mascipoldotcom, Selasa, 6 Juli 2021 (26 Zdulkaidah 1442 H)
Jakarta – Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Ganip Warsito menyatakan masa karantina bagi seluruh pelaku perjalanan internasional yang masuk wilayah Indonesia menjadi 8×24 jam dari sebelumnya 5×24 jam.
Ketentuan tersebut terdapat dalam addendum Surat Edaran Satgas No. 8 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Covid-19.
“Seluruh pelaku perjalanan internasional baik yang berstatus WNI maupun WNA harus mengikuti persyaratan, pada saat kedatangan dilakukan tes ulang RT-PCR dan diwajibkan menjalani karantina selama 8×24 jam,” jelas Ganip dalam konferensi pers secara virtual, Minggu (4/7/2021).
Addendum tersebut berlaku mulai 6 Juli 2021 sampai waktu yang ditentukan kemudian dikeluarkan dengan tujuan melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi dalam rangka mencegah terjadinya peningkatan Covid-19, termasuk varian barunya.
Ganip menjelaskan, ketentuan karantina tersebut berlaku bagi WNI seperti Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar, mahasiswa atau pegawai pemerintah yang kembali dari perjalanan dinas luar negeri.
Ini sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Satgas Covid-19 No. 11 Tahun 2021 tentang pintu masuk, tempat karantina dan kewajiban RT-PCR dengan biaya ditanggung pemerintah.
Bagi WNI di luar kriteria itu dan WNA, termasuk diplomat di luar kepala diplomat asing dan keluarga kepala perwakilan asing, menjalani karantina di tempat akomodasi karantina yang telah mendapatkan sertifikasi dari Kemenkes dengan biaya yang ditanggung mandiri.
Dalam hal kepala perwakilan asing dan keluarga yang bertugas di Indonesia dapat melakukan karantina mandiri di kediaman masing-masing selama 8×24 jam. Selanjutnya, bagi seluruh pelaku perjalanan internasional tersebut dilakukan tes RT-PCR pada hari ketujuh.
Jika hasilnya negatif maka setelah 8×24 jam selesai dilakukan karantina dan diperkenankan melanjutkan perjalanan tetapi dianjurkan untuk melakukan karantina mandiri selama 14 hari dan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Namun, jika hasil tes RT-PCR positif maka dilakukan perawatan di rumah sakit bagi WNI dengan biaya ditanggung oleh pemerintah, sedangkan WNA seluruh biaya ditanggung sendiri.
Ketentuan lain yang ditambahkan dalam SE tersebut, yaitu WNI harus menunjukkan kartu atau sertifikat baik fisik maupun digital telah divaksin Covid-19 dosis lengkap.
Jika WNI belum mendapatkan vaksin di luar negeri maka akan divaksinasi di tempat karantina setelah dilakukan pemeriksaan RT-PCR kedua dengan hasil negatif atau tujuh hari masa karantina.
Begitu pula WNA, wajib menunjukkan kartu atau sertifikat baik fisik maupun digital telah menerima dosis lengkap vaksin Covid-19. WNA yang sudah berada di Indonesia yang akan melakukan perjalanan baik domestik maupun internasional diwajibkan untuk melakukan vaksinasi melalui skema program atau gotong royong sesuai peraturan perundang-undangan.
Pengecualian menunjukkan kartu vaksin bagi WNA pemegang visa diplomatik dan visa dinas yang terkait kunjungan resmi kenegaraan pejabat asing setingkat menteri ke atas dengan skema Travel Corridor Arrangement sesuai prinsip resiprositas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. (Muhairo)
———-
Renungan
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu’alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai bahwa Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba’du:
Termasuk diantara hikmah yang Allah ta’ala berikan kepada seorang hamba ialah dengan diberinya berbagai macam jenis cobaan. Dan diantara cobaan yang diberikan pada mereka ialah cobaan sakit bagi orang yang sedang dirundung sakit. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:
وَٱذۡكُرۡ عَبۡدَنَآ أَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّي مَسَّنِيَ ٱلشَّيۡطَٰنُ بِنُصۡبٖ وَعَذَابٍ – ٱرۡكُضۡ بِرِجۡلِكَۖ هَٰذَا مُغۡتَسَلُۢ بَارِدٞ وَشَرَابٞ – وَوَهَبۡنَا لَهُۥٓ أَهۡلَهُۥ وَمِثۡلَهُم مَّعَهُمۡ رَحۡمَةٗ مِّنَّا وَذِكۡرَىٰ لِأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ – وَخُذۡ بِيَدِكَ ضِغۡثٗا فَٱضۡرِب بِّهِۦ وَلَا تَحۡنَثۡۗ إِنَّا وَجَدۡنَٰهُ صَابِرٗاۚ نِّعۡمَ ٱلۡعَبۡدُ إِنَّهُۥٓ أَوَّابٞ [ ص : 41-44]
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabbnya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum”. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabbnya)”. [Shaad/38: 41-44].
