mascipoldotcom – Kamis, 28 Oktober 2021 (21 Rabiul Awal 1443 H)
Jakarta – Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menghadiri penutupan pendidikan Sespimti Polri Dikreg ke-30, Sespimen Polri Dikreg ke-61, dan Sespimma Polri angkatan ke-66. Dalam kesempatan itu, Jenderal Polisi Sigit meminta seluruh perwira lulusan tersebut menjadi pemimpin yang mengayomi masyarakat dan anggotanya.
“Jadilah pemimpin yang melayani. Pemimpin yang bisa melayani dan menempatkan anggota dan masyarakat sebagai prioritas. Jangan hanya memerintah tapi tidak tahu kesulitan. Ini menjadi masalah,” kata Kapolri dalam sambutannya di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021).
Kapolri mengatakan seorang pemimpin harus memiliki sifat dan sikap yang kuat, menguasai lapangan, bergerak cepat, responsif, peka terhadap perubahan, dan berani keluar dari zona nyaman.
Tidak hanya itu, Kapolri menegaskan, seorang pemimpin harus mau turun ke bawah untuk mendengarkan secara langsung aspirasi dari masyarakat dan anggotanya. Pemimpin yang kuat akan mampu menciptakan rasa saling menghormati antara pimpinan dan jajarannya.
Mantan Kapolda Banten ini menekankan, dalam menjalankan tugas, pemimpin tidak boleh mudah terpancing emosinya. Hal itu dapat berpengaruh pada tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
“Turun langsung ke lapangan agar tahu apa yang dirasakan masyarakat dan anak buah. Jaga emosi, jangan terpancing. Emosi mudah meledak akan akibatkan perbuatan yang tidak terukur. Apalagi diberi kewenangan oleh undang-undang, maka tindakan tidak terukur tersebut akan berpotensi menjadi masalah,” ujar eks Kabareskrim Polri ini.
Menurut Kapolri, pemimpin harus menjadi teladan bagi semua pihak. Ini sebagaimana semangat dari lahirnya konsep Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Kapolri menyatakan konsep Presisi akan bisa dirasakan oleh masyarakat dan internal kepolisian apabila benar-benar diimplementasikan dengan baik. Dengan melaksanakan gagasan itu, Polri akan menjadi institusi yang semakin diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
“Itu yang saya tuangkan dalam konsep Presisi. Bagaimana kita menghadirkan pemolisian yang prediktif, responsibilitas, dan mampu melaksanakan semua secara transparan dan memenuhi rasa keadilan. Ini menjadi harapan masyarakat dan tugas rekan-rekan untuk mampu mewujudkan semua ini dari level pemimpin sampai pelaksana,” ujar Kapolri.
Kapolri mengatakan, dalam perjalanannya, konsep Presisi telah melahirkan tingkat kepercayaan masyarakat yang meningkat berdasarkan survei di pertengahan tahun. Namun, Sigit mengakui, belakangan ini tren positif kepercayaan itu mengalami penurunan karena adanya sejumlah perbuatan oknum.
Namun, Kapolri percaya institusi Polri jauh lebih banyak diisi oleh orang-orang yang baik dan memiliki semangat perubahan untuk mewujudkan semangat dari Presisi.
“Kemudian survei di awal Oktober kita turun, karena adanya penyimpangan anggota yang viral dengan cepat dengan didukung perkembangan teknologi informasi dalam dunia media. Ketika banyak anggota yang viral, itu menjadi koreksi bagi kita masyarakat. Maka dari itu, perbuatan yang dilakukan oleh personel bila bersifat positif maka dampaknya secara organisasi akan positif. Begitupun sebaliknya. Jadi persepsi itu muncul menjadi generalisasi. Masih sangat banyak polisi yang baik dibanding oknum sehingga manfaatkan perkembangan teknologi untuk memunculkan terobosan kreatif dan positif yang ada,” papar Kapolri.
