IMG 20210226 WA0019

Polri Terapkan Konsep Presisi di Dua Kasus, Satunya Penistaan Agama di Sumut

IMG 20210219 WA0003mascipoldotcom – Jum’at, 26 Pebruari 2021 (14 Rajab 1442 H)

Jakarta – Mabes Polri terapkan konsep Presisi atas dua kasus yang ditangani jajarannya. Kedua kasus tersebut yakni empat tenaga kerja kesehatan dilaporkan penistaan agama di Polres Pematangsiantar, Polda Sumatera Utara.

Dan kasus empat IRT asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Polda Nusa Tenggara Barat. Yang dilaporkan melempar pabrik tembakau UD Mawar, milik Suhardi di Kecamatan Batukliang, beberapa waktu lalu.

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto saat dikonfirmasi mengatakan penerapan konsep Presisi sebagaimana perintah dan visi serta misi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

“Ya, Alhamdulillah sudah dilaksanakan. Dan ini akan terus dilakukan terhadap kasus atensi publik lainnya,” katanya, Jumat (26/2/2021) di Jakarta.

Ia menjelaskan untuk kasus penistaan agama yang ditangani Polres Pematangsiantar dan sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Pematangsiantar, para pihak berdamai dan sepakat menghentikan kasus ini. Sehingga jaksa melakukan penghentian perkara atau SP-2.

“Konsep Presisi berkeadilan telah dijalankan. Kasus berawal karena diketahui foto almarhumah Zakia yang beredar merupakan laporan internal medis, bukan sengaja diedarkan berdasarkan keterangan saksi,” tegas Agus.

Mabes Polri melalui Direktur Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja bekerjasama dengan tim mediasi eksternal yakni Ketua Perhimpunan Remaja Masjid Dewan Masjid (Prima DMI) Wilayah Sumut, Perwakilan Bilal Mayit, MUI, dan dokter.

“Tim inilah yang melakukan mediasi antara kedua belah pihak yang berperkara. Dan hasilnya sepakat berdamai tanpa paksaan,” ungkapnya.

Lanjut Kabareskrim, dalam proses mediasi mengedepankan unsur kekeluargaan dan polisi tidak terlibat secara langsung. Beberapa poin yang disepakati yakni pihak Rumah Sakit Djasamen Saragih meminta maaf pada keluarga korban dan memperbaiki sistem kualitas SDM managemen.

Agus sangat berterimakasih pada semua pihak yang terlibat dalam proses ini. Dan atas kepercayaan yang diberikan. Mari kita wujudkan Polri Presisi yang berkeadilan.

Sebelumnya, empat tenaga kesehatan ditetapkan tersangka oleh polisi atas laporan Fauzi Munthe yang merupakan suami Zakia.

Fauzi kecewa karena foto Zakia saat dibersihkan oleh tim forensik, beredar. Zakia meninggal karena terpapar virus Covid-19.

Pihak Rumah Sakit pun menjelaskan bahwa pengambilan foto merupakan SOP medis dan hanya untuk kebutuhan internal sebagai laporan.

Kasus 4 IRT di NTB

Polda Nusa Tenggara Barat berkordinasi dengan pihak Kejaksaan untuk menerapkan konsep Presis menangguhkan penahanan. Dimana pada saat kasus tersebut ditangani polisi, penyidik kepolisian tidak melakukan penahanan terhadap 4 tersangka.

Saat kasusnya dilimpahkan ke jaksa, keempat tersangka ditahan. Namun, penahanan keempatnya dititipkan di ruang tahanan Polres.

“Jadi polisi berkoordinasi dengan jaksa dan penegak hukum lainnya. Keempatnya pun ditangguhkan penahananya. Makasih pak Hakim dan Jaksa,” ujar Agus.

Kasus ini berawal dari Laporan pabrik tembakau terhadap empat IRT karena melempar pabrik dengan batu. Pelemparan sudah sering dilakukan. Akibatnya, perusahaan mengalami kerugian 4,5 juta rupiah.

Karena restorative justice tidak terpenuhi, maka kasusnya dilanjutkan.

“Kasus berlanjut tapi tersangka ditangguhkan penahanannya,” tutupnya.

