Panglima TNI Pastikan Kesiapan Tenaga Tracer Covid 19 di Yogyakarta 1

Panglima TNI Pastikan Kesiapan Tenaga Tracer Covid-19 di Yogyakarta

mascipoldotcom, Rabu, 28 Juli 2021 (18 Dzulhijjah 1442 H)

Yogyakarta – Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, didampingi Kepala BNPB Letjen TNI Ganip Warsito, Pangdam IV/Dip Mayjen TNI Rudianto dan Gubernur AAU Marsda TNI Nanang Santoso meninjau langsung kesiapan tenaga tracer di Kelurahan Maguwoharjo Kapanewon Depok dan Puskesmas Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (28/7/2021).

Peninjauan yang dilakukan oleh Panglima TNI untuk memastikan kesiapan tenaga tracer yang terdiri dari Babinsa, Babinpotmar, Babinpotdirga dan Bhabinkamtibmas serta relawan yang akan menggunakan aplikasi “Silacak” untuk mempermudah monitoring penyebaran dan penanggulangan Covid-19 di Tanah Air.

Di Puskesmas Berbah, Panglima TNI disambut oleh Kepala Puskesmas Berbah dr. Heri Pratomo, M.Kes., dan menyaksikan praktek penggunaan aplikasi Silacak yang dilaksanakan oleh Serka Sujarwanto Babinpotdirga dari Lanud Adi Sutjipto.

Pada kesempatan tersebut, Panglima TNI memuji para Babinsa, Babinpotmar, Babinpotdirga, Bhabinkamtibmas serta para relawan yang menjadi tenaga tracer Covid-19. “Saya bangga atas kerja luar biasa yang dilakukan para Babinsa dan Bhabinkamtibmas, termasuk unsur-unsur dari masyarakat yang bekerja keras untuk memutus mata rantai penularan Covid 19,” ungkap Panglima TNI.

Panglima TNI menjelaskan bahwa memutus rantai penyebaran Covid-19 merupakan suatu pekerjaan yang tidak ringan karena mulai dari mendapatkan notifikasi terkait kasus konfirmatif, kemudian harus menelusuri, mewawancarai masyarakat yang tertular atau yang kontak erat ketika ditemukan kasus positif Covid-19.

“Permasalahan dilapangan tidak mudah untuk mencari orang yang terpapar Covid-19 karena harus mencari satu persatu masyarakat yang disinyalir melakukan kontak dengan orang yang postif Covid-19,” ungkap Panglima TNI.

Saat ini ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menelusuri kasus Covid-19, pertama dengan cara digital yang dilaksanakan oleh tracer digital dan yang kedua adalah tracer lapangan. “Bila tracer digital menemui kendala maka dilakukan tracer lapangan untuk mewawancarai langsung masyarakat yang menjalin kontak erat dengan pasien Covid-19,” ujar Panglima TNI.

Menurut Panglima TNI, wilayah Maguwoharjo ini zonasinya masuk pada kategori kuning dan hijau, hal itu berkat kerja keras para tenaga tracer digital dan tracer lapangan serta seluruh tenaga kesehatan yang ada di wilayah ini. “Kunjungan saya ke wilayah Maguwoharjo untuk melihat secara langsung bagaimana sistem kerja yang saudara-saudara lakukan untuk saya tularkan ke wilayah lain,” ucap Panglima TNI.

Panglima TNI juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh tenaga tracer, baik dari TNI dan Polri serta para relawan dari masyarakat. “Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas keberhasilan yang saudara-saudara sekalian lakukan mulai dari tracing kontak erat yang dipersyaratkan oleh WHO”, kata Panglima TNI. (Muhairo)

———–

Renungan

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Banyak kaum Muslimin sekarang ini yang meremehkan masalah shalat, bahkan sebagian mereka berani meninggalkan shalat dan tidak mengerjakannya sama sekali. Karena problem ini adalah problem besar yang menimpa umat ini, maka saya ikut membahasnya sesuai kemampuan saya.

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Masalah ini termasuk masalah besar yang diperdebatkan oleh para Ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekufuran yang menyebabkan dia keluar dari Islam, dia diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.”

Imam Abu Hanifah rahimahullah, Mâlik rahimahullah dan Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah orang fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya. Menurut Imam Mâlik rahimahullah dan Syâfi’i rahimahullah, “Orang yang meninggalkan shalat diancam hukuman mati sebagai hadd”, sedangkan menurut Imam Abu Hanîfah rahimahullah, “dia diancam hukuman sebagai ta’zîr (peringatan), bukan hukuman mati.”