Imam Ibnu Katsir mengatakan: ‘Ayat ini sebagai peringatan bagi siapa saja yang sedang diberi ujian oleh Allah ta’ala pada tubuhnya, atau hartanya, atau anaknya. Maka bagi orang yang diberi ujian seperti itu, ternyata dirinya mempunyai suri tauladan yaitu Nabi Allah Ayub ‘alaihi sallam, yang mana Allah ta’ala telah memberi ujian kepadanya dengan cobaan yang lebih besar dari hal itu, namun beliau tetap sabar serta mengharap pahala dari Allah Shubhanahu wa Ta’ala sampai akhirnya –Dia menghilangkan penyakit yang diderita oleh beliau”.[1]
Terkadang seorang mukmin diberi ujian oleh Allah Shubhanahu wa Ta’ala dengan suatu penyakit disebabkan karena kelalaianya dengan sebagian kewajiban yang diperintahkan Allah Shubhanahu wa Ta’ala kepadanya, sehingga penyakitnya tersebut menjadi semacam penghapus dari dosa-dosanya. Allah ta’ala berfirman:
لَّيۡسَ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا [النساء: 123]
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah”. [an-Nisaa’/4: 123].
Dan ada beberapa hikmah di balik sebuah musibah, diantaranya adalah:
1. Sebagai penghapus dosa dan kesalahan.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari musnadnya Zuhair, yang menceritakan: “Aku kabarkan bahwa Abu Bakar pernah bertanya kepada Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Rasulallah, apa yang dimaksud ayat ini:
لَّيۡسَ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ [النساء: 123]
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu“.[an-Nisaa’/4: 123].
Apakah setiap kejelekan yang kita kerjakan pasti ada balasannya? Maka Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « غَفَرَ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْتَ تَمْرَضُ أَلَسْتَ تَنْصَبُ أَلَسْتَ تَحْزَنُ أَلَسْتَ تُصِيبُكَ اللَّأْوَاءُ قَالَ بَلَى قَالَ فَهُوَ مَا تُجْزَوْنَ بِهِ » [ أخرجه أحمد]
“Semoga Allah mengampuni wahai Abu Bakar. Bukankah engkau pernah sakit? Mendapat cobaan? Bersedih hati? Dan mendapat kesulitan? Pernah ya Rasulallah, jawab Abu Bakar. Maka beliau mengatakan: ‘Itulah balasan atas perbuatan burukmu tersebut”. [HR Ahmad 1/230 no: 68].
Lebih jelasnya dalam sebuah ayat Allah Tabaraka wa Ta’ala menerangkan akan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ [ الشورى: 30]
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. [asy-Syuura/42: 30].
Imam Bukhari dan Muslim mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ » [ أخرجه البخاري و مسلم]
“Tidaklah seorang muslim tertimpa cobaan, penyakit, kesulitan, kesedihan, gangguan, tidak pula gundah kelana, sampai kiranya duri yang menusuknya, melainkan Allah akan jadi sebagai penghapus dari kesalahannya“. [HR Bukhari no: 5642. Muslim no: 2573].
Sedangkan Imam Tirmidzi mengeluarkan sebuah hadits dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah akan segerakan baginya hukuman didunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi seorang hamba maka Allah tahan darinya atas perbuatan dosanya sampai dihitung kelak pada hari kiamat”.[HR at-Tirmidzi no: 2396. Dinyatakan Hasan shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2/285 no: 1953].
