antara halal dan haram, serta orang-orang yang berbahagia dan orang-orang celaka di akhirat kelak.[8]
Termasuk dalam konteks ini, seseorang memperoleh ilmu dari Allah Azza wa Jalla yang tidak berhasil digapai orang lain. Dengan ketakwaan, seseorang mendapatkan tambahan hidayah, ilmu, pemahamahan dan hafalan.
Firasat juga Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada orang yang bertakwa. Dengan firasat shadiqah (benar), kendatipun hanya dengan melihat saja, seorang muslim mampu mengetahui si A berkata dusta, jujur, orang baik atau seorang yang berkepribadian jahat.
Bahkan terkadang ia dapat menilai orang lain meski belum pernah berinteraksi dengannya sekalipun karena memperoleh kekuatan firasat dari Allah Azza wa Jalla . [9]
Kedua: Penghapusan segala kesalahan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan
Ini artinya seseorang yang bertakwa, Allah akan memudahkannya untuk beramal sholeh yang nantinya menjadi penghapus dan menggugurkan dosa-dosanya. [10]
Ketiga: Pengampunan dosa-dosa.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَيَغْفِرْ لَكُمْ
dan mengampuni (dosa-dosa)mu.
Allah Azza wa Jalla memudahkan untuk beristighfar dan taubat. Itu termasuk nikmat Allah Azza wa Jalla yang tercurah pada seorang hamba yang bertakwa.[11]
Menurut pandangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah terdapat sisi persamaan antara manfaat kedua (pengguguran dosa) dengan manfaat ketiga (mengampuni dosa), baik secara mutlak (saat disebutkan sendiri-sendiri) dan saat keduanya disebut secara bersamaan. Takfîrudz dzunûb bermakna menghapuskan dosa-dosa kecil.
Sedangkan maghfiratudz dzunûb, demikian juga bermakna menghapuskan dosa. Namun dikhususkan pada dosa-dosa besar. [12]
Keempat: Pahala besar berupa Jannah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Bahwa penutup ayat di atas mengindikasikan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan mengutamakan ridha-Nya di atas keinginan nafsu pribadi akan memperoleh pahala agung dan ganjaran besar di akhirat, yaitu Jannah.[13]
Pelajaran Dari Ayat di Atas:
Keutamaan takwa yang sangat besar
Luasnya karunia Allah Azza wa Jalla bagi para hamba-Nya yang beriman
Furqân adalah cahaya di hati yang dipakai oleh orang bertakwa untuk membedakan antara perkara-perkara yang meragukan dimana kebenaran masih tampak kabur dan belum kentara. (Abu Minhal)
Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.]
____
Footnote
[1] Lihat al-Qawâid al-Hisân kaidah no. 9 hal. 30-31
[2] Ahkâmul Qur`ân (2/320-321) dengan diringkas
[3] al-Aisar (1/439)
[4] al-Jâmi Li Ahkâmil Qur`ân (7/347-348), Ahkâmul Qur`ân (3/321), Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm (4/43)
[5] Lihat Tafsirul Qur`ânil ‘Azhim (4/43), Jâmi’ul Bayân (9/264)
[6] Adhwâul Bayân (2/313)
[7] Adhwâul Bayân 2/313
[8] Silahkan lihat at-Taisîr hal. 330, al-Aisar (1/440)
[9] Kitâbul ‘Ilmi hal. 58
[10] Ibdi hal. 59
[11] Ibid
[12] at-Taisîr hal. 330
[13] Lihat at-Taisiir dan al-Aisar (1/440)