Jika permasalahan ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib bagi kita adalah mengembalikannya kepada kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allâh. [As Syûrâ/42:10]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa/4:59]

Juga karena pendapat masing-masing pihak yang berselisih memiliki kedudukan yang sama, oleh karena itu masalah ini wajib dikembali kepada al-Qur’ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jika kita kembalikan permasalahan yang diperbedatkan ini kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah, kita akan dapati keduanya menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar (murtad) dari Islam.

Pertama : Dalil Dari Al-Qur’an:

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” [At-Taubah/9:11]

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun. [Maryam/19:59-60]

Sisi pendalilan pada ayat kedua, surat Maryam (yang menunjukkan orang yang meninggalkan shalat itu kafir) yaitu Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, “kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, kondisi mereka tidak beriman.

Pada ayat yang pertama, dalam surat at-Taubah, sisi pendalilannya yaitu Allâh Azza wa Jalla telah menentukan tiga syarat agar terjalin ukhuwah antara kaum Muslimin dengan kaum musyrikin. Tiga syarat tersebut adalah:

Mereka bertaubat dari syirik.
Mereka mendirikan shalat
Mereka menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita. Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama kita.

Ikatan persaudaraan karena agama itu tidak dinyatakan hilang atau lepas kecuali jika seseorang itu keluar dari agama secara mutlak. Persaudaraan ini tidak dinyatakan hilang karena perbuatan fasik dan perbuatan kufur yang tidak menyebabkan seseorang murtad.

Perhatikanlah firman Allâh Azza wa Jalla tentang hukuman qishâsh karena membunuh:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) .” [Al-Baqarah/2:178]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla masih menyebut orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara dari orang yang dibunuhnya, padahal pembunuhan dengan sengaja termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” [An-Nisâ/4:93]

Kemudian cobalah kita perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla tentang dua golongan dari kaum Mukminin yang berperang:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴿٩﴾إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Dan jika ada dua golongan dari kaum Mukminin berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allâh), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”. [Al-Hujurat/49:9-10]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla masih menetapkan ikatan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang Mukmin termasuk kekufuran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan yang lainnya, dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran

Namun kekufuran jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Seandainya kekufuran ini menyebabkan keluar dari Islam maka tentu tidak lagi dinyatakan sebagai saudara seiman, sementara ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak meski berperang mereka masih saudara seiman.

Dengan demikian jelas bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekufuran yang tidak menyebabkan keluar dari Islam, maka tentu persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang Mukmin.

Jika ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat at-Taubah tersebut ?

Jawabnya : Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian Ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun terancam hukuman berat, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Diantaranya hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:

ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ

… Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.

Hadits ini panjang diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab, “Dosa Orang yang tidak mau Membayar Zakat.”

Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.

Jadi, manthûq (yang tersurat) dari hadits ini harus lebih didahulukan daripada pemahaman (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat at-Taubah di atas, karena (dalam ilmu ushul fiqh dijelaskan) bahwa manthûq (kalimat yang tersurat atau tertulis) lebih didahulukan dari pada mafhûm (pemahaman yang tersirat).

Kedua: Dalil Dari As Sunnah

Diriwayatkan dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan juga kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman] .

Diriwayatkan dari Buraidah bin al-Hushaib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka ia benar benar telah kafir.” [HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Mâjah dan Imam Ahmad]

Kekufuran yang dimaksudkan di sini adalah kekufuran yang menyebabkan keluar dari Islam. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai pemisah antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir.

Diriwayatkan dalam Shahîh Muslim, dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Baca Juga Kesenangan Hati Terletak Dalam Shalat
سَتَكُوْنُ أُمَـرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا

Akan ada para pemimpin, dan diantara kalian ada yang mengetahui dan menolak (kemungkaran kemungkaran yang dilakukannya). Barangsiapa mengetahui bebaslah ia, dan barangsiapa menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barangsiapa yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita memerangi mereka? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”

Diriwayatkan pula dalam Shahîh Muslim, dari Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ

‘Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian sukai dan merekapun menyukai kalian, mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kalian yang paling jahat adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian.’ Beliau n ditanya, ‘Ya Rasulullah! Bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkungan kalian.”

Kedua hadits terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kekafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allâh Azza wa Jalla , berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubâdah bin ash Shâmit Radhiyallahu anhu :

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, dan kamipun membai’at Beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya di atas kepentingan kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan yang ada buktinya bagi kalian dari Allâh.”

Atas dasar ini, maka perbuatan mereka yang meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syarat bolehnya menentang dan memerangi mereka dengan pedang termasuk kufur bawwâh (kekafiran nyata) yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allâh nanti.