Berkata sebagian ulama salaf: ‘Kalau bukan karena musibah yang menimpa kita tentu kelak pada hari kiamat kita akan menjadi orang yang bangkrut’. Oleh karena itu, tidak heran jika para salaf mereka justru merasa senang bila ditimpa musibah, sebagaimana senangnya kita tatkala memperoleh kesenangan.
2. Mengangkat derajat seseorang diakhirat kelak.
Diantara hikmah dibalik musibah sakit yang dideritanya, akan menjadi faktor pendongkrak derajat bagi orang yang sedang sakit kelak diakhirat, hal itu sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّّ الرَّجُلَ تَكُونُ لَهُ المَنزِلَةُ عِندَ اللهِ فَمَا يَبلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَلَا يَزَالُ يَبتَلِيهِ بِمَا يَكرَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ ذَلِكَ
“Sesungguhnya seorang hamba akan memperoleh kedudukan disisi Allah bukan karena faktor amal semata, namun, senantiasa dirinya memperoleh ujian dengan perkara yang tidak disenanginya hingga sampai pada derajat yang tinggi“. [HR Ibnu Hibban no: 2897. al-Hakim 1/664 no: 1314. Dinyatakan Hasan oleh al-Albani dalam silsilah ash-Shahihah no: 1599].
Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ الْبَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالْمَقَارِيضِ » [ أخرجه البخاري و مسلم ]
“Kelak pada hari kiamat orang yang sehat sangat menghendaki pahala tatkala melihat orang yang mendapat cobaan didunia diberi pahala, mereka rela kalau sekiranya kulit mereka dipotong dengan gunting ketika didunia“. HR at-Tirmidzi no: 2402. Dinyatakan Hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi 2/287 no: 1960.
Dan Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghulu para Nabi, yang telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan datang, beliau masih saja diberi cobaan oleh Allah Shubhanahu wa Ta’ala dengan sakit, dan hal itu adalah sebagai pengangkat derajat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallau ‘anhu, dia menceritakan: “Aku datang menjenguk Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam disaat beliau sedang sakit keras, kemudian aku mengusap beliau dengan tanganku, lalu aku tanyakan pada beliau: ‘Ya Rasulallah, engkau badannya panas sekali? Maka beliau menjawab: “Ya, sesungguhnya sakit yang aku derita seperti halnya sakit yang diderita oleh dua orang diantara kalian”. Aku bertanya kembali: ‘Dengan sebab itu engkau memperoleh dua pahala’. Beliau katakan: “Ya, betul”. [HR Bukhari no: 5667. Muslim no: 2571].
Bahkan disakit yang beliau wafat padanya, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengalami pingsan sebanyak tiga kali. Hal itu sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam shahih Bukhari dan Muslim, beliau menceritakan: “Tidak pernah aku melihat ada seorangpun yang menderita sakit melebihi dari Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam“. [HR Bukhari no: 5646. Muslim no: 2570].
Sehingga bisa disimpulkan bahwa bagi orang yang sakit mempunyai dua kelebihan, sakit yang dialaminya bisa sebagai penghapus dosa-dosanya, dan mengangkat derajatnya. Maka dari itu, hendaknya bagi orang yang menderita suatu penyakit menjadikan dua perkara ini sebagai pendorong baginya untuk sabar, sehingga apabila dia merenungi kedua hikmah tersebut akan menjadi ringan musibah yang dideritanya, dan enteng kesedihan dan rasa gundahnya.
Berikut beberapa hikmah lainya bagi orang yang mendapat musibah:
Bahwa musibah ini bukan terjadi pada agamanya, karena musibah yang terjadi pada agamanya menuntun pelakunya pada adzab dan dosa.
Kalau musibah yang dideritanya lebih ringan dan enteng dibanding dengan musibah yang menimpa orang lain, kalau sekiranya dirinya bertanya atau melihat pada orang sekelilingnya yang terkena penyakit tentu dirinya mendapati mereka lebih parah dari sakit yang dideritanya. Seorang ulama salaf Syuraih mengatakan: ‘Tidaklah aku ditimpa sebuah musibah melainkan aku memujinya kepada Allah Ta’ala karena empat hal:
Allah Ta’ala masih memberi rizki pada saya kesabaran.