Terkait kepemimpinan, Kapolri mengutip peribahasa ‘ikan busuk mulai dari kepala’. Adanya permasalahan internal di Polri bisa terjadi karena pimpinannya bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya.
“Ada pepatah, ikan busuk mulai dari kepala, kalau pimpinannya bermasalah, bawahannya akan bermasalah juga. Pimpinan harus jadi teladan, sehingga bawahannya akan meneladani. Karena kita tidak mungkin diikuti kalau kita tidak memulai yang baik, kita tidak mungkin menegur kalau tidak jadi teladan, harus mulai dari pemimpin atau diri sendiri. Ini yang saya harapkan rekan-rekan mampu memahami. Hal yang dijalankan penuh keikhlasan akan menjadi buah keikhlasan. Tolong ini diimplementasikan bukan hanya teori dan pepatah,” jelas Kapolri.
Sebagai Kapolri, Jenderal Polisi Sigit memastikan, dirinya beserta pejabat utama Mabes Polri memiliki komitmen untuk memberikan reward kepada personel yang menjalankan tugas dengan baik dan bekerja keras untuk melayani serta mengayomi masyarakat.
“Saya dan seluruh pejabat utama memiliki komitmen kepada anggota yang sudah bekerja keras di lapangan, kerja bagus, capek, meninggalkan anak-istri. Akan selalu komitmen berikan reward. Kalau saya lupa, tolong diingatkan,” ucap Kapolri.
Namun sebaliknya, Kapolri menegaskan, sanksi tegas akan diberikan kepada seluruh personel yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik atau melanggar aturan yang ada.
Bahkan Kapokri menyatakan tidak akan ragu untuk menindak tegas pimpinan di Polri apabila tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya. Menurut Sigit, semua itu dilakukan untuk kebaikan Korps Bhayangkara ke depannya.
“Namun terhadap anggota yang melakukan kesalahan dan berdampak pada organisasi, jangan ragu melakukan tindakan. Kalau tak mampu membersihkan ekor, kepalanya akan saya potong. Ini semua untuk kebaikan organisasi yang susah payah berjuang. Menjadi teladan, pelayan, dan pahami setiap masalah dan suara masyarakat agar kita bisa ambil kebijakan yang sesuai,” tutur Kapolri
Kapolri menambahkan, dirinya juga meminta kepada seluruh personel Polri untuk siap menghadapi segala bentuk tantangan baik dari dalam ataupun luar negeri. Polri harus mampu menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.
Adapun tantangan yang harus dipersiapkan antara lain kejahatan terorisme, kemajuan teknologi informasi di Revolusi 4.0, pandemi COVID-19, pinjaman online ilegal, bencana alam, hingga pemilu (Leodepari)
—————
Renungan
AHLUS SUNNAH MELARANG MEMBERONTAK KEPADA PEMERINTAH
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang kaum Muslimin keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur [1]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang nyata.
‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu berkata:
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ j فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Rasulullah memanggil kami, lalu kami membai’at beliau. Di antara yang beliau tekankan kepada kami adalah, agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.” [2]
Fatwa-fatwa para ulama tentang pemberontakan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tidak bolehnya keluar dari ulil amri, kecuali dengan beberapa syarat:
