mascipoldotcom – Jum’at, 09 Oktober 2020 (22 Safar 1442 H)
Jakarta – Enam Pos Polisi milik Polres Metro Jakarta Pusat rusak akibat aksi massa yang berakhir ricuh terkait penolakan UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10).
“Ada 6 pos polisi kita yang terbakar. Ada yang rusak ringan dan berat. Lima pos itu masuk kerusakan berat karena dibakar, sementara satu pos rusak ringan,” ujar Kasatlantas Polres Metro Jakarta Pusat Kompol Lilik Sumardi saat dikonfirmasi, Jumat.
Kompol Lilik mengatakan lima pos dengan kerusakan berat di antaranya adalah Pos Polisi Tugu Tani, Pos Polisi Simpang Lima Senen, Pos Polisi Megaria, Pos Polisi Roxy dan Pos Polisi Cut Meutia.
“Kalau yang ringan cuma satu di Senen. Pos Polisi Carolus, itu tergolong ringan karena kacanya saja yang pecah,” ujar Kompol Lilik.
Pos Polisi yang rusak itu untuk sementara akan digantikan fungsinya menggunakan tenda darurat agar polisi dari Satuan Lalu Lintas tetap dapat memantau kondisi lalu lintas di titik-titik itu.
“Saat ini tenda baru ada di Pos Polisi Tugu Tani, sementara yang lainnya sedang kita proses untuk pengadaan,” kata Kompol Lilik.
Sementara itu, untuk Pos Polisi Simpang Harmoni dan Pos Polisi dekat Patung Kuda Arjuna Wiwaha yang tergolong mengalami kerusakan dengan kategori berat akan ditangani langsung oleh Polda Metro Jaya.
“Dua titik itu penanganannya langsung ke Polda Metro Jaya,” ujar Kompol Lilik. (H Muhairo)
———-
Renungan
Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama
الإِتْلاَفُ يَسْتَوِيْ فِيْهِ الْمُتَعَمِّدُ وَالْجَاهِلُ وَالنَّاسِيْ
Perbuatan Merusakkan Barang Orang Lain Hukumnya Sama, Apakah Terjadi Karena Kesengajaan, Ketidak Tahuan, Atau Karena Lupa
Kaidah ini memberikan patokan dalam perbuatan seseorang yang melakukan perusakan, baik kepada jiwa ataupun harta orang lain. Kaidah ini juga menjelaskan bahwa barangsiapa yang merusakkan barang orang lain tanpa alasan yang benar, maka ia wajib mengganti barang yang ia rusakkan tersebut atau membayar ganti rugi kepada pemilik harta. Sama saja, apakah kerusakan tersebut terjadi karena kesengajaan olehnya, atau karena tidak tahu, atau karena lupa.
Maka kewajiban mengganti barang atau membayar ganti rugi tersebut tidaklah terbatas pada perusakan yang dilakukan dengan sengaja. Bahkan kewajiban terebut tetap berlaku meskipun perbuatan perusakan dilakukan tanpa kesengajaan, atau ketidak tahuan, atau karena lupa. Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla mewajibkan pembayaran diyat (ganti rugi) dalam pembunuhan yang terjadi karena khatha’ (tersalah).
Adapun sisi perbedaan antara perusakan yang dilakukan secara sengaja dengan yang dilakukan tanpa kesengajaan adalah ada tidaknya dosa sebagai akibat perbuatan tersebut. Seseorang yang melakukan perusakan dengan sengaja, tentulah mendapatkan dosa, berbeda dengan orang yang melakukannya dengan tanpa kesengajaan atau ketidak tahuan.
Beberapa contoh penerapan kaidah tersebut adalah :
1. Seseorang yang melepaskan hewan piaraannya, kemudian hewan itu merusak harta orang lain atau memakan tanaman orang lain, maka ia wajib membayar ganti rugi kepada pemilik harta atau pemilik tanaman, meskipun kerusakan terjadi bukan karena kesengajaan darinya.
2. Seseorang yang melepaskan hewan piaraannya yang biasa menyerang manusia, kemudian hewan itu menyerang manusia di pasar-pasar atau di tempat-tempat lain, maka ia wajib membayar ganti rugi. Bahkan hal itu bisa dikategorkan sebagai perbuatan merusak yang dilakukan secara sengaja.
3. Seseorang yang sedang ihrâm dalam ibadah haji atau umrah dilarang untuk membunuh shaid (binatang buruan). Apabila ia membunuh binatang buruan maka wajib baginya untuk membayar jazâ’ (denda). Sama saja apakah ia membunuhnya dengan sengaja atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur Ulama’, termasuk empat imam madzhab.[1]
Namun demikian, dalam masalah ini masih ada perbedaan pendapat. Di mana sebagian Ulama’ lain berpendapat bahwa kewajiban membayar denda tersebut wajib bagi orang yang membunuh binatang buruan dengan sengaja.[2] Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تَقْتُلُوْا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. [al-Mâidah/5:95]
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat. Karena sesuai dengan makna yang terkandung dalam ayat di atas. Adapun yang membedakan kasus ini dengan contoh-contoh sebelumnya adalah bahwa hal ini berkaitan dengan hak Allah Azza wa Jalla . Yaitu bahwa hukuman atas pelanggaran terhadap hak Allah Azza wa Jalla terkait dengan niat orang yang melanggar. Berbeda dengan contoh-contoh sebelumnya yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia. Wallâhu a’lam.
.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Badâi’us Shanâ-i’ 2/188, 195, dan 201. Al-Bahrur Ra-iq 3/13. Mawâhibul Jalîl 3/154. Hasyiyatud Dasûqi 2/52. Al-Majmu’ 7/342. Nihâyatul Muhtaj 2/452. Al-Furu’ 3/462. Al-Inshaf 3/527-528.
[2]. Ini adalah salah satu pendaat dalam madzhab Hambali. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, dan Ibnu Hazm (I’lâmul Muwaqqi’în 2/50, Al-Furu’ 3/463, Al-Inshâf 3/528, Al-Muhalla 7/214)