mascipoldotcom – Selasa, 06 Oktober 2020 (19 Safar 1442 H)
Jakarta – Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri, Komjen Pol Agus Andrianto, menerima audiensi dari pimpinan Badan Pengurus Pusat Asosiasi Badan Usaha Jasa Pengamanan Indonesia (BPP ABUJAPI), bertempat di Ruang Kerja Kabaharkam Polri, Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020.
Dalam kesempatan ini, Kabaharkam Polri didampingi oleh Kakorbinmas Baharkam Polri Irjen Pol Risyapudin Nursin dan Dirbinpotmas Korbinmas Baharkam Polri, Brigjen Pol Edy Murbowo. Sementara hadir dari BPP ABUJAPI Ketua Umum, Agoes Dermawan, dan Sekretaris, Surya Wisesa.
Audiensi beragendakan laporan terkait kesiapan pelaksanaan Rakor Sosialisasi Perpol Pamswakarsa kepada para Dirbinmas dan Ketua BPD Abujapi se-Indonesia, laporan gradasi warna seragam baru Satpam, dan hal-hal lain yang sifatnya urgent untuk pemuliaan profesi Satpam.
Terkait rencana sosialisasi Perpol Pamswakarsa, Komjen Pol Agus Andrianto memberi saran agar tak perlu ditunda-tunda lagi namun tetap wajib mempedomani protokol kesehatan. “Semakin cepat akan semakin bagus sosialisasi Perpol Pam Swakarsa kepada jajaran Binmas dan BUJP,” katanya.
Terkait seragam baru Satpam, Komjen Pol Agus Andrianto menegaskan bahwa ini adalah bukti nyata satu kebijakan pimpinan yang membawa perubahan besar untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ia pun mengucapkan terima kasih kepada ABUJAPI karena dengan pengadaan seragam Satpam yang baru, menyebabkan perekonomian nasional dapat berputar, karena seragam tersebut memanfaatkan produk lokal.
“Silakan dikelola secara baik oleh BUJP. Tidak ada dari Polri yang ikut-ikut andil atau mengelola dalam pengurusan seragam Satpam tersebut,” tegas Komjen Pol Agus Andrianto.
Selain itu, Jenderal Polisi Bintang Tiga itu juga mengingatkan bahwa sesuai kesepakatan seragam baru Satpam menggunakan gradasi warna 20 persen dari warna seragam Polri.
Terakhir, Komjen Pol Agus Andrianto meminta agar hubungan antara Korbinmas Baharkam Polri dan ABUJAPI semakin ditingkatkan.
“Dalam melakukan hubungan, pedomani simbiosis mutualisme. Kerja sama antara Korbinmas Baharkam Polri dan ABUJAPI jangan hanya bersifat formal saja tapi banyak hal yang harus dilakukan sehingga personel tetap sehat baik jasmani maupun rohaninya, sehingga hubungan antar organisasi semakin erat. Hubungan tersebut perlu ditingkatkan untuk hal-hal lain sepanjang itu bisa memberikan manfaat untuk masyarakat, terutama di masa-masa sulit akibat pandemi ini,” ungkap Komjen Pol Agus Andrianto. (Abink)
—————-
Renungan
Keberkahan Harta Di Tangan Orang Shalih
Oleh Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin
Manfaat harta yang bersih dan halal di tangan orang shalih sangat banyak. Ibarat pohon kurma yang tidak menyisakan bagian sedikit pun, melainkan seluruhnya bermanfaat untuk manusia, sehingga tidak ada alasan bagi seorang muslim yang ingin meraih hidup bahagia di dunia dan akhirat untuk bermalas-malasan dan berpangku tangan.
Dengan hidup berkecukupan, menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh. Oleh karena itu, harta di tangan seorang mukmin tidak akan berubah menjadi sarana perusak kehidupan dan tatanan sosial serta penghancur kebahagian keluarga. Harta di tangan seorang muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah,dan perekat hubungan dengan makhluk. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ.
Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih.[1]
Harta tersebut akan menjadi energi yang memancarkan masa depan cerah, menjadi kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan dunia akhirat, serta penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allah.
Allah berfirman
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [Al Baqarah : 274].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi pujian kepada seorang muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya di jalan kebaikan. Dari Abdullah bin Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta.[2]
Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan berpacu mengejar pahala dan meraih surga. Sebagai contoh, seperti yang terjadi pada kehidupan Umar yang bersaing secara sehat dalam berinfak di jalan Allah dengan Abu Bakar.
Dari Umar bin Al Khaththab, ia berkata: Pernah suatu hari Rasulullah memerintahkan kepada kami agar bersedekah. Dan ketika itu saya sedang memiliki harta yang sangat banyak. Maka saya berkata,”Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar,” lalu aku membawa separoh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah bersabda,”Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu? Saya berkata,”Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya,” lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai, Abu Bakar! Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Ia menjawab,”Saya tinggalkan untuk mereka, Allah dan RasulNya.” Maka aku berkata: “Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya”.[3]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan, juz 4, hadits no. 197 dan 202
[2]. HR Bukhari (1429), Muslim, (1033), Abu Dawud (4947), Ahmad dalam Musnad-nya, Nasaa-i dan Ibnu Hibban.
