mascipoldotcom – Selasa, 8 Pebruari 2022 (7 Rajab 1443 H)
Bekasi – Kapolsek Serang Baru Polres Metro Bekasi AKP Somantri,SH yang diwakili Iptu Diponesia Hutapea, menghadiri acara Musrenbang. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kecamatan Serang Baru Tahun 2023, acara tersebut dilaksanakan di aula Kecamatan Serang Baru, Selasa (8/02/2022) pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.
Kegiatan Musrenbang tersebut dihadiri Ketua DPRD Kabupaten Bekasi, perwakilan Bapeda, Dewan dapil 1,Camat Serang Baru,perwakilan Koramil 12/Serang Baru, Kepala Puskesmas Serang Baru, Kepala Desa sekecamatan Serang Baru, SekDes sekecamatan Serang Baru, Ketua BPD sekecamatan Serang Baru, tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Iya, hari ini Kami Polsek Serang Baru mengikuti kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Serang Baru tahun 2023, diwilayah Kecamatan Serang Baru,” kata WakaPolsek.
Hal ini di lakukan untuk mengetahui pembahasan dan menyepakati hasil Musrenbang yang akan menjadi prioritas pembangunan di wilayah Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi.
Dalam acara penyusunan Musrenbang saat ini, merupakan penyusunan perencanaan pembangunan tahun 2023 dan Kegiatannya berjalan aman, tertib dan lancar, serta selalu mematuhi protokol kesehatan,” ujar WakaPolsek.
WakaPolsek berharap, “Dengan adanya Musrenbang, Musyawarah Rencana Pembangunan, agar para Kepala Desa dapat menyepakati permasalahan, menyepakati prioritas pembangunan, menyepakati program kegiatan, yang mana hari ini dapat bertatap muka langsung atau mengusulkan langsung kepada Pejabat Pemerintah Daerah.” pungkasnya. (Wati Ummu Arfi)
____________
Renungan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa dua kalimat syahadah merupakan dasar sah dan diterimanya semua amal. Kedua kalimat ini memiliki makna, syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus diketahui, diyakini, diimani dan diamalkan oleh seluruh kaum Muslimin.
Makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah:
لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ.
“Tidak ada sesembahan yang berhak di ibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah), dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Di antara kesalahan tersebut adalah:[1]
1. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ مَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah), padahal makna tersebut rancu karena jika demikian, maka setiap yang diibadahi, baik benar maupun salah, berarti Allah.
2. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah), padahal makna tersebut merupakan sebagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dan ini masih berupa Tauhid Rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
3. Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ dengan لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada hakim (penguasa) kecuali Allah), pengertian ini pun tidak mencukupi karena apabila mengesakan Allah hanya dengan pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Penguasa saja namun masih berdo’a kepada selain-Nya atau menyelewengkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.
Syarat-Syarat Kalimat [2] لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Syarat Pertama: اَلْعِلْمُ (al-‘ilmu)
Yaitu mengetahui arti kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah).
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah…” [Muhammad: 19]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui.” [Az-Zukhruf: 86]
Yang dimaksud dengan “mengakui kebenaran” adalah ke-benaran kalimat laa ilaaha illallaah. Sedangkan maksud dari “sedang mereka orang-orang yang mengerti” adalah mengerti dengan hati mereka apa yang diucapkan dengan lisan.
Dalam hadits shahih dari Sahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.”[3]
Syarat Kedua: اَلْيَقِيْنُ (al-yaqiin)
Yaitu yakin serta benar-benar memahami kalimat laa ilaaha illallaah tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan dirinya, merekalah orang-orang yang benar.” [Al-Hujuraat: 15]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ لاَ يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ، غَيْرَ شَاكٍّ فِيْهِمَا، إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“… Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah dan bahwasanya aku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai Allah (dalam keadaan) tidak ragu-ragu terhadap kedua (syahadat)nya tersebut, melainkan ia masuk Surga.”[4]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
…اذْهَبْ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ، فَمَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ…
“… Pergilah dengan kedua sandalku ini, maka siapa saja yang engkau temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk Surga.” [5]
Maka, syarat untuk masuk Surga bagi orang yang mengucap-kannya, yaitu hatinya harus yakin dengannya (kalimat Tauhid) serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Apabila syarat tersebut tidak ada maka yang disyaratkan (masyrut) juga tidak ada. Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
اَلْيَقِيْنُ اْلإِيْمَانُ كُلُّهُ وَالصَّبْرُ نِصْفُ اْلإِيْمَانِ.
