mascipoldotcom, Senin, 5 Juli 2021 (25 Zdulkaidah 1442 H)
Jakarta – Jajaran kepolisian sudah menyiapkan sanksi tegas terhadap perusahaan non kritikal dan non esensial yang masih nekat beroperasi saat penerapan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Sanksi tegas tersebut yakni berupa penegakan yustisi hingga ancaman pidana.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Tubagus Ade Hidayat mengatakan, pihaknya telah membentuk satgas yang akan menjalankan penegakan hukum (Gakkum) tersebut. Nantinya, kata Tubagus, satgas tersebut yang akan menindak para pelanggar PPKM Darurat, termasuk perusahaan yang bandel.
“Ada beberapa satgas, salah satunya adalah Satgas Gakkum. Satgas Gakkum ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan PPKM Darurat betul-betul dilaksanakan. Apa saja ketentuannya? Tadi sudah disampaikan, ada dua jenis penindakan, yang pertama adalah yustisi, kedua adalah penyidikan, penyidikan masuk tindak pidana,” kata Kombes Pol Tubagus Ade Hidayat saat mengikuti pelaksanaan penyekatan dalam rangka PPKM Darurat di Bundaran Senayan, Jakarta, dini hari.
Aparat penegak hukum bakal menggunakan Undang-Undang tentang Penanggulangan Wabah untuk menindak tegas para pelanggar PPKM, termasuk perusahaan non esensial yang masih beroperasi “Undang-Undang apa yang akan diterapkan? UU yang diterapkan adalah UU tentang penanggulangan wabah. Apa yang dilarang di situ? yang dilarang adalah semua tindakan yang mengahalang-halangi upaya penanggulangan. Lantas apa saja yang disebut dengan penanggulangan, salah satunya penerapan PPKM Darurat yang merupakan salah satu bentuk dari upaya penanggulangan terhadap wabah penyakit,” sambung Kombes Pol Tubagus.
Atas dasar itu, kata Kombes Pol Tubagus, jika ada poin-poin dalam Undang-Undang tentang Penanggulangan Wabah yang dilanggar, maka dianggap telah menghalang-halangi penanggulangan wabah penyakit. Hal itu yang kemudian bisa diancam pidana. “Contoh, yang non kritikal dan non esensial yang seharusnya tutup, dia buka, melaksanakan operasional, berarti dia menghalang-halangi terhadap penanggulangan wabah penyakit. Kita terapkan dan akan kita sidik,” tegas Kombes Pol Tubagus.
Sekadar informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengumumkan bahwa Pulau Jawa dan Bali akan dilakukan PPKM Darurat sejak 3 hingga 20 Juli 2021. Jokowi memastikan akan ada pengetatan ekstra pada saat pemberlakuan PPKM Darurat. Keputusan PPKM Darurat ini diambil setelah sejumlah daerah di Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Bali mengalami lonjakan kasus konfirmasi positif Covid-19 yang signifikan. Lonjakan kasus itu diakibatkan salah satunya karena munculnya varian baru virus Corona.
Berdasarkan draf panduan mengenai pengetatan aktivitas masyarakat pada PPKM darurat yang diterima MNC Portal Indonesia, untuk pekerja di sektor non esensial menerapkan 100% work from home (WFH). Begitu juga dengan kegiatan belajar mengajar, seluruhnya digelar secara online.
Sementara itu, untuk sektor esensial, maksimal 50% staf WFH dengan menerapkan protokol kesehatan (prokes). Sektor kritikal diperbolehkan 100% staf work from office (WHO) dengan prokes.
Cakupan esensial yang dimaksud yakni meliputi sektor keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan nonpenanganan karantina Covid-19, serta industri orientasi ekspor.
Cakupan sektor kritikal adalah energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (seperti listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.
Untuk supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan kapasitas pengunjung 50%. Sedangkan, untuk apotek dan toko obat bisa buka full selama 24 jam. (Muhairo)
———-
MEMBANGKANG BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP AHLI SUNNAH
Pembeo, penjilat, pendukung rezim!
Kata-kata ini, biasanya muncul dan diarahkan kepada sosok yang tak mau melakukan koreksi, kritik, atau makar terhadap penguasa secara terbuka. Tak ayal, berbagai hujatan pun mengiringinya. Begitu yang terjadi. Demo, mobilisasi massa, protes menggugat kebijakan pemimpin, hingga kemudian berupaya menjungkirkannya.
Cara dan upaya ini, menurut para penganutnya sangat efektif untuk menggiring pemimpin sehingga bersedia memenuhi tuntutan rakyat. Sementara itu, pada sisi lainnya, cara-cara ini juga berpotensi menimbulkan konflik terbuka. Sehingga tidak jarang terjadi instabilitas di masyarakat, dan perseteruan berkepanjangan. Maksud hati ingin menyampaikan nasihat, tetapi faktanya melontarkan hujatan, ghibah dan provokasi, serta justru menumbuhkan keresahan. ‘Betapa banyak orang menginginkan kebenaran, tetapi tidak meraihnya’.