[3]. Riwayat Tirmidzi (3675), Hakim di dalam Mustadrak (1/414). Dia berkata, ”Shahih”
ETOS SEORANG MUSLIM (ANTARA KERJA DAN MENCARI ILMU)
Oleh Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin
Apabila kita mencermati kehidupan para ulama dan imam sunnah, mereka telah memberikan contoh dan teladan sangat mulia dalam menyeimbangkan antara kepentingan mencari ilmu dan kerja mencari nafkah. Bahkan para nabi dan rasul berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dalam penyebaran risalah dan dakwah. Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi Idris menjahit pakaian dan Nabi Daud membuat baju perang, sehingga bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allah. Maka, berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani dan berternak tidak berarti menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakkal. [1]
Inilah yang difahami para utusan Allah dan para ulama salaf, sehingga mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha. Meski begitu, mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seseorang yang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena Umar bin Khaththab ketika menjadi Khalifah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan, ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, setiap pagi pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Beliau bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah. Maka mereka berkata: “Bagaimana engkau berdagang, sementara engkau menjadi pemimpin kaum muslimin?!” Maka beliau menjawab: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?” Mereka menjawab: “Kalau begitu, kami akan memberikan jatah untukmu setiap hari separuh kambing dari harta baitul mal”. [2]
Cobalah renungkan kehidupan para utusan Allah dan para ulama salaf; kegiatan mereka dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka mengais rezeki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Oleh karena itu, kita harus bisa meneladani mereka, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mencari nafkah. Tidak malas bekerja, dengan alasan tidak bisa menuntut ilmu. Apapun bentuk usaha seorang muslim, yang penting halal dan diperoleh dengan cara yang benar; maka harus ditekuni dan dijalani dengan penuh suka cita, tidak perlu gengsi dan rendah diri.
Tidak perlu malu terhadap profesinya yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai profesi yang hina dan tidak bermartabat. Karena mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi, tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya menurut pandangan manusia; misalnya, seperti bekerja di perusahan asing yang ternama, atau posisi jabatan kelas tinggi, atau menduduki tempat yang banyak sabetannya. Namun, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha di hadapan Allah serta terpuji menurut syari’at.
Adanya paradigma yang salah dalam memandang sebuah usaha dan profesi, menyebabkan banyak manusia mengambil jalan pintas dalam memilih jenis pekerjaan, tidak lagi memperhitungkan halal haram, yang penting bisa bekerja mendapatkan duit berlimpah. Banyak di antara mereka yang kemudian terjerumus ke dalam usaha kotor yang sangat dimurkai Allah. Tidak jarang pula, di antara mereka saling bersitegang dalam kompetisi bisnis yang tidak sehat, saling menjatuhkan satu sama lain. Sehingga tujuan pokok dalam berusaha tidak terwujudkan, yaitu usaha untuk menopang hidup agar bisa tenang. Di sisi lain, terdapat sejumlah orang yang hidup bermalas-malasan dan enggan berusaha.
Alasan yang dikemukakan karena sibuk mencari ilmu. Atau karena beranggapan bahwa semua bentuk usaha tidak terlepas dari syubhat yang bisa merusak sikap zuhud dan tawakkal. Padahal siapapun yang menyangka bekerja untuk mencari nafkah bisa merusak tawakkal, pasti kebutuhan sehari-hari akan dipasok melalui infaq, sedekah, hadiah, berbagai bentuk patungan dan pemberian dari orang lain; bahkan terkadang mereka juga tidak segan-segan mencela orang mampu yang tidak mau membantunya. [3]
Sungguh sangat naïf bila kita melihat orang yang faham agama dan berakhlak mulia, namun mempunyai kebiasaan meminta-minta, suka mengeluh, menjadi beban orang lain, bermalas-malasan serta menghadapi kenyataan hidup dengan berpangku tangan. Benarlah yang dikatakan Umar bin Al Khaththab: “Sungguh terkadang aku kagum terhadap seseorang. Namun, setelah aku tanyakan apakah dia memiliki pekerjaan? Kalau mereka menjawab “Tidak” maka orang tersebut jatuh harga dirinya di hadapanku”. [4]
Sungguh tidak masuk akal, seseorang yang tidak pernah beranjak dari masjid untuk berdzikir dan i’tikaf, sementara keluarganya terlantar dan kebutuhan hidup dipasok orang lain. Manakah tanggung jawabnya sebagai orang yang faham agama, kalau ternyata kebutuhan hidup terkumpul dari patungan teman dekat dan para tetangga? Jawaban apa yang kita berikan di akhirat kelak, bila ternyata kewajiban rumah tangga kita yang menunaikan orang lain, baik orang tua, mertua, teman dekat atau sanak kerabat, padahal kita masih mempunyai kekuatan untuk bekerja? Maka Imam Syafi’i berkata: “Tidak halal harta sedekah bagi orang yang masih mempunyai kekuatan untuk bekerja”. [5]
Sudahkah kita berkaca dengan pandangan skeptis di atas, sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa sikap dan tindakan seperti itu sebagai kesalahan dan pengingkaran terhadap tanggung jawab? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِي اللَّهُ عَبْدًا رَعِيَّةً يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba diberi tanggung jawab kepemimpinan Allah, kemudian pada saat ia meninggal, ia curang terhadap yang dipimpinnya, melainkan Allah mengharamkan baginya Surga. [HR Bukhari dan Muslim]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Bari (4/l358) dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim (15/133).
[2]. Lihat Fathul Bari (4/357).
[3]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[4]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 301 dan Faraidul Kalam Min Khulafail Kiram, Asyur Al Hamudah, hlm. 111.
[5]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 380.