“Yakin adalah Iman secara keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman.”[6]
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya orang yang yakin dengan makna laa ilaaha illallaah, seluruh anggota tubuhnya akan patuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang tiada sekutu bagi-Nya, dan akan mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena inilah Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu memohon ditambahkan iman dan keyakinan dengan berdo’a:
اَللَّهُمَّ زِدْنَا إِيْمَانًا، وَيَقِيْنًا، وَفِقْهًا.
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan kefahaman.” [7]
Syarat Ketiga: اْلإِخْلاَصُ (al-ikhlaash)
Yaitu memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“… Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” [Az-Zumar: 2-3]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” [Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفاَعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan: ‘Laa ilaaha illallaah,’ dengan ikhlas dari hati atau jiwanya.” [8]
Syarat Keempat: اَلصِّدْقُ (ash-shidqu)
Yaitu jujur, maksudnya mengucapkan kalimat ini dengan disertai pembenaran oleh hatinya. Barangsiapa lisannya mengucapkan namun hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِين َيُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Dan di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sesung-guhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak me-nipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” [Al-Baqarah: 8-9]
Juga firman Allah Azza wa Jalla tentang orang munafik:
قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ
“… Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah…’” [Al-Munafiquun: 1]
Kemudian Allah Azza wa Jalla mendustakan mereka dengan firman-Nya:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“… Dan Allah mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan-Nya dan Allah bersaksi bahwasanya orang-orang munafik itu berdusta.” [Al-Munaafiquun: 1]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ.
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya masuk Neraka.”[9]
Syarat Kelima: اَلْمَحَبَّةُ (al-mahabbah)
Yaitu cinta, maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, men-cintai isinya dan apa-apa yang ditunjukkan atasnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah….” [Al-Baqarah: 165]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ: مَنْ كاَنَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ.
“Tiga perkara yang bila ketiga-tiganya terdapat pada seseorang ia akan mendapatkan kelezatan iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, (3) tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak suka dicampakkan ke dalam api.”[10]
Syarat Keenam: اْلإِنْقِيَادُ (al-inqiyaad)
Yaitu tunduk dan patuh. Seorang Muslim harus tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang ditunjukkan oleh kalimat laa ilaaha illallaah, hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengamalkan syari’at-syari’at-Nya, beriman dengan-Nya, dan berkeyakinan bahwasanya hal itu adalah benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” [Az-Zumar: 54]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” [An-Nisaa’: 125]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” [Luqman: 22]
Syarat Ketujuh: اَلْقَبُوْلُ (al-qabuul)
Yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat syahadat ini, menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati, maka ia termasuk dari orang-orang yang difirmankan Allah Azza wa Jalla :
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah)’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?” [Ash-Shaaffaat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kubur di zaman ini. Mereka mengikrarkan: “Laa ilaaha illallaah,” tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan mereka terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna: “Laa ilaaha illallaah.” [11]
Rukun Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu:
(a). النَّفْيُ, yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(b). اْلإِثْبَاتُ, yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“… Barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kokoh dan tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” [An-Nahl: 36]
Makna Kalimat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah) [12]
Makna dari syahadat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah) adalah:
(a). طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan.
(b). تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.
(c). اِجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang.
(d). أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan. Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut apa yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentang makna dan konsekuensi kalimat مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ (Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) akan dibahas lebih lanjut pada point ke-24: Wajibnya Mencintai dan Mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal.253).
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhid (hal. 39-40) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Ab-dullah al-Fauzan.
[2]. Tentang syarat-syarat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ lihat Ma’aarijul Qabuul (I/333-339) oleh Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakami, Tuhfatul Ikhwaan bi Ajwibah Muhimmah Tata’allaqu bi Arkaanil Islaam (hal. 24-26) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz dan ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 42-45) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan.
[3]. HR. Muslim (no. 26), Ahmad (I/65, 69) dan Abu ‘Awanah (I/7), dari Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu.
[4]. HR. Muslim (no. 27) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. HR. Muslim (no. 31) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq dan pasti. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini dimaushulkan (disambungkan) oleh Imam ath-Thab-rani (no. 8544), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud, dengan sanad yang shahih.” (Fat-hul Baari (I/48)).
[7]. Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam as-Sunnah (I/368, no. 797) dan al-Laalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1704). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (I/48) menyatakan bahwa sanadnya shahih.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 99 dan 6570) dan Ahmad (II/373), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32) dari hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 16, 21, 6041) dan Muslim (no. 43 (67)), dari Sahabat Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[11]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 44).
[12]. Lihat Syarah Tsalaatsil Ushuul (hal. 75) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.