Polrestabes Surabaya Amankan Pengundian Nomor Urut Paslon 3

Polrestabes Surabaya Amankan Pengundian Nomor Urut Paslon Walikota Surabaya Berjalan Aman

Polrestabes Surabaya Amankan Pengundian Nomor Urut Paslon 2mascipoldotcom – Kamis, 24 September 2020 (07 Safar 1442 H)

Surabaya – 350 Personel polisi dari Polrestabes Surabaya diturunkan untuk mengamankan pengundian nomor urut Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Surabaya yang berlangsung hari Kamis (24/9/2020) di Hotel Singgasana.

Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Johnny Eddizon Isir menyampaikan.”Tim pengamanan ini bertugas untuk menjaga kondusifitas selama tahapan pengundian nomor urut paslon,” kata Kapolrestabes.

Selain itu, tim pengamanan juga bertugas untuk mengantisipasi adanya pendukung pasangan calon yang datang tanpa adanya undangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kerumunan, sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

Polrestabes Surabaya Amankan Pengundian Nomor Urut Paslon 1“Sesuai dengan aturan PKPU 13 TH 2020, yang diperbolehkan hadir dalam kegiatan tersebut hanya pasangan calon dengan satu orang. Kemudian dari partai politik masing-masing 2 orang. Yakni Ketua dan Sekretaris. Selain itu tidak diperbolehkan,” tegasnya.

Isir mengaku sudah berkomunikasi dengan masing-masing pasangan calon beserta partai politik agar tidak mengerahkan masa saat tahapan pengundian nomor urut paslon. “Belajar dari tahapan pendaftaran kemarin (terjadi kerumunan di luar kantor KPU), kita perketat lagi akses masuk ke lokasi,” imbuhnya.

Perwira menengah Polri ini mengimbau semua pihak mematuhi ketentuan yang berlaku, dalam rangka menciptakan Pilwali Surabaya yang kondusif dan bebas COVID-19. “Tentu jika ada yang melanggar protokol kesehatan akan kita tindak sesuai aturan yang berlaku,” tegas Isir.

Polrestabes Surabaya Amankan Pengundian Nomor Urut Paslon 3Pengawal Pribadi Bersenjata Lengkap untuk Pasangan Calon

Isir menambahkan, selama tahapan masa kampanye hingga pelantikan Walikota dan Wakil Waliokota terpilih nanti, semua pasangan calon akan mendapat pengawalan pribadi (Walpri) dari Polrestabes Surabaya.

“Kita sudah siapkan 4 orang pengawal untuk masing-masing pasangan calon. Dua orang mengawal calon walikota dan dua orang mengawal calon wakil walikota,” kata Isir.

Walpri bertugas untuk menjaga keselamatan pasangan calon selama 24 jam. Mereka yang dipilih sudah mengikuti tes seperti bela diri, serta dilengkapi persenjataan lengkap untuk mengantisipai adanya ancaman yang membahayakan keselamatan calon.

“Jadi mereka ini akan mengawal setiap kegiatan calon. Mereka juga standby di rumah masing-masing calon saat calon yang mereka kawal berada di rumah. Intinya pengawalan selama 24 jam,” tutup Kapolrestabes.( Lm/Bag Humas Polrestabes Surabaya)

————–

Renungan

Syarat-Syarat Sahnya Shalat

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:

A. Mengetahui Masuknya Waktu

Berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].

Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.

B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil

Berdasarkan firman Allah:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah: 6].

Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.

“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.” [1]

C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat

Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”[2]

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.

“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.” [3]

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.

“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.” [4]

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:

أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.

“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]

Catatan:

Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.

Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, ‘Kenapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab,

‘Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.’”[6]

D. Menutup Aurat

Berdasarkan firman Allah:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid…” [Al-A’raaf: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:

مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:

غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat.” [9]

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.

“Wanita adalah aurat.” [10]

Juga sabda beliau:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup.” [11]

E. Menghadap ke Kiblat

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah: 150].

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat…” [12]

Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.

Allah berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”

Nafi’ berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]

Catatan:

Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.

Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

“… maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-Baqarah: 115].”[15]

F. Niat

Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”

Ini semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______

Footnote

[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9]. Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi (IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995), lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no. 6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara mu’allaq.
[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216 no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa, begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma’aad (I/51).