Allah Ta’ala memberi kemudahan untuk mengucapakn istirja’ ketika musibah tersebut menimpaku.
Allah Ta’ala tidak menjadikan musibah tersebut lebih besar darinya.
Allah Ta’ala tidak menjadikan musibah pada agama saya.
Dikeluarkan oleh Imam Muslim sebuah hadits dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ». قَالَتْ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ أَىُّ الْمُسْلِمِينَ خَيْرٌ مِنْ أَبِى سَلَمَةَ أَوَّلُ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. ثُمَّ إِنِّى قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم » [ أخرجه البخاري و مسلم ]
“Tidak ada seorang muslim manakala ditimpa sebuah musibah lalu mengucapkan seperti apa yang Allah perintahkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, Allahuma ajirni fii mushibati wa akhlif lii khairan minha’. Melainkan Allah pasti akan menggantinya yang lebih baik darinya”.
Beliau mengatakan: ‘Tatkala Abu Salamah meninggal maka aku bergumam: ‘Mana ada orang yang lebih baik dari Abu Salamah, seseorang yang keluarganya menjadi pionir untuk hijrah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku mengucapkan do’a tersebut, maka Allah menggantinya dengan yang lebih baik untukku yaitu Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam”. [HR Muslim no: 918].
Hadiah bagi orang yang sedang sakit.
1. Selalu berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla, bahwasannya orang yang memiliki prasangka baik kepada Allah Ta’ala , Allah Shubhanahu wa Ta’ala akan menganugerahi ketenangan pada jiwanya dan ketentraman hati. Hal itu berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ » [ أخرجه إبن حبان]
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: ‘Aku selalu berada pada prasangka para hamba –Ku, jika dia berprasangka baik maka Aku juga demikian, sebaliknya kalau buruk sangkaannya demikian pula Akupun begitu“. [HR Ibnu Hibban no: 638].
2. Memperbanyak dzikir kepada Allah Shubhanahu wa Ta’ala , berdo’a serta memohon kesembuhan dengan penuh pengharapan pada -Nya. Berdasarkan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِي وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ [البقرة: 186]
“Dan apabila hamba-hamba -Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada -Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah -Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. [al-Baqarah/2: 186].
Dan berdasar firman Allah Ta’ala yang lainnya, yang berbunyi:
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ [النمل : 62]
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada -Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)”. [an-Naml/27: 62].
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan: “Sesungguhnya pengobatan bagi orang yang sedang sakit itu semuanya ada pada do’a serta memohon kepada Allah Azza wa Jalla, dan obat tersebut lebih bermanfaat dan cepat reaksinya dibanding dengan obat-obatan yang dikasih oleh para dokter. Karena dampak obat yang pertama itu lebih menyerap kedalam tubuh dan lebih agung daripada efek obat-obatan untuk tubuh, akan tetapi, hal itu hanya bisa tersembuhkan dengan dua perkara:
Pertama : Dari sisi orang yang sakit yaitu hendaknya dia betul-betul ikhlas dalam tujuannya.
Kedua : Dari sisi yang diobati yaitu hendaknya mempunyai kekuatan do’a dan hati, dengan bertakwa dan tawakal kepada Allah Ta’ala “. [2]
3. Bagi orang yang sedang sakit hendaknya jangan terlalu bergantung terhadap faktor sebab saja, seperti rumah sakit atau dokter. Akan tetapi, seharusnya dia menggantungkan hati yang menurunkan penyakit yang mana tidak ada yang mampu mengangkatnya melainkan – Yaitu Allah Shubhanahu wa Ta’ala yang Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan melainkan dari -Nya. Tidak ada yang menyembuhkan orang sakit kecuali -Dia, sama saja baik penyakit yang ada dalam tubuh maupun penyakit yang ada dalam jiwa. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَإِن يَمۡسَسۡكَ ٱللَّهُ بِضُرّٖ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يَمۡسَسۡكَ بِخَيۡرٖ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ [ الأنعام: 17]
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. [al-An’aam/6: 17].