1. Kekufuran yang jelas (penguasa melakukan kekufuran yang jelas).
2. Tidak ada kesamaran tentang kekufurannya dan bukan ke-fasikan.
3. Jelas-jelas dia melakukannya dengan terang-terangan bukan ta’wil.
4. Ada bukti dan dalil yang jelas dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta Ijma’ tentang kekufurannya.
5. Ada kemampuan (untuk keluar dari mereka).[3]
Sedangkan Syaikh al-Albani rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh keluar dari penguasa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah? (Penulis ringkas jawabannya) Kata beliau: “Kami berkesimpulan: ‘Tidak boleh keluar (memberontak) pada zaman sekarang ini, karena mafsadah (kerusakan) yang diakibatkannya lebih besar dengan terbunuh (tumpahnya darah) kaum Muslimin dengan sia-sia dan tidak ada manfaatnya, bahkan kerusakan-kerusakan tersebar di mana-mana dan tampak pengaruh yang jelek pada masyarakat kaum Muslimin.’” [4]
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz (wafat th. 1420 H) rahimahullah menjelaskan pula tentang masalah tersebut:
1. Harus melihat pada maslahat dan mafsadah.
2. Yang menjelaskannya adalah ulama Ahlus Sunnah.
3. Harus memperhatikan kaidah: “Menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil maslahat.”
4. Jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar sebaiknya harus bersabar. [5]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berbeda dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedangkan pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena akan timbul bahaya-bahaya yang sangat besar, baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan, pertumpahan darah, kerawanan dari pihak musuh, dan tidak adanya rasa aman bagi kaum Muslimin. [6]
Nasihat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah:
Saya nasihatkan kepada para pemuda yang memiliki semangat jihad dan ikhlas karena Allah dalam rangka berjuang, hendaklah mereka (mendahulukan) perbaikan diri (dari dalam) dan meng-akhirkan perbaikan keluar yang tidak ada tipu daya di dalamnya. Dan ini menuntut pekerjaan yang tekun dan waktu yang lama dalam mewujudkan tashfiyah (pemurnian ajaran Islam) dan tar-biyah (pembinaan dan pembelajaran). Karena sesungguhnya pekerjaan ini tidak akan terlaksana melainkan oleh para ulama yang terpilih dan para pendidik yang bertaqwa. Betapa sedikitnya mereka pada zaman ini, khususnya pada kelompok yang memberontak kepada pemerintah.
Terkadang sebagian mereka mengingkari pentingnya tashfiyah ini sebagaimana yang terjadi pada sebagian kelompok Islam. Mereka beranggapan bahwa tashfiyah telah hilang masanya, lalu mereka berpaling ke arah politik dan jihad. Perbuatan mereka yang memalingkan perhatian dari tashfiyah dan tarbiyah seluruhnya adalah salah. Betapa banyak pelanggaran-pelanggaran syari’at yang bersumber dari mereka terjadi disebabkan kelalaian dalam melaksanakan kewajiban tashfiyah. Mereka condong kepada taqlid dan berita dusta, yang dengannya mereka banyak meng-halalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah! Sebagai contoh, memberontak kepada pemerintah meskipun belum timbul kekufuran yang jelas dari mereka (pemerintah).
Sebagai penutup saya katakan, kami tidak mengingkari bahwa ada sebagian pemerintah yang wajib bagi kita untuk memberontak kepada mereka. Seperti (pemerintah) yang mengingkari disyari’at-kannya puasa Ramadhan, menyembelih hewan kurban pada hari ‘Iedul Adh-ha, dan yang semisalnya dari perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama ini. Mereka ini wajib diperangi berdasarkan nash hadits, akan tetapi dengan syarat ada kemampuan sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
Tetapi, memerangi Yahudi yang menjajah tanah yang suci dan menumpahkan darah kaum Muslimin lebih wajib daripada memerangi pemerintah yang mengingkari perkara yang telah pasti diketahui dalam agama ini dari banyak sisi. Tidak ada tempat untuk menjelaskannya sekarang. Yang lebih penting lagi bahwa tentara pemerintah itu adalah dari saudara-saudara kita kaum Muslimin. Bisa jadi sebagian besar mereka atau kebanyakan mereka tidak ridha terhadap pemerintah itu.
Mengapa para pemuda yang bersemangat itu tidak memerangi Yahudi sebagai ganti penyerangan mereka terhadap sebagian pemerintah kaum Muslimin?! Saya kira jawaban mereka adalah tidak adanya kemampuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jawaban mereka bahwa mereka tidak mampu merupakan jawaban kami, dan kenyataan yang ada menguatkan jawaban kami, dengan dalil bahwa pemberontakan mereka tidak menghasilkan sesuatu kecuali pertumpahan darah belaka. Sebagai contoh adalah yang terjadi di negara Aljazair. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran???!” [7]
Memberontak kepada pemerintah adalah ciri khas dari Khawarij dan Teroris.
