mascipoldotcom, Sabtu, 21 Nopember 2020 (6 Rabi’ul Akhir 1442 H)
PURWAKARTA- New Normal Dimasa Pandemi covid 19 Wisata Alam Taman Batu tutup hari libur sabtu dan minggu.
Pantauan awak media terpampangnya informasi papan baliho di salah satu prapatan kp pasir madang desa cipeundeuy kecamatan bojong purwakarta,arah masuk menuju wisata alam taman batu.
Diketahui keterangan baliho tersebut wisata alam taman batu dibuka senin sampai jum’at sementara hari libur sabtu dan minggu ditutup.
Saat di tanya Salah satu warga yang tidak sebutkan namanya kapan baliho informasi tersebut di pasang,ia mengatakan oleh salah security taman wisata batu.
” Baliho tadi bang di pasangnya sama securiry taman wisata alam batu,kata dia,Sabtu (21/11/2020).
Selain itu Bupati purwakarta ambu Anne Ratna Mustika,mengatakan kunjungan wisatawan akan di batasi sampai 14 hari dikhawatirkan pada warganya, kenaikan terkonfirmasi covid 19.
“Akhirnya kami membatasi pengunjung wisata jumlah pengunjung saat weekend maksimal 30 persen dan diseluruh lokasi tempat wisata juga akan ditempatkan tim satgas penanganan Covid-19,kata Anne sebagaimana mestinya diberitakan di media online (**eq)
———-
Renungan
Manusia dan perjalanan, dua sisi yang seakan tidak terpisahkan. Sebagian besar atau bahkan seluruh umat manusia di seluruh dunia pernah melakukan perjalanan, ada yang jauh dan ada pula yang dekat, dengan intensitas yang berbeda. Kebutuhan mereka yang sangat banyak dan bervariasi serta tersebar diberbagai tempat menuntut mereka melakukan perjalanan demi memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Hukum asal bepergian ke segala penjuru bumi adalah mubah (diperbolehkan) dalam Islam, selama tidak melanggar hal-hal yang dilarang dalam syariat Allâh Azza wa Jalla.
Allâh Subahnahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah (Allâh) yang menjadikan bumi itu mudah bagimu (untuk ditelusuri), maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan [Al-Mulk/67:15]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Arti ayat ini adalah bepergianlah kamu ke segala penjuru bumi sesuai dengan keinginanmu! Serta telusurilah semua tempat dan pelosoknya untuk berbagai macam usaha dan perniagaanmu! Ketahuilah usaha yang kamu lakukan tidak bermanfaat sedikitpun bagimu, kecuali jika Allâh k memudahkan hal itu bagimu.” [Kitab Tafsir Ibni Katsir, 4/510]
Perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini, “… maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya” adalah perintah mubâh (hukumnya boleh dan tidak dilarang). Bentuk perintah ini bertujuan untuk memperlihatkan keagungan anugerah-Nya kepada para hamba-Nya. [Lihat kitab Tafsir al-Qurthubi, 18/188 dan Fathul Qadîr, 5/367]
Akan tetapi, perjalanan yang hukum asalnya mubâh (boleh, tidak mendatangkan pahala dan juga tidak menyebabkan dosa) ini bisa berubah menghasilkan pahala atau menyebabkan dosa, tergantung tujuan dari perjalanan itu sendiri. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Sesungguhnya (basalan) amalan-amalan itu tergantung niatnya [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Oleh karena itu, para Ulama membagi safar (perjalanan) menjadi beberapa bagian. Masing-masing memiliki hukum dan konsekuensi. Ada yang membaginya menjadi tiga jenis yaitu safar taat, safar mubah dan safar maksiat. Safar taat berbuah pahala jika dilakukan dengan niat ikhlash karena Allâh Azza wa Jalla, begitu juga safar mubah jika diniatkan untuk mendukung ketaatan. Sedangkan safar maksiat menimbulkan dosa, misalnya safar untuk melakukan pencurian, perampokan atau berbagai perbuatan maksiat lainnya.
Ada pula yang membaginya menjadi safar harab (lari dari berbagai keburukan menuju kebaikan) dan safar thalab.
Diantara bentuk safar harab yaitu safar dari negeri kafir ke negeri Islam; Safar dari negeri atau tempat yang didominasi oleh segala yang diharamkan syari’at menuju negeri atau tempat yang didominasi oleh yang halal; Safar dari negeri atau tempat dimana kaum Muslimin tertindas dan disiksa secara fisik menuju tempat yang aman bagi mereka dan lain sebagainya.
Adapun safar thalab (mencari atau menuntut) macam lebih banyak lagi. Diantaranya, safar untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah; Safar untuk menuntut ilmu; Safar menuju medan jihad fi sabilillah; Safar untuk menziarahi saudaranya seiman. Mengenai hal ini, kita perlu mengingat sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan tentang seseorang yang menziarahi saudaranya seiman disebuah perkampungan. Dia menziarahinya karena Allâh Azza wa Jalla bukan karena yang lain. Lalu Malaikat yang diutus ke orang itu mengatakan:
فَإِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيْهِ
Sesungguhnya aku ini adalah utusan Allâh Azza wa Jalla kepadamu (untuk memberitahukan) bahwa sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allâh [HR. Muslim]
Subhanallâh, alangkah bahagianya. Semoga kita termasuk orang-orang yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla.
Berdasarkan uraian di atas, seyogyanya kita senantiasa berpikir dan bermusyawarah sebelum melakukan perjalanan agar perjalanan kita lebih bermanfaat dan menghasilkan pahala, bukan sebaliknya.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]