Puslitbang Polri Lakukan Penilitian Distribusi BBM Di Polres Metro Jakarta Barat

mascipoldotcom, Selasa, 6 Juli 2021 (26 Zdulkaidah 1442 H)

Jakarta, Pusat penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Polri mengunjungi Polres metro jakarta barat, Senin, 5/7/2021.

Kunjungan tersebut dalam rangka melaksanakan kegiatan Penelitian tentang “Evaluasi Distribusi BBM di Lingkungan Polri dalam mendukung pelaksanaan tugas operasional kepolisian guna mewujudkan penguatan pengawasan ”
Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol Ady Wibowo melalui Wakapolres Metro Jakarta Barat Akbp Dr Bismo Teguh Prakoso menjelaskan kegiatan kunjungan tim puslitbang polri tersebut dalam rangka kegiatan Penelitian dan Supervisi

” Kami dari jajaran Polres metro jakarta barat menyambut baik kedatangan tim puslitbang polri untuk kemajuan polres kedepannya ” ujar Akbp Dr Bismo Teguh Prakoso

Bismo mengatakan kegiatan Penelitian ini di hadiri dari masing-masing satfung polres jajaran yang dalam pelaksanaannya masing-masing anggota mengisi quisioner yang telah diberikan oleh tim peneliti secara online

Pengisian secara online ini dilakukan oleh tim peneliti untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19

Sementara dalam kesempatan yang sama Kabid Rikwastu Puslitbang polri Kombes Pol Harvin Raslin mengatakan kegiatan Penelitian dan Supervisi ini sangat lah penting untuk perkembangan dan kemajuan polri kedepannya

Dalam pelaksanaannya kali ini kami lakukan secara online artinya masing masing personel dari setiap satker tingkat Polres Metro Jakarta Barat secara person diwajibkan untuk melakukan pengisian

” Pengisian tersebut sebagai indikator bahan penelitian dari puslitbang polri tentang pendistribusian BBM di Lingkungan Polri ” ucapnya

Adapun dalam pelaksanaan nya kami juga meminta saran dan pendapat dari masing-masing Polres untuk melihat ada atau tidaknya kendala dalam pendistribusian BBM di Lingkungan Polri tutupnya

Hadir dalam kegiatan tersebut Kabid Rikwastu Puslitbang polri Kombes Pol Harvin Raslin, Kasubbid Bekkum Bidrikwastu Pembina TK I Ahmad Munif, Ps Paur Pal Bidrikwastu penata TK I Mulyanto, Peniliti Utama LIPI Dr Maxensius Tri Sambodo, S. E Wakapolres Metro Jakarta Barat Akbp Dr Bismo Teguh Prakoso dan Perwakilan Satfung Tingkat Polres metro jakarta barat. (Humas Polres Metro Jakarta Barat)

———-

Renungan

BEPERGIAN YANG BOLEH MELAKUKAN SHALAT QASHAR

Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala keluar sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu riwayat) : Dia shalat dua rakaat”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-Baihaqi (2/146).

Susunan kalimat darinya adalah dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-Hanna’i yang menuturkan :

“Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Sedangkan aku pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian Anas berkata : (Lalu dia menyebutkan hadits ini)”.

Saya menilai hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah,yakni para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i dimana dia adalah perawi Muslim. Namun segolongan orang-orang tsiqah juga telah meriwayatkan darinya.

Sementara itu Ibnu Abi Hatim (4/2/198) menceritakan dari bapaknya yang

memberiatahukan : “Al-Hanna’i adalah seorang yang telah lanjut usia”. Hal ini juga disinggung oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat (1/257) dimana dia menyebutkan kakeknya dengan nama Murrah. Ibnu Hibban menandaskan :

“Barangsiapa mengatakan, ‘Yazid bin Yahya atau Ibnu Abi Yahya”, maka sesungguhnya dia salah mendunga”.

Dan hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud (1201), Ibnu Abi Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i : “Sedangkan aku pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar. Bahkan oleh karenanya hadits ini berlaku. Demikian pula hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah Ath-Thayalisi), dia berkata : “Telah bercerita kepadaku Syu’bah. Namun Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.

(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata memandang ke bumi, dimana mata akan kabur ke atas permukaan tanah sehingga tidak mampu lagi menangkap pemandangan. Demikianlah penjelasan Al-Jauhari. Namun dikatakan pula ; batas satu mil adalah jika sekira memandang kepada seseorang di kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan dan dia hendak pergi atau hendak datang, seperti keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian ulama sekarang adalah sekitar 1680 meter.