Dan firman Allah tabaraka wa Ta’ala :
وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ [ الشعراء 80]
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”. [asy-Syu’araa/26: 80].
Dan firman -Nya yang mengkisahkan Nabi -Nya Ayub ‘Alaihi sallam, Allah berfirman:
وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّي مَسَّنِيَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ – فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ فَكَشَفۡنَا مَا بِهِۦ مِن ضُرّٖۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ أَهۡلَهُۥ وَمِثۡلَهُم مَّعَهُمۡ رَحۡمَةٗ مِّنۡ عِندِنَا وَذِكۡرَىٰ لِلۡعَٰبِدِينَ [ الأنبياء: 83-84]
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah“.[al-Anbiyaa’/21: 83-84].
4. Bersabar sambil mengharap pahala atas musibah tersebut dan jangan berkeluh kesah dan merasa tidak puas, karena kadar ukuran keimanan seorang hamba sesuai dengan besar kecilnya cobaan yang diterimanya.
Lebih jelasnya, simak sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dari Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu, dia menceritkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ» [ أخرجه الترمذي]
“Aku pernah bertanya kepada Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang paling berat cobaannya? Beliau menjawab: ‘Para Nabi, lalu orang yang berada dibawahnya, maka seseorang tertimpa cobaan sesuai dengan tingkatan agamanya. Kalau agamanya hebat, cobaan yang diterimanya pun besar, dan jika agamanya lemah dirinya juga akan mendapat ujian sesuai dengan kadar agamanya. Sehingga tidaklah seorang hamba senantiasa mendapat cobaan sampai kiranya dirinya berjalan dimuka bumi ini tanpa mempunyai kesalahan”. [HR at-Tirmidzi no: 2398. Beliau berkata hadits hasan shahih].
5. Bagi orang yang sakit, boleh baginya untuk meruqyah dirinya sendiri dengan bacaan ruqyah yang syar’i. Seperti meruqyah dengan surat al-Fatihah, surat al-Falaq dan an-Nas serta ayat kursi. Dan diantara do’a yang ada dalilnya dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang biasa beliau baca ialah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ الْبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا» [ أخرجه البخاري و مسلم]
“Ya Allah Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan, sembuhkan (penyakitku) karena Engkau Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan yang Engkau berikan, kesembuhan yang tidak dibarengi penyakit”. [HR Bukhari no: 5743. Muslim no: 2191].
Diantara do’a yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menjenguk orang sakit ialah, mendo’akan orang yang sakit dengan mengucapkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ. ثَلاَثًا. وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ » [ أخرجه مسلم]
“Letakkan tanganmu ditempat yang terasa sakit ditubuhmu, lalu berdo’alah: ‘Dengan menyebut nama Allah’. Tiga kali. Lalu ucapkan sebanyak tujuh kali: ‘Aku berlindung kepada Allah dan kemampuanNya dari kejelakan apa yang aku rasakan dan berhati-hati padanya”. [HR Muslim no: 2202].
6. Untuk orang yang sakit, jangan pernah merasa putus asa dari kesembuhan, karena Allah Shubhanahu wa Ta’ala adalah Maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu. Allah Shubhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُۥ لَا يَاْيَۡٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ [ يوسف 87]
“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [Yusuf/12: 87]
Dan Allah Ta’ala befirman:
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ [ يس 82]
“Sesungguhnya keadaan -Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia”. [Yaasin/36: 82].
Lihatlah kepada Nabi Ayub ‘alaihi sallam yang tinggal delapan belas tahun dalam keadaan menerima ujian namun beliau bersabar sampai akhirnya Allah menyembuhkan penyakitnya.[3]
Akhirnya kita ucapkan segala puji hanya milik Allah Shubhanahu wa Ta’ala , Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shubhanahu wa Ta’ala , keluarga beliau serta para sahabatnya.
[Disalin dari الإبتلاء بالمرض Penyusun Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2013 – 1434]
______
Footnote
[1] al-Bidayah wa Nihayah 1/513.
[2] Fathul Bari 10/115.
[3] Lihat kitab La Ba’sa thahurun insya Allah, karya Syaikh Abdul Aziz as-Sadhan.