Sikap menggugat seperti ini, pernah muncul pada zaman sahabat, dan waktu itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang di Hunain, dengan memberikannya kepada orang-orang muallaf dan tidak memberikan kepadanya sedikit pun. Pimpinan mereka menyampaikan protes, sembari mengatakan : “Bersikap adillah, wahai Muhammad! Sesungguhnya pembagian yang engkau lakukan ini tidak dimaksudkan untuk mencari wajah Allah,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Celaka engkau. Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berbuat adil? Sesungguhnya aku orang yang paling mengenal Allah dan paling bertaqwa kepadaNya”. [HR Bukhari-Muslim].
Dari protes yang ditunjukkan laki-laki penentang Rasulullah ini, terlihat dengan jelas faktor-faktor yang telah mendorongnya melakukan pembangkangan. Dia menjadikan himpitan sosial, politik atau ekonomi sebagai sarana untuk keluar dari prinsip-prinsip pemahaman Islam dan melakukan pemberontakan kepada penguasa kaum Muslimin. Kemudian, dia juga berbuat lancang terhadap waliyul amr.
Sikap semacam ini, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Para ulama Ahlu Sunnah, di dalam kitab-kitab aqidah telah memperingatkan, agar umat tidak melakukan pembangkangan terhadap para pemimpin negara. Para ulama telah memahami berdasarkan Sunnah, tentang celaan terhadap Khawarij dan fitnahnya yang dialami umat. Sehingga, para ulama Ahlu Sunnah menyatakan keharusan untuk mendengar dan mentaati pemimpin, yang baik maupun yang jahat. Tentu, dengan berlandaskan prinsip-prinsip manhaj dan aqidah yang benar. Yaitu hanya mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruf. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Baca Juga Ahlus Sunnah Menasihati Pemerintah Dengan Cara Yang Baik, Tidak Mengadakan Provokasi Dan Penghasutan
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوْفِ
Sesungguhnya, ketaatan hanyalah dalam hal yang ma’ruf.
Apabila seorang pemimpin memerintahkan kepada perbuatan maksiat, maka Ahlu Sunnah tidak akan melakukannya, namun tidak berarti boleh melakukan pembangkangan kepada para penguasa tersebut.
Disinilah perlunya seorang muslim mengetahui dan memahami cara bersikap kepada penguasa. Apabila seorang muslim tidak memahami cara bersikap kepada penguasa, niscaya akan menimbulkan keburukan dan kerusakan.
Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah ar Ruhaili –hafizhahullah– pada Tabligh Akbar di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad 20 Jumadil Tsani 1427H /16 Juli 2006M telah menyebutkan empat prinsip dalam bermu’amalah dengan penguasa.
Prinsip Pertama. Wajibnya bai’at kepada penguasa, dan ini merupakan kewajiban setiap orang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari penguasa), niscaya akan menjumpai Allah tanpa memiliki hujjah (alasan). Dan barangsiapa meninggal tanpa ikatan bai’at, maka kematiannya (seperti) kematian jahiliyah. [HR Muslim, 3441].
Prinsip Kedua. Menasihati para penguasa dengan menjauhi sikap memberontak, membangkang, mencaci atau menghinanya. Adanya kesalahan pada pemimpin, bukan berarti kita boleh menginjak-injak kehormatannya. Kita disyari’atkan untuk menasihati dan menjelaskan kesalahannya dengan cara-cara yang benar, mempertimbangkan situasi dan kondisi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا : (مِنْهَا ): وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal pada kalian (di antaranya), kalian menasihati orang-orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan kalian. [HR Ahmad, 23278; Malik, 1578].
Prinsip Ketiga. Mendengar dan taat kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Karena urusan jama’ah tidak akan lurus, kecuali dengan keberadaan imamah (kepemimpinan). Dan tidak lurus sebuah kepemimpinan, kecuali dengan ketaatan. (Perlu diketahui bahwa maksud jama’ah di sini bukan jama’ah sempalan, alias kelompok. Dan maksud Imamah bukan imamah bagi jama’ah sempalan. Sebab demikian bukan jama’ah kaum muslimin-red)
Prinsip Keempat. Tidak sembrono dengan melontarkan takfir kepada penguasa muslim. Karena takfir merupakan hak Allah. Tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang yang berhak dikafirkan dan layak mendapatkannya. Harus disadari, lontaran takfir kepada penguasa akan menimbulkan keresahan. Sebab, pengkafiran terhadap penguasa berdampak pada berbagai masalah. Oleh karena itu, Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan, seorang penguasa tidak boleh dikafirkan kecuali bila terpenuhi syarat-syaratnya.
Setelah mengetahui prinsip-prinsip ini, maka tidak selayaknya seorang muslim mengambil dan mengadopsi cara-cara selain yang telah menjadi pedoman para ulama Ahlu Sunnah. Jika hendak memperbaiki, maka tidak asal melakukan hujatan. Letakkan semua permasalahan berlandaskan manhaj dan aqidah yang benar.
Washalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 ]