Tidak ada satu nash pun dalam al-Qur’ân ataupun as-Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah Mukmin.

Jika ada pertanyaan: Apakah boleh nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu dibawa pengertiannya atau diberlakukan (khusus) pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat?

Jawab:
Tidak boleh, karena akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya:

Pertama: Menghapuskan ketentuan (sifat) yang telah ditetapkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dijadikan sebagai dasar hukum.

Allâh Azza wa Jalla telah menetapkan hukum kafir dengan sebab meninggalkan shalat, bukan dengan sebab mengingkari kewajibannya. Allâh Azza wa Jalla menetapkan persaudaraan seagama atas dasar pendirian shalat, bukan atas dasar pengakuan terhadap wajibnya shalat. Allâh tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad n pun tidak bersabda, “Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.

Kedua: Menjadikan ketentuan (sifat) yang tidak ditetapkan oleh Allâh sebagai landasan hukum.

Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya yang tidak memiliki udzur bil jahhl (artinya pengingkaran dilakukan bukan karena tidak tahu hukumnya-red), baik dia masih mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.

Jika ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut tanpa ada udzur (alas an), maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.

Dengan demikian, jelas bahwa membawa pengertian kafir akibat meninggalkan shalat kepada kafir akibat menentang wajibnya shalat adalah sebuah kekeliruan. Dan yang benar ialah orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkan dia keluar dari Islam, sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hâtim dalam kitab Sunan, dari Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita:

لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ

Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allâh sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam.

Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur nikmat bukan kufur millah (yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:

اثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.

Juga Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”

Jawab:

Membawa pengertian kufur (akibat meninggalkan shalat) kepada kemungkinan-kemungkinan yang di atas tidak benar, karena beberapa alasan:

Pertama: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang Mukmin dan orang-orang kafir. Dan (yang namanya-red) batas tentu akan membedakan apa yang dibatasi serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang terpisahkan itu berbeda dan tidak bisa bercampur antara yang satu dengan yang lain.

Kedua : Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyematan gelar kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu rukun Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu perbuatan-perbuatan kekafiran lainnya.

Ketiga: Keberadaan beberapa nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir dengan kekafiran yang menyebabkan ia keluar dari Islam.

Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti tertera padanya, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan tidak saling bertentangan.

Keempat : Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang kufur akibat meninggalkan shalat, Beliau n bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, dalam kitab al Îmâ]

Dalam kalimat ini digunakan kata yang ada “al“nya, dalam bentuk ma’rifah (tertentu), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara” sebagai kata kerja, maka itu menunjukkan bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan kekufuran, tapi bukan kekufuran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.

Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil di atas, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang juga merupakan salah satu pendapat Imam asy-Syâfi’i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allâh Azza wa Jalla dalam surat Maryam, ayat ke-59 dan 60.

Juga disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Kitâb ash-Shalât bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syâfi’i. Ath-Thahawi menukilkan demikian dari Imam Syâfii sendiri.

Pendapat inilah yang dipegangi oleh mayoritas Shahabat, bahkan banyak Ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ para Shahabat.

Abdullah bin Syaqîq mengatakan, ”Para sahabat Nabi g berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lima Ulama perawi hadits lainnya. Beliau t menilai hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).

Ishaq bin Rahawaih rahimahullah, seorang imam terkenal mengatakan, “Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.” Dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para Ulama sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”

Ibnu Hazm rahimahullah menuturkan bahwa pendapat ini datang dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum, dan ia berkata, “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara Shahabat Nabi yang menyelisihi pendapat mereka ini.”

Keterangan Ibnu Hazm rahimahullah ini telah dinukil oleh al-Mundziri dalam kitabnya at-Targhîb wat Tarhîb, dan beliau menyebutkan tambahan nama Shahabat yaitu Abdullah bin Mas’ûd, Abdullah bin Abbâs, Jâbir bin Abdullah, Abu Darda’ Radhiyallahu anhum. Lalu al-Mundziri rahimahullah mengatakan, “Dan diantara para Ulama yang bukan dari kalangan Shahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishâq bin Rahawaih, Abdullah bin al Mubârak, an Nakhâ’i, al Hakam bin Utaibah, Ayub as-Sikhtiyâni, Abu Daud at-Thayâlisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”

Jika ada pertanyaan: Apa jawaban atau bantahan terhadap dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?

Jawabnya adalah:
Tidak disebutkan (secara gamblang-red) dalam dalil-dalil tersebut bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau masih Mukmin, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.

Siapapun orang yang memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari empat bagian (kategori) dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.