——–

Renungqn

PENGHINA AGAMA DAN HUKUMANNYA

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Sikap dan tabiat “menghina” atau “menistakan” adalah akhlak para musuh Allâh Azza wa Jalla yang menjadi akhlak orang kafir dan munafiqin. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskannya secara jelas kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya dalam banyak ayat dan peristiwa. Dalam sejarah kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi dalam peristiwa perang Tabuk, kaum munafikin menghina para Sahabat Radhiyallahu anhum. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang paling sayang kepada manusia waktu itu tidak memaafkan dan tidak menerima uzur para penghina tersebut, bahkan tidak melihat alasan mereka sama sekali yang mengaku melakukannya sekedar bermain dan bercanda. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan wahyu yang turun dari langit yang diabadikan dalam al-Qur`an, Firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah:”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasûl-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. [At-Taubah/9:66]

Oleh karena itu para Ulama memasukkan perbuatan menghina Allâh Azza wa Jalla , ayat suci dan Rasûl-Nya dalam pembatal keimanan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa menghina Allâh Azza wa Jalla , ayat suci dan Rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran yang membuat pelakunya kafir setelah iman.[1]

JENIS PENGHINA AGAMA

Islam secara umum membagi manusia menjadi tiga kelompok, kafir, munafik dan Muslim. Semua jenis orang-orang ini sangat memungkinkan melakukan pencelaan dan penghinaan terhadap Agama, sehingga diperlukan untuk mengetahui jenis dan hukuman dari penghina agama berdasarkan pembagian ini.

PENGHINA AGAMA ISLAM DARI KALANGAN ORANG KAFIR

Orang kafir adakalanya kafir harbi dan ada kalanya kafir al-‘Ahdi (yang terikat perjanjian). Pembagian jenis orang kafir ini pernah disampaikan Abdullâh bin Abbâs Radhiyalahu anhu dalam pernyatan beliau, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka dan mereka pun memerangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada golongan yang disebut ahlul ‘ahd, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [Diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam Shahihnya no. 5286 lihat Fat-hul Bâri 9/327]

Kafir harbi adalah orang kafir yang Allâh perintahkan untuk diperangi, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Wahai orang-orang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allâh beserta orang-orang yang bertaqwa. [At-Taubah/9:123]

Apabila seorang kafir harbi menghina agama Islam, menistakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya atau menistakan ayat al-Qur`an maka diperangi dan dibunuh kecuali ia masuk Islam. Hal ini didasari dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allâh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim. [al-Baqarah/2:193]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan bahwa Allâh Azza wa Jalla memerintahkan memerangi mereka hingga mereka berhenti melakukan sebab-sebab fitnah yaitu kesyirikan. Allâh Azza wa Jalla juga menjelaskan bahwa tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang yang zhalim. Orang yang sengaja menghina dan memusuhi agama Islam berarti tidak berhenti (dari kekufuran), sehingga memeranginya adalah wajib bila mampu dan membunuhnya bila mampu hukumnya wajib. Penghina agama ini seorang yang zhalim sehingga diberlakukan permusuhan.[2]

Adapun kafir yang terikat perjanjian terbagi menjadi tiga jenis.

Kafir dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum Muslimin.
Kafir mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati.

Kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin atau sebagian kaum Muslimin.
Orang kafir mana saja dari tiga jenis orang kafir ini yang berani menghina agama Islam, menistakan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka perjanjian yang telah terjadi menjadi batal dan halal darah dan hartanya bagi pemerintah Islam. Hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama kecuali mazhab Hanafiyah.

Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Mayoritas Ulama berpendapat bahwa orang kafir dzimmy yang menghina, mencela atau merendahkan kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mensifati Beliau dengan sesuatu yang menjadi ajaran kufurnya mereka, maka ia dibunuh, karena kita tidak memberikan perlindungan untuk seperti itu. Abu Hanîfah dan Ats-Tsauri serta para pengikutnya dari ahli Kufah berbeda dan berpendapat tidak dibunuh, sebab kesyirikan yang mereka lakukan lebih besar dari itu semua. Namun tetap mereka diberi hukuman ta’zîr. [3]

Mayoritas Ulama berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ﴿٧﴾كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَىٰ قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ﴿٨﴾اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ ۚ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴿٩﴾لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ﴿١٠﴾فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ﴿١١﴾وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allâh dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil haram maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadapa mereka. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertaqwa. Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allâh dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukar ayat-ayat Allâh dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kekerabatan dengan orang-orang mu’min dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti. [at-Taubah/9:9-12]