Kandungan Hukumnya.

Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh (satu arsakh sekitar 8 km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi telah mnjelaskan dalam Ma’alimus Sunan (2/49) : “Meskipun hadits ini telah menetapkan bahwa jarak tiga farsakh merupakan batas dimana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui seorangpun dari ulama fiqih yang berpendapat demikian”.

Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan

Pertama : Bahwa hadits ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim mengeluarkannya dan tidak dinilai lemah oleh lainnya.

Kedua : Hadits ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak

mengetahui adanya seorangpun ulama fiqih yang mengatakan demikian, itu tidak menghalangi untuk mengamalkan hadits ini. Tidak menemukan bukan berarti tidak ada.

Ketiga : Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin Malik. Sedang Yahya bin Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah berfatwa demikian, seperti keterangan yang telah lewat. Bahkan telah berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar dalam perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar yang menuturkan.

Baca Juga Shalat Lebih Utama Daripada Membaca Al-Qur-an

“Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”.

Hadits ini sanadnya shahih. Seperti yang telah saya jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).

Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar bahwa dia berkata :

“Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang dan aku mengqashar (shalat)”.

Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (2/467). Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar (2/111/1).

“Sesunngguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar (shalat)”.

Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah

hendak keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul Buldan.

Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata :

“Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”

Hadits ini disebutkan pula oleh Al-Hafidz dan dinilainya shahih.

Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha maupun lainnya dengan sanad-sanadnya yang shahih, dari Ibnu Umar, bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh daripada itu. Juga tidak menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash yang telah saya sebutkan adalah jelas memperbolehkan mengqashar shalat dalam jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi karena adanya hadits yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.

Al-Hafidzh telah menandaskan di dalam Al-Fath (2/467-468).

“Sesunguhnya hadits itu merupakan hadits yang lebih shahih dan lebih jelas dalam menerangkan soal ini. Adapun ada yang berbeda dengan nya mungkin soal jarak diperbolehkannya mengqashar, dimana bukan batas akhir perjalanannya.

Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Yahya bin Yazid bercerita : “Saya bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua raka’at dua raka’at, sampai saya kembali. Maka Anas berkata ; (kemudian menyebutkan hadits ini)”.

Jadi jelas bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepad Anas tentang diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian bukan tentang tempat

dimana dimulai shalat qashar. Kemudian yang benar dalam hal ini adalah bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan tetapi dengan melewati batas daerah dimana seorang telah keluar darinya. Al-Qurthubi menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan. Jika yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah bagus. Akan tetapi tidak ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil memang terlalu sedikit maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari Abdurrahman bin Harmilah yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab :

“Apakah boleh mengqashar shalat dan berbuka di Burid dari Madinah ?” Dia menjawab : “Ya”. Wallahu a’lam.

Saya berkata : Sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah shahih.

Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan.

“Kami pergi bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan dalam shalat dan kami berbuka”.

Hadits ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah tsiqah, kecuali Abil Warad bin Tsamamah, dimana hanya ada tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan : “Dia itu dikenal sedikit haditsnya”.

Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar dalam jarak yang lebih pendek daripada apa yang terdapat dalam hadits tersebut.

Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa : 101]

Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan atsar-atsar ini. Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya qashar dalam jarak bepergian yang lebih pendek daripada yang disebutkan di dalam hadits tersebut.

Oleh karena itu Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal. 189) mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi bagi umatnya pada jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.

Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan kemudahan Islam.

Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga mengharuskan mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu tidak mampu bagi kebanyakan orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah ditempuh sebelumnya.

Dalam hadits tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu dimulai dari sejak keluar dari daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.

Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) dimana penulisnya mengatakan :

“Sebagian ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua raka’at, meskipun masih di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka qashar saja kalau mau”.

Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang pertama. Dimana mereka sepakat bahwa boleh qashar setelah meninggalkan rumah. Namun mereka berbeda mengenai sesuatu sebelumnya. Tapi hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu disempurnakan sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi :

“Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”.

Saya menemukan : Sesungguhnya hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini adalah banyak. Saya telah mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari hadits Anas, Abi Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Silahkan periksa no. 562 !

[Disalin dari buku Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan CV. Pustaka Mantiq, hal. 362-367 penerjemah Drs.H.M.Qadirun Nur]