Kategori pertama: Dalam dalil-dalil yang mereka sebutkan tidak ada yang cocok menjadi pijakan pendapat yang mereka dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia kehendaki.” [An-Nisâ/4:48]

Firman Allâh “مَا دُونَ ذَٰلِكَ ” maksudnya adalah dosa-dosa yang lebih kecil daripada syirik, bukan dosa-dosa yang selain dosa syirik, berdasarkan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah kafir dengan kekufuran yang tidak diampuni, padahal dosa akibat mendustakan ini tidak termasuk dosa syirik. (Ini menunjukkan ada dosa lain yang tidak diampuni selain dosa syirik-red)

Andaikata kita menerima bahwa firman Allâh “مَا دُونَ ذَٰلِكَ ” maksudnya adalah dosa-dosa selain syirik, ini pun masih masuk dalam kategori al âmm al makhsûs (dalil umum yang sudah dikhususkan maknanya), dengan nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekufuran yang disebabkan oleh selain perbuatan syirik dan kekufuran yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam itu termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.

Kategori kedua: Dalil umum yang sudah dikhususkan dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Misalnya: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ

Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allâh dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allâh akan haramkan ia dari api neraka.

Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz yang senada dengan ini dari Abu Hurairah, Ubâdah bin Shâmit dan Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhum.

Kategori ketiga: Dalil umum yang muqayyad (sudah dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalkan shalat. Misalnya, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu :

فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan LAA ILAHA ILLALLAH dalam rangka mencari wajah Allâh [HR. Al-Bukhâri]

Juga dalam hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ

Tidak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allâh, dan Muhammad adalah utusan Allâh, dengan ikhlas dari hatinya (semata-mata karena Allâh), kecuali Allâh haramkan ia dari api neraka. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Orang yang mengucapkan dua syahadat yang diharamkan masuk neraka yaitu yang terpenuhi syarat dua syarat ikhlas dan kejujuran hati. Jika dua syarat ini terpenuhi, maka mustahil seseorang meninggalkan shalat. Karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam syahadatnya niscaya dan pasti kejujuran dan keikhlasannya akan mendorongnya untuk melaksanakan shalat. Karena shalat merupakan tiang agama Islam, serta media komunikasi antara hamba dengan Rabbnya.

Jika ia benar-benar mencari wajah Allâh, tentu ia akan melakukan apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi penghalangnya.

Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat dua syahadat secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allâh, dan mengikuti tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang benar.

Kategori keempat: Dalilnya muqayyad (terbatasi maknanya) oleh suatu kondisi yang diperbolehkan dalam kondisi tersebut untuk meninggalkan shalat. Misalnya hadits Ibnu Mâjah rahimahullah, dari Hudzaifah ibnul Yaman, ia mengatakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ (وفيه) وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا

Islam ini akan hilang sebagaimana hilangnya perhiasan yang ada pada pakaian (dalam hadits itu terdapat ungkapan) dan tinggallah beberapa kelompok orang, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami di atas kalimat “LAA ILAHA ILLALLAH” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka)

Shilah bin Zufar berkata kepada Hudzaifah, “Tidak berguna bagi mereka kalimat “LAA ILAHA ILLALLAH”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, puasa, haji, juga zakat.”, maka Hudzaifah Radhiyallahu anhu menoleh kearahnya seraya menjawab, ”Wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka.

Orang-orang di atas yang terselamat dari neraka dengan sebab kalimat syahadat saja adalah orang-orang yang memiliki udzur untuk tidak melaksanakan syari’at Islam, karena mereka tidak mengenalnya. Apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi mereka sama dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum syari’at Islam diwajibkan, atau sebelum sempat mengerjakan syari’at Islam, seperti orang yang meninggal dunia setelah mengucapkan dua kalimat syahadat sebelum sempat melaksanakan syari’at Islam yang lain, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum sempat mengenal syari’at ia meninggal dunia.

Kesimpulannya, dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, tidak bisa membantah dalil-dalil yang dipergunakan oleh yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka pergunakan, adakalanya tidak mengandung sesuatu yang bisa dijadikan landasan dalam masalah ini; Atau adakalanya terikat dengan suatu sifat yang jika sifat itu ada maka tidak mungkin dia akan meninggalkan shalat; Atau adakalanya dalil mereka terbatasi oleh suatu kondisi yang bisa menjadi udzur bagi seseorang untuk tidak shalat; Atau adakalanya mereka bersifat umum tapi sudah dikhususkan dengan nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.

Jika sudah terbukti kekufuran orang yang meninggalkan shalat berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, maka hukum kafir dan segala konsekuensinya dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat. Diantara konsekuensinya adalah orang yang meninggalkan shalat tidak boleh dinikahkan dengan wanita Muslimah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]