mascipoldotcom – Senin, 07 Desember 2020 (24 Rabi’ul Akhir 1442 H)
Namorambe – Tiga rumah semi Permanen di Dusun II Desa Tangkahan, Kecamatan Namo Rambe Kabupaten Deliserdang, Ludes di Lalap Sijago merah. Minggu (06/12/2020.sekira pukul 08.30 wib.
Diketahui dua rumah terbakar itu milik Tambar Purba (65) dan Satu Rumah milik Mentasi Bukit (52) keduanya warga Dusun II Desa Tangkahan Kecamatan Namo Rambe.
Informasi yang dihimpun di Mako Polsek Namo Rambe Minggu tanggal 06 Desember 2020 sekira pukul 13.30 wib, kalau berawalnya peristiwa itu pada hari minggu tanggal 06 oktober 2020, sekira pukul 09.00 wib, dimana saat itu Polsek Namo Rambe Polresta Deliserdang menerima informasi dari masyarakat bahwa di Dusun II Desa Tangkahan telah terjadi Peristiwa Kebakaran.
Mendapat informasi tersebut Kapolsek Namo Rambe Iptu Antonius Ginting, Pawas Iptu OJ. Samosir, SH dan personil piket 813 langsung turun ke TKP, dan setibanya di TKP bahwa benar telah terjadi peristiwa kebakaran 3 (tiga) unit rumah semi permanen yang mana api tersebut sudah mulai padam disiram warga setempat dengan alat seadanya, dan disaat bersamaan juga empat unit Mobil Pemadam kebakaran (Damkar) terdiri dari Satu unit Damkar dari Deli tua, Dua unit Damkar dari PT. Galatia Lestarindo Pancur Batu, dan Satu unit dari Lubuk pakam.
Dan selanjutnya bersama Personil Polsek Namo Rambe melakukan pemadaman terhadap Api sehingga sekira pukul 10.00 wib api dapat di padamkan.
Kapolsek Namo Rambe Iptu Antonius Ginting, ketika dikonfirmasi wartawan membenarkan atas peristiwa kebakaran tersebut, dan menjelaskan bahwasanya penyebab terjadinya kebakaran dikarenakan korslet listrik arus pendek.
” Dari hasil lidik pihak kepolisian sementara di TKP di ketahui bahwa penyebab terjadinya kebakaran diduga dari korslet listrik dari belakang dapur rumah Tambar Purba sehingga menimbulkan api sihingga menyebabkan kebakaran. Dan pada saat terjadinya kebakaran ketiga unit rumah tersebut dalam keadaan kosong yang mana pemilik rumah an.Tambar Purba bersama keluarganya sedang pergi melayat di dusun II desa tangkahan,” Jelas Kapolsek.
Lebih lanjut dijelaskan Kapolsek, kalau jumlah kerugian matariil korban belum dapat ditafsir, dan berbagai barang bukti sisa bakaran berupa Tabung gas elpiji, magic com sudah diamankan ke komando guna penyelidikan, Terang Iptu Antonius Ginting. (Leodepari)
——–
Renungan
CURANG DALAM TIMBANGAN DAN TAKARAN MENGUNDANG KERUSAKAN DI DUNIA DAN CELAKA DI AHERAT
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6)
PENJELASAN AYAT 1-3 :
Makna muthaffifîn
Kata wail (وَيْلٌ) artinya adzab yang dahsyat di akherat. Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.”[1]
Sementara kata التَّطْفِيفُ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya sesuatu yang sedikit.[2] (Pelakunya-red) disebut mutathaffif karena tidaklah ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan kecuali kadar yang sedikit.[3]
Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[4]
Allâh Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan berfirman[5] yang artinya, “Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (al-Muthaffifîn/83:1-6)
Praktek kecurangan mereka seperti yang diterangkan Allâh Azza wa Jalla , jika orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, maka mereka menuntut takaran dan timbangan yang penuh dan sekaligus meminta tambahan. Mereka meminta hak mereka dipenuhi dengan sebaik-baiknya, bahkan minta dilebihkan. Namun apabila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi kadarnya sedikit, baik dengan cara menggunakan alat takar dan timbangan yang sudah direkayasa, atau dengan tidak memenuhi takaran dan timbangannya, atau dengan cara-cara curang lainnya.
Mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yang sama dengan perlakuan untuk dirinya (dengan dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).[6]
Orang-orang yang melakukan kecurangan ini terancam dengan siksa yang dahsyat atau neraka Jahannam.
BAHAYA MENGURANGI TIMBANGAN DAN TAKARAN
Kecurangan tersebut jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dengan sesama.[7] Dengan demikian, bila mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yang curang walaupun sedikit saja berakibat ancaman doa kecelakaan. Dan tentu ancaman akan lebih besar bagi siapa saja yang merampas harta dan kekayaan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak.
Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Jika demikian ancaman bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan orang lain, maka orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan paksa dan mencurinya, ia lebih pantas terkena ancaman ini daripada muthaffifîn.[8]
Tentang bahaya kecurangan ini terhadap masyarakat, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah mengatakan, “Diawalinya pembukaan surat ini dengan doa kecelakaan bagi para pelaku tindakan curang dalam takaran dan timbangan itu menandakan betapa bahayanya perilaku buruk ini. Dan memang betul, hal itu merupakan perbuatan berbahaya. Karena timbangan dan takaran menjadi tumpuan roda perekonomian dunia dan asas dalam transaksi. Jika ada kecurangan di dalamnya, maka akan menimbulkan khalal (kekisruhan) dalam perekonomian, dan pada gilirannya akan mengakibatkan ikhtilâl (kegoncangan) hubungan transaksi. Ini salah satu bentuk kerusakan yang besar” [9]
PERINTAH MENYEMPURNAKAN TAKARAN DAN TIMBANGAN
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu [ar-Rahmân/55:9].
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya [al-An’âm/6:152].
Syaikh asy-Syinqîthi rahimahullah mengatakan, “Melalui ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan penyempurnaan (isi) takaran dan timbangan dengan adil. Dan menyatakan bahwa siapa saja yang tanpa kesengajaan terjadi kekurangan pada takaran dan timbangannya, tidak mengapa karena tidak disengaja”.
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa memenuhi takaran dan timbangan lebih utama dan lebih baik manfaat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya [al-Isrâ`/17:35].
Dalam ayat lain, perintah menyempurnakan takaran mengiringi perintah beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebab, pelaksanaan dua hal tersebut berarti memberikan hak kepada pemiliknya yang tepat, tanpa ada pengurangan. [10]
Orang yang menyalahi ketentuan yang adil ini berarti telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam ancaman kebinasaan. Dan sampai sekarang, praktek ini masih menjadi karakter sebagian orang yang melakukan jual-beli, baik pedagang maupun pembeli. Dengan mendesak, pembeli meminta takaran dan timbangan dipenuhi, dan ditambahi. Sementara sebagian pedagang melakukan hal sebaliknya, melakukan segala tipu muslihat untuk mengurangi takaran dan timbangan guna meraup keuntungan lebih dari kecurangannya ini.
Sejarah telah menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Syu’aib Alaihissallam kepada kaum yang melakukan kebiasaan buruk ini. Nabi Syu’aib Alaihissallam sudah menyeru kaumnya, suku Madyan (penduduk Aikah), agar menjauhi kebiasaan buruk itu.
Allâh Azza wa Jalla berfirman.
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ وَلَا تَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ ۚ إِنِّي أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيطٍ﴿٨٤﴾وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ﴿٨٥﴾بَقِيَّتُ اللَّهِ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۚ وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيظٍ
Dan kepada (penduduk) Madyan, (Kami utus saudara mereka), Syu’aib. Ia berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (Kiamat)”. Dan Syu’aib berkata, “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa keuntungan dari Allâh adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu [Hûd/11:84-86]
Namun kaum Nabi Syu’aib menolak dan mengingkari dakwah beliau. Allâh Azza wa Jalla mengisahkan mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah agamamu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami” [Hûd/11:87]
Beliau menjawab: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allâh aku bertawakkal dan hanya kepada-Nyalah aku kembali” [Hûd/11:88]
Akhirnya, Allâh Azza wa Jalla menghancurkan mereka dengan siksa-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah azab hari yang besar [asy-Syu’arâ/26:189]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَخَذَتِ الَّذِينَ ظَلَمُوا الصَّيْحَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دِيَارِهِمْ جَاثِمِينَ﴿٩٤﴾كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا
Dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya . Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. [Hûd/11:94-95]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ
Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka [al-A’râf/7:91]
Kurangnya pengetahuan (jahâlah) tentang tata cara berniaga dan berdagang yang baik dan syar’i merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi praktek kecurangan dalam takaran dan timbangan (serta perdagangan secara umum). Maka, menjadi kewajiban orang yang terjun di dunia bisnis (perdagangan) untuk mendalami fiqh buyû (hukum-hukum jual-beli dan muamalah Islam). Tujuannya, agar terhindar dari berbuat kecurangan, riba, dusta, kezhaliman dan kehilangan berkah.
Khalifah ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memperingatkan, “Orang yang belum belajar agama, sekali-kali jangan berdagang di pasar-pasar kami”.
Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah berkata, “Pedagang bila (pelaku bisnis) tidak faqih (paham agama) maka akan terjerumus dalam riba, kemudian terjerumus dan terjerumus (terus)”.
