mascipoldotcom – Selasa, 08 Desember 2020 (25 Rabi’ul Akhir 1442 H)
BENGKALIS – Sudah saat nya Pilkada 9 Desember 2020 ini nanti menjadi ajang kesempatan untuk membangun kesamaan sikap, terutama dengan yang namanya politik uang (Money politic), potensi itu harus benar-benar tidak lagi menjadi tolak ukur pemilihan, terutama bagi pemilih, jangan sampai dirusak Iman Kita dengan nilai Uang atau Hadiah yang tidak seberapa itu, Yang Akan Merusak Moral dan Presedium Buruk Nantinya Pemimpin Terpilih Nantinya, selain dari perbuatan nya merugikan dan secara peraturan perundang-undangan pun tidak membolehkan, diantaranya masuk bagian sebagai perusak demokrasi.
“Dan itu harus menjadi kesadaran Kita bersama sebut Yhovizar. SH. salah seorang advokat (Pengacara) asal Bengkalis, ia mengatakan imbas buruk dari transaksional politik itu sangat banyak merugikan, selain nantinya publik akan diabaikan karena merasa sudah di beli dan daerah pun rentan akan praktek abnormal “korupsi”..! apalagi kan contoh nyatanya nampak, luruskan saja Bupati Kabupaten Bengkalis Amril mukminin yang hasil akhir kepemimpinan tragis memalukan, Kabupaten Bengkalis Tempat Kelahiran Saya Viral dengan KORUPSI nya dimata Nasional , itu akibat penyakit moral,” terang yovi.
Dikesempatan ini, yovi juga coba berbagi informasi mengenai larangan hukum, khususnya bagi masyarakat awam yang sebagai pemilih, hal ini perlu diketahui sebut yopi karena isinya peraturan larangan atas praktek pelangaran politik suap. masyarakat wajib tau atas sanksi UU Pilkada targetnya tidak hanya sebatas pada si pemberi tapi juga penerima di perlakukan sama, pasal di dalamnya mengatur akan hal itu berarti bisa kita pahami sebagai instruksi negara yang tegas melarang praktek-praktek tidak sehat,” jelasnya.
Sebagai pegangan bersama atas undang-undang pilkada yang sudah di sahkan, UU nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan Kepala daerah Gubernur, Bupat/walikota, sebagaimana yang di bunyikan pada pasal 187 A bagi setiap orang yang dengan sengaja terbukti melawan hukum baik lansung maupun tidak lansung yang coba mempengaruhi dan menjanjikan imbalan uang akan dapat di pidana sesuai dengan ketetapan peraturan tersebut. sebagai ancaman nya pun serius ada kurungan dan denda,” tutur yopi.
“Sebagaimana bunyi pasal 187 A, ayat (1) menjelaskan, setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 73(4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, denda dua ratus juta hingga satu miliar Rupiah.
Lalu sanksi pada ayat (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kemudian Sebagai Tambahan nya untuk ditegaskan, Pilkada Serentak 2020 bisa gugur jika terbukti melakukan pelanggaran politik uang. Seperti yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam frasa UU 10 2016 ayat 2 berbunyi, sanksi administratif berlaku untuk pasangan calon, apabila paslon terbukti melakukan politik uang, Bawaslu dapat melakukan pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.
“Paslon yang terbukti melakukan politik uang secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) bisa terkena sanksi diskualifikasi,”
yovi menyebutkan aturan ini juga berlaku pada pilkada 9 desember 2020 nanti, dan Juga Pada Pemilihan nanti nya Bertepatan dengan “Hari Anti Korupsi Sedunia” menurutnya Menyadarkan Pemilihan Tanggal Pada moment itu Untuk Lebih Bijak, masyarakat harus berhati-hati karena kawatir pemilih terjebak akibat kurang memahami akan ancaman Politik uang, dan lagi jual beli suara dalam pemilihan itu tergolong mencederai demokrasi yang secara rasionalitas tidak fair,” tutupnya. (Anhar Rosal)
——–
Renungan
FENOMENA SUAP
Pertanyaan.
Bagaimana hukum suap atau sogok ? Karena di era sekarang ini masalah suap atau sogok seakan sudah biasa dan orang cenderung tidak takut untuk melakukannya. Bagaimana pula hukum gaji yang didapatkan dari pekerjaan yang diprolehnya dengan cara suap tersebut?
Jawaban.
Risywah (suap) secara bahasa artinya pemberian. Menurut istilah, suap adalah suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang supaya dia dimenangkan atau supaya bisa mengarahkan si penerima untuk melakukan apa yang diinginkan si pemberi.[1] Atau, suap adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. [2]
Suap atau sogok hukumnya haram, apalagi bertujuan menghalangi suatu yang haq. Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang Yahudi yang suka mengambil suap. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [al-Mâidah/5: 42]
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
Dari Abdullâh bin ‘Amr, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan orang mengambil yang suap”. [3]
Dalam riwayat Ibnu Mâjah rahimahullah dengan lafazh :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى
Dari Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu , dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laknat Allâh terhadap orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap”.
Syaikh Bin Baaz rahimahullah mengatakan, “Tidak disangsikan lagi bahwa suap dan berbagai perbuatan zhalimnya termasuk kategori al-baghy yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْلِي لِلظَّالِمِ فَإِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ ثُمَّ قَرَأَ : وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menunda adzab bagi orang yang zhalim. Apabila Allah Azza wa Jalla menyiksanya, maka Allah Azza wa Jalla tidak akan melepaskannya. Kemudian Rasulullah membaca firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya): Dan begitulah siksa Rabbmu, apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya siksa-Nya sangat pedih dan sangat berat [Hûd/11:102][4]
Sungguh merupakan sebuah fenomena yang memperihatinkan, berbagai peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat berkait dengan upaya suap-menyuap, baik dalam memutuskan suatu hukum, meraih suatu jabatan atau pekerjaan atau lainnya. Selayaknya umat Islam tidak melakukannya. Bahkan seharusnya, kaum Muslimin berada diberisan terdepan dalam mengingkarinya sesuai dengan kemampuannya, baik dengan tangan atau kekuasaan, lisan atau perkataan atau minimal mengingkari dengan hatinya.
Bukan sebaliknya, hanyut mengikuti arus yang salah serta tenggelam dalam kemaksiatan. Karena itu hanya akan menyebabkan ia celaka di dunia dan akhirat. Hendaklah orang yang beriman selalu ingat bahwa dunia itu fana, kematian bisa datang kapan saja. Lalu setelah akan datang kehidupan akhirat yang berisi perhitungan dan pembalasan terhadap semua perbuatan. Maka orang yang berakal seharusnya lebih mengutamakan kebaikan akhirat yang kekal daripada dunia yang sementara. Hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Tempat mengadu.
Adapun orang yang telah terlanjur mendapatkan pekerjaan dengan cara suap, maka dia harus benar-benar bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Sedangkan gajinya, jika memang dia bekerja dengan baik dan amanah, mudah-mudahan itu merupakan haknya,
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah, 2/6260)
[2] Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah, 2/7819)
[3] HR. Abu Dâwud dan Tirimidzi. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albâni dalam Shahîhut Targhîb, 2/261, no. 2211)
[4] HR Bukhâri dalam kitabut Tafsîr, no. 4686 dan Muslim dalam Kitâbul Bir, no. 2583. Lihat Kitâbul Fatâwâ Syar’iyyah Fî Masâilil ‘ashriyyah min Fatâwa Ulamâ Baladil Harâm, hlm. 630