Syaikhul Islam rahimahullah menjelaskan, “Apabila ahlu dzimmah menistakan agama Islam maka dia adalah pemimpin kekufuran, sehingga wajib di perangi seperti firman Allâh Ta’ala: فَقَاتِلُوْٓا اَىِٕمَّةَ الْكُفْرِۙ maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, (at-Taubah/9:12) sehingga tidak ada lagi perjanjian dengannya ; karena kita mengadakan perjanjian untuk tidak menampakkan sikap mencela agama dan menyelisihinya ….. Maka benarlah bahwa semua yang menistakan agama kita setelah ada perjanjian menuntut orang tersebut tidak melakukannya sehingga dia adalah pemimpin kekufuran yang tidak ada perjanjian dengannya sehingga wajib membunuhnya dengan nash ayat tersebut. [4]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah setelah menjelaskan syarat-syarat yang tertulis dalam perjanjian untuk ahli dzimmah menyatakan: Disyaratkan juga seorang dari mereka jika mengatakan tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , al-Qur`an atau Agama Islam dengan sesuatu yang tidak pantas untuk dikatakan, maka hilanglah perjanjian Allâh kemudian tanggung jawab Amir mukminin dan seluruh kaum muslimin dan batallah semua bentuk keamanan yang diberikan kepadanya serta halal bagi Amir mukminin harta dan jiwanya sebagaimana halalnya harta dan darah orang kafir harbi. [5]

PENGHINA AGAMA ISLAM DARI KALANGAN ORANG MUNAFIK ATAU ZINDIQ

Para Ulama banyak menggunakan istilah Zindîq untuk menamakan orang munafik Yaitu menyebunyikan kekufuran dalam keyakinannya dan menampakkan iman dalam perkataannya.[6] Oleh karena itu imam Ibnul Qayyim t mendefiniskan zindiq dengan kaum yang menampakkan keislaman dan mengikuti para Rasul dan menyembunyikan dalam batinnya kekufuran dan permusuhan kepada Allâh Azza wa Jalla dan rasulnya. Merekalah kaum munafik dan mereka ada di neraka paling bawah. [7]

Apabila terjadi dari kalangan munafikin ini sikap dan perbuatan menghina dan menistakan Allâh Azza wa Jalla , Rasûl-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama, maka hukumnya dalam syariat Islam adalah dibunuh apabila menampakkannya, karena kenifakannya ini sudah nifaq I’tiqad yang mengeluarkan seorang dari islam.

Hal ini didasarkan kepada dalil-dalil syariat diantaranya:
1.Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allâh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allâh dan Rasul-Nya), kecuali karena Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan mengazab mereka denga azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. [at-Taubah/9:74]

Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan,”Ini berisi dalil bahwa munafik apabila tidak bertaubat akan Allâh Azza wa Jalla adzab didunia dan akherat. [8]

Adzab didunia yang Allâh Azza wa Jalla ancamkan kepada kaum munafikin adalah pembunuhan apabila menampakkan kebencian kepada Islam dan Muslimin yang ada dihatinya. [9]

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا ﴿٦٠﴾ مَلْعُونِينَ ۖ أَيْنَمَا ثُقِفُوا أُخِذُوا وَقُتِّلُوا تَقْتِيلًا ﴿٦١﴾ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terla’nat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. Sebagai sunnah Allâh Azza wa Jalla yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. [Al-Ahzâb/33:60-62]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang munafik akan terusir dimanapun mereka beradsa. Dimana saja mereka dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh dengan sebab kekufuran mereka. [10]

3. Kisah Hâthib bin Abi Bal’atah Radhiyallahu anhu dan ada pada nya :

فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ: إِنَّهُ قَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالمُؤْمِنِينَ، فَدَعْنِي فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ، قَالَ: فَقَالَ: ” يَا عُمَرُ، وَمَا يُدْرِيكَ، لَعَلَّ اللَّهَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَكُمُ الجَنَّةُ ” قَالَ: فَدَمَعَتْ عَيْنَا عُمَرَ وَقَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ

Umar z berkata: Sungguh Ia telah berkhianat kepada Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya n serta kaum mukminin, maka biarkanlah Aku memenggal lehernya. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Wahai Umar! Kamu tidak tahu, mungkin Allâh Azza wa Jalla melihat kepada ahlu Badr lalu berfirman: BBeramAllâh kalian sesuka hati, sungguh kalian sudah mendapatkan Syurga. Lalu kedua mata Umar z meneteskan air mata dan berkata: Allâh Azza wa Jalla dan rasulNya lebih tahu. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam riwayat lain:

قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا المُنَافِقِ

Umar berkata : Wahai Rasûlullâh! Biarkan aku memenggal leher orang munafiq ini.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa membunuh munafik tanpa dimintai taubat adalah sesuatu yang sudah disyariatkan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Umar Radhiyallahu anhu dalam pembolehan membunuh munafik, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa Hathib tersebut bukanlah seorang munafik, namun ia termasuk ahlu Badr yang sudah mendapatkan ampunan dari Allâh Azza wa Jalla. Apabila munafik menampakkan kenifakan yang sudah dipastikan kenifakannya maka jadilah orang yang halal darahnya.[11] Wallahu a’lam.