PENJELASAN AYAT : 4
Meskipun orang-orang yang curang dalam timbangan dan takaran itu, telah diancam dengan siksa, kecurangan itu tetap saja mereka lakukan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ عَظِيمٍ﴿٥﴾يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Tidakkah orang-orang yang mengurangi hak-hak manusia dalam timbangan dan takaran itu meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka setelah mereka mati, pada suatu hari yang sangat penting, dahsyat lagi menakutkan?”.[11]
Tidakkah mereka takut kepada hari kebangkitan dan saat berdiri di hadapan (Allâh) Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi dan tertutupi pada hari yang sangat besar bahayanya, banyak menimbulkan kesedihan, dan agung urusannya. Barangsiapa merugi, pasti akan dijerumuskan ke api yang menyala-nyala ?[12]
Kalaupun mereka tidak meyakini adanya hari pembalasan, bukankah lebih baik menganggapnya ada, kemudian merenungkannya, mencari tahu tentangnya, dan akhirnya berhati-hati mengambil langkah selamat dengan tidak mengurangi hak orang lain.[13]
Orang-orang yang melakukan praktek kecurangan (dan para pelaku dosa lainnya) akan menghadapi hukuman Allâh Azza wa Jalla pada hari itu. Hari yang besar. Allâh telah menyebutkannya sebagai hari yang besar sehingga menunjukkan keagungan dan pentingnya hari tersebut. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan hari itu sebagai hari yang menakutkan, menyengsarakan, meresahkan dan mengiris perasaan. (Lihat surat at-Takwîr, al-Insyiqâq dan al-Infithâr).
Semua orang akan menghadap Rabbul ‘alamin dari seluruh belahan bumi Timur dan Barat, dibangkitkan di atas satu tempat yang lapang. Satu hari pada masa itu sepanjang 50 ribu tahun. Matahari sangat dekat dengan mereka. Tidak ada pepohonan, bangunan atau apa saja yang bisa dijadikan tempat berteduh, kecuali naungan dari Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Pada hari yang besar ini, muthaffifûn akan merasakan balasan hukuman. Hendaknya orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang takut terhadap hari itu, dan bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla serta memberikan hak orang lain secara utuh (sempurna). Jika memberi tambahan, maka itu lebih baik. Hendaknya mereka juga mengambil hak mereka secara utuh, namun jika mau bertoleransi, maka itu lebih baik. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita.[14]
Di sini, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyimpulkan bahwa yang mendorong mereka berani berbuat kecurangan dalam menakar dan menimbang adalah karena mereka tidak mengimani Hari Akhir. Jika mereka mengimaninya, dan yakin bahwa mereka akan berdiri di hadapan Allâh k untuk memperhitungkan perbuatan mereka, yang besar maupun yang kecil, niscaya akan menahan diri dari praktek curang itu dan kemudian bertaubat darinya.”[15]
PENGARUH AYAT PADA PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu menceritakan, “Ketika pertama kali Nabi n datang ke (kota) Madinah, mereka (para penduduknya) termasuk manusia paling buruk dalam menakar. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menurunkan (ayat). Selanjutnya mereka memperbaiki cara penakaran.” (Riwayat Ibnu Mâjah dan Ibnu Hibbân dan dishahîhkan oleh al-Albâni).
Al-Farâ` mengatakan, “Mereka menjadi orang yang paling menyempurnakan takaran (dan timbangan) sampai hari ini.”[16]
CATATAN PENTING
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah mengingatkan, “Ayat ini meskipun berhubungan erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh atau pegawai jika ia menginginkan honornya utuh, namun ia datang kerja terlambat atau pulang terlebih dahulu, ia termasuk muthaffifin yang Allâh ancam dengan kecelakaan. Sebab jika gajinya berkurang 1 riyal saja, pasti akan berkata, “Kok kurang?”.
PELAJARAN DARI AYAT-AYAT
1. Ancaman berat bagi orang-orang curang dalam jual-beli (transaksi).
2. Bahaya curang dalam takaran dan timbangan.
3. Kewajiban manusia, memberikan seluruh milik orang lain yang menjadi tanggungannya.
4. Pentingnya umat memahami agama.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran) sudah ada dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Kenekadan dalam berbuat maksiat bertolak dari tipisnya keimanan orang kepada Hari Akhir.
7. Semua orang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia di hadapan Allâh Azza wa Jalla .
8. Setiap orang harus adil dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.
9. Penetapan adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan dan Hari Hisab.
10. Agungnya Hari Kiamat, hari manusia berdiri di hadapan Rabbul alamin untuk memperhitungkan amal hamba dan membalasnya.
11. Pentingnya pembinaan umat berbasis iman kepada Hari Akhir. Wallâhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/219, Aisar 2/
[2]. Jâmi’u al-Bayâni fi Ta`wil Ay al-Qur`ân, ath-Thabari 15/114, al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/219, Tatimmah Adhwâul Bayân 9/91
[3]. al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/219.
[4]. Jâmi’u al-Bayâni fi Ta`wil Ay al-Qur`ân, 15/114, Ahkâmul Qur`ân , Ibnul ‘Arabi, 4/274
[5]. Tatimmah Adhwâul Bayân 9/91, Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân , as-Sa’di, hlm. 999
[6]. Silahkan lihat al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/220
[7]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm.999
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân 1001
[9]. Tatimmah Adhwâul Bayân 9/91
[10]. Tatimmah Adhwâul Bayân 9/93
[11]. Jâmi’u al-Bayâni fi Ta`wil Ay al-Qur`ân 15/115
[12]. Tafsîru al-Qur`ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsîr 8/347
[13]. al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/222
[14]. Syarh Riyâdhi ash-Shâlihîn, al-‘Utsaimîn 2/1466
[15]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân hlm. 1001
[16]. Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 19/218