Menumpahkan darah Muslimin dan memberontak terhadap pemerintah merupakan ciri khas utama sekaligus simbol dan syi’ar paling besar firqah Khawarij. Namun mereka mengklaim bahwa pemberontakan yang mereka lakukan itu sebagai jihad yang me-rupakan amalan tertinggi dalam Islam.
Baca Juga Keutamaan Dakwah Tauhid
Al-Imam al-Barbahari berkata dalam Syarhus Sunnah: “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij, dan berarti dia telah memecah belah kesatuan kaum Muslimin dan menentang Sunnah, serta matinya seperti mati Jahiliyyah.” [8]
Asy-Syahrastani berkata: “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa Sahabat kepada Khulafaur Rasyidin, atau setelah mereka di masa Tabi’in dan para imam di setiap zaman.” [9]
Tercatat dalam sejarah, bahwa pemberontakan pertama kali dalam Islam dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah -yaitu cikal bakal Khawarij- yang kemudian menurunkan generasi yang berpemikiran sesat seperti dia. Demikian juga tercatat pada perkembangan berikutnya, tidak ada satu pun pemberontakan kecuali pelakunya adalah Khawarij dan Syi’ah Rafidhah, atau orang-orang yang teracuni pemikiran dua aliran sesat tersebut. Mereka terus mengotori barisan ummat Islam ini dengan tampil sebagai teroris di tubuh ummat. Berikut beberapa contoh aksi teror dan pemberontakan yang mereka lakukan sepanjang sejarah Islam:
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Hal ini berlaku bagi pemimpin muslim yang berbuat zhalim dan aniaya, yang masih menggunakan syari’at Nabi j. Namun apabila pemimpin itu telah kafir, maka boleh memberontak kepadanya dengan syarat-syarat yang ada pada pem-bahasan selanjutnya. Lihat Fat-hul Baari (XIII/124-125), Syarah Muslim (XII/229) dan al-Minhatul Ilaahiyyah fii Tahdziib Syarah ath-Thahaawiyyah (hal. 355).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 7055-7056) dan Muslim (no. 1709 (42)) Kitaabul Imaarah bab Wujuub Thaa’atil Umaraa’ fii Ghairi Ma’shiyatin wa Tahriimiha fil Ma’shiyah. Lihat Fat-hul Baari (XIII/5-8).
[3]. Kaifa Nu’aalij Waaqi’anal ‘Aliim yang dikumpulkan oleh Abu Anas ‘Ali bin Husain Abu Lauz (hal. 77-78).
[4]. Ibid, (hal. 79-80).
[5]. Lihat kitab al-Ma’luum min Waajibil ‘Ilaaqah bainal Haakim wal Mahkuum (hal. 7-10, 14) oleh Abu ‘Abdillah bin Ibrahim al-Bulaithih al-Wa-ili.
[6]. Lihat pembahasan tentang bagaimana bermu’amalah dengan ulil amri (penguasa), kitab Mu’aamalatul Hukkaam fii Dhau-il Kitaab was Sunnah oleh ‘Abdus Salam bin Barjas bin Nashir ‘Abdul Karim t, cet. V, th. 1417 H.
[7]. Dinukil dari Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah, juz VII bagian kedua, hal. 1242-1423, setelah pembahasan hadits no. 3418.
[8]. Lihat kitab Syarhus Sunnah (hal. 76, no. 33) oleh al Imam al Barbahari, tahqiq Syaikh Abu Yasir Khalid ar-Raddadi, cet. II, th. 1418 H.
[9]. Lihat al-Milal wan Nihal (hal 114).