PENGHINA AGAMA ISLAM DARI KALANGAN ORANG ISLAM

Seorang Muslim yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, menunaikan kewajiban-kewajiban Islam dan menyakininya secara lahir batin bisa menjadi kafir setelah memeluk Islam dan murtad, apabila melanggar pembatal Islam, baik yang berbentuk perkataan, maupun perbuatan, seperti menistakan agama Islam.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Penista agama apabila Muslim, maka menjadi kafir dan dibunuh tanpa ada perbedaan pendapat padanya. Ini adalah madzhab imam yang empat dan yang lainnya. Diantara ulama yang menukilkan ijma’ ini adalah Ishâq bin Rahuyah dan selainnya. [12]

Baca Juga  Hukum Istihza’ Bid Din (Memperolok-Olok Agama)
Sedangkan al-Qâdhi ‘iyâdh rahimahullah berkata, Tidak ada khilaf bahwa pencela Allâh Azza wa Jalla dari kalangan kaum muslimin adalah kafir halal darahnya…kemudian al-Qâdhi Iyâdh rahimahullah menukilan pernyataan imam Mâlik rahimahullah : Siapa yang menistakan Allâh Azza wa Jalla dari kaum Muslimin, dibunuh tanpa dimintai taubat.[13]

Imam Mâlik rahimahullah berkata: Siapa dari seorang muslim atau kafir yang mencela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya dari pada nabi maka dibunuh dan tidak dimintai taubat.[14]

Adapun imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata dalam riwayat Hambal : Semua yang mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menistakannya baik ia seorang muslim atai kafir maka wajib dibunuh.[15]

APAKAH SETIAP MUSLIM YANG MELAKUKAN HAL INI DIVONIS KAFIR?

Hukum-hukum yang jelas diatas tidak bisa begitu saja diterapkan para individu muslim yang melakukannya. Untuk menerapkan hal ini pada individu tertentu dibutuhkan keikhlasan, bebas dari hawa nafsu, sekedar semangat dan cara-cara ahlil bid’ah dan harus berhukum dengan manhaj salaf.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Wajib bagi seorang untuk bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua vonis hukuman, sehingga tidak tergesa-gesa dalam memvonisnya khususnya dalam vonis kafir (Takfir) yang mulai sebagaian orang yang punya kecemburuan dan semangat berislam melakukannya tanpa berfikir panjang dan perlahan-lahan. Padahal seorang apabila memvonis kafir orang lain dan orang tersebut bukanlah demikian maka akan kembali kepada orang yang memvonis. Pengkafiran seseorang memiliki akibat hukum-hukum yang banyak….Demikian juga wajib untuk tidak penakut dalam memvonis kafir orang yang telah Allâh dan Rasul-Nya kafirkan. Namun wajib membedakan antara hukum pada orang tertentu dan hukum yang umum. [16]

Dengan demikian Ahlussunnah membedakan hukum umum perbuatan dengan vonis hukum untuk orang tertentu. Oleh karena itu Syaikhul Islam rahimahulllah berkata, “Tidak boleh seorang memvonis orang lain dari kaum muslimin dengan kafir walaupun dia salah atau keliru hingga ditegakkan hujjah padanya dan dijelaskan dasar hujjahnya. Siapa yang telah muslim dengan yakin maka tidak hilang dengan keraguan bahkan tidak hilang sampai tegak hujjah dan hilang syubhatnya.”[17]

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahâb rahimahullah berkata, “Masalah vonis kafir terhadap orang tertentu (Takfir Mu’ayyan) adalah masalah yang sudah terkenal. Apabila berkata sebuah perkataan yang hukumnya mengucapkan perkataan tersebut adalah kekufuran, sehingga dikatakan: Siapa yang menyatakan perkataan ini maka dia kafir. Namun individu tertetu yang menyatakannya tidak dihukumi dengan kafir hingga tegak atasnya hujjah yang membuat kafir peninggalnya. [18]

Para Ulama mensyaratkan dua syarat dalam memvonis kafir seorang Muslim yang harus ada yaitu :

Adanya dalil yang jelas dan tegas bahwa sebuah perkataan atau perbuatan atau keyakinan termasuk kekufuran dalam syariat Islam
Tegaknya hujjah pada muslim tersebut atau dengan ungkapan lain bahwa tepatnya penerapan hukum pada individu tertentu dengan sempurnanya syarat dan hilangnya penghalang hukum.
Diantara dasarnya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [Al-Isra’/17:15]

Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan bahwa makna tekstual dari ayat yang mulia ini adalah Allâh Azza wa Jalla tidak mengadzab seorang makhluknya di dunia dan di akherat hingga Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul untuk mengingatkan dan memperingatkan, lalu mendurhakai Rasul tersebut dan terus bertahan dalam kekufurannya dan kemaksiatannya setelah peringatan dan penegakan hujjah tersebut. [19]

Sedangkan Syaikhul Islam rahimahullah menyatakan bahwa al-Qur`an dan Sunnah telah menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mengadzab seorangpun kecuali setelah penyampaian risalah kerasulan. Siapa yang belum sampai kepadanya sama sekali maka tidak diadzab sama sekali dan yang sampai kepadanya secara garis besar tanpa sebagian perinciannya maka tidak dizdab kecuali sesuai dengan pengingkaran terhadap yang sudah tegak hujjah kerasulan padanya.[20]

Oleh karena itu imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya hujjah Allâh Azza wa Jalla telah tegak atas para hamba-Nya dengan diutusnya Rasul dan diturunkannya kitab suci serta sampainya hal itu kepadanya. Juga ditambah dengan kemudahan untuk mengetahuinya baik hamba tersebut mengetahuiny atau tidak mengetahuinya. Semua yang telah dimudahkan untuk mengenal semua perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla lalu tidak sungguh-sungguh menunaikan dan tidak mengenalnya maka telah tegak hujjah atyasnya. Allâh tidak mengadzab seseorang kecuali setelah tegaknya hujjah. Apabila Allâh menghukumnya atas sebuah dosa maka menghukumnya dengan hujjah atas kezhalimannya.[21]

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak mengadzab seorang hamba kecuali setelah diberi peringatan dan tegaknya hujjah.

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahâb rahimahullah berkata, “Apabila orang tertentu tidak dijatuhi vonis kafir kecuali setelah tegak hujjah atasnya, maka maksudnya bukan harus memahami kalamullâh dan sunnah Rasul-Nya sebagaimana kwalitas pemahaman Abu Bakar Radhiyallahu anhu, namun cukup apabila sampai kepadanya kalamullah dan rasul-Nya dan tidak ada sedikitpun yang bisa dijadikan alasan atau udzur maka dia kafir. Sebagaimana orang-orang kafir seluruhnya telah tegak atas mereka hujjah dengan al-Qur`an, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ ۖ وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا

Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. [Al-An’am/6:25].

Dan firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya binatang (mahluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allâh ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. [Al-Anfal/8:22]. [22]

Dengan demikian jelaslah tidak divonis kafir seorang Muslim yang melakukan kekufuran sampai tegak atasnya hujjah dan hilangnya semua penghalang pengkafirannya.

Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
_______
Footnote
[1] Al-Fatâwa, 7/273
[2] Ahkâm Ahlidz Dzimmah 2/829
[3] Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân 8/55
[4] Ash Shârimul Maslûl, hlm. 19
[5] Dinukil dari ash-Shârimul Maslûl, hlm. 13
[6] Lihat Fat-hul Bâri, 12/283
[7] Tharîq al-Hijratain, hlm. 662
[8] Ash-Shârimul Maslûl, hlm. 357
[9] Lihat Jâmi’ al-Bayân, 6/457-458
[10] Jâmi’ al-Bayân, 10/334
[11] Ash-Shârim al-Maslûl, hlm. 358
[12] As-Shârimul Maslûl, hlm. 10
[13] Asy-Syifâ` 2/1047
[14] Asy-Syifâ` 2/1034
[15] Ahkâm Ahlil Milal, hlm. 255
[16] Al-Qaulul Mufîd ‘Ala Kitabit Tauhîd, 2/271
[17] Majmu’ al-Fatâwa 12/466
[18] Ad-Durar as-Saniyah 8/244
[19] Adwa’ al-Bayân 3/429
[20] Majmu’ al-Fatâwa, 12/493
[21] Madârij as-Sâlikîn 1/271
[22] Ad-Durar as-Saniyah 8/79