mascipoldotcom, Jum;at, 30 Juli 2021 (20 Dzulhijjah 1442 H)
Jakarta – Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meminta kepada seluruh jajarannya untuk mendampingi proses percepatan penyerapan anggaran penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Kapolri juga meminta agar aparat kepolisian juga memberikan pengawalan distribusi bantuan sosial (bansos) agar tepat sasaran.
Pengarahan terkait hal tersebut tertuang dalam surat telegram nomor ST/1488/VII/RES.3./2021. Dalam pendampingannya, Jenderal Polisi Sigit menyebut dibutuhkan komunikasi serta koordinasi antara Polri dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP).
“Membangun sinergitas dan kerjasama pengawasan melalui pembentukan desk, melaksanakan penegakan hukum sebagai upaya terakhir tentunya dengan mengedepankan peran APIP serta memaksimalkan pemulihan kerugian yang dialami negara,” ujar Jenderal Polisi Sigit melalui keterangan tertulisnya, Kamis (29/7/2021).
Jenderal Polisi Sigit mengingatkan, agar jajaran kepolisian tidak menetapkan diskresi yang bersifat diskriminalisasi dalam proses pendampingan dan percepatan penyerapan anggaran.
Jika nantinya ditemukan kesalahan, Sigit memerintahkan jajarannya untuk membuktikan secara profesional sesuai dengan hasil pemeriksaan BPK terkait dengan kerugian negara.
“Tentu, kesalahan dalam proses pengelolaan anggaran harus dibuktikan untuk membuktikan adanya niat jahat atau kesengajaan dengan dilengkapi hasil pemeriksaan BPK RI yang menyatakan kerugian negara secara riil,” terang Kapolri.
Kemudian, untuk proses distribusi bantuan sosial, mantan Kapolda Banten tersebut menegaskan pihaknya akan ikut serta membantu agar sampai dengan cepat dan tepat di tangan masyarakat.
“Polri siap untuk membantu pengamanan dan mendampingi distribusi bantuan sosial pemerintah untuk masyarakat, serta memastikan proses distribusi berjalan cepat, tepat dan sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan,” tandas Jenderal Polisi Sigit. (Muhairo)
———–
Renungan
JUJUR HATI, LISAN DAN PERBUATAN
Oleh Syaikh Abdurrazaq bin Abdulmuhsin al-Badr Hafizhahumallah[1]
Sebagaimana hati dituntut untuk jujur, lisan dan anggota badan yang lainnya juga dituntut demikian. Oleh karena itu sebagaimana hati bisa disebut dengan hati yang jujur, begitu lisan dan anggota badan yang lainpun bisa di disebut dengan lisan yang jujur dan lain sebagainya.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa lisan bisa disebut lisan yang jujur yaitu apa yang terdapat dalam doa yang sangat agung dalam hadits Syaddâd bin Aus Radhiyallahu anhu . Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ‘ Wahai Syaddâd bin Aus, apabila kamu melihat orang mengumpulkan emas dan perak, maka kamu kumpulkanlah kalimat-kalimat ini (doa-doa):
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الْأَمْرِ , وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ، وَأَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ , وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ شُكْرَ نِعْمَتِكَ , وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا , وَلِسَانًا صَادِقًا، وَأَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا تَعْلَمُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا تَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
Wahai Allâh! Aku meminta kepadamu keteguhan dalam segala perkara, kesungguhan dalam petunjuk. Aku memohon kepada-Mu segala yang bisa mendatangkan rahmat-Mu, segala yang bisa mengundang ampunan-Mu! Aku memohon kepadamu rasa syukur atas nikmat-Mu dan ibadah yang bagus. Aku juga memohon hati yang selamat dan lisan yang jujur. Aku juga memohon kepada-Mu kebaikan yang Engkau ketahui. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang engkau ketahui. Aku meminta ampunan kepada-Mu atas dosa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau adalah maha mengetahui perkara-perkara ghaib.[2]
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “lisan yang jujur.” Lisan yang jujur lisan lisan yang selaras dengan hati, antara apa yang ada dalam hatinya dan apa yang diperlihatkan sama. Lisannya tidak mengucapkan sesuatu yang tidak ia imani dan tidak ia yakini dalam hatinya.
Berkait dengan doa yang agung ini, sesungguhnya dalam doa tersebut terdapat kiat atau jalan selamat bagi seorang hamba, terlebih tatkala hati condong dan tergoda dengan keindahan dunia. Dalam doa ini, Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam sabda Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتَ النَّاسَ قَدِ اكْتَنَزُوا الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ، فَاكْنِزْ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَات
Apabila kamu melihat orang mengumpulkan emas dan perak, maka kumpulkanlah kalimat-kalimat (doa-doa) ini.
Maksudnya, apabila hati-hati manusia telah condong dan tergoda dengan dunia, saat dunia menjadi puncak keinginan dan fokus semua kesibukannya, maka hendaklah kamu kumpulkanlah doa-doa ini.
Dan ini sungguh tepat. Jika kita perhatikan kandungan dan cakupan doa ini yang berisi permohonan-permohonan dan makna-makna yang tinggi, kita pasti dapati didalamnya ada kiat-kiat selamat agar selamat dari fitnah dunia.
ANGGOTA BADAN YANG JUJUR
Dalam hadits di atas disebutkan lisan yang jujur. Adapun penyebutan anggota badan yang lain dan disifati dengan sifat jujur atau dusta, maka ini bisa didapatkan dalam hadits yang shahih. Yaitu tatkala Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْن آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لا مَحَالَةَ : فَالعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ ، وَاللِّسَانُ زِناهُ الكَلاَمُ ، وَاليَدُ زِنَاهَا البَطْشُ ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الخُطَا ، والقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
Telah dituliskan bagi anak Adam bagiannya dari zina. Bani Adam pasti akan mendapatkannya. Kedua mata bentuk zinanya adalah dengan melihat. Bentuk zina dua telinga adalah dengan mendengar, lisan dengan ucapan, kedua tangan zinanya dengan menyentuh, dua kaki zinanya dengan melangkah, hati dengan berharap serta berkeinginan, lalu kemaluan yang membenarkan dan mendustakannya.[3]
Dalam hadits ini, Rasûlullâh mensiafati anggota badan dengan sifat jujur dan dusta, yaitu dengan sabda Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam , ”lalu kemaluan yang membenarkan dan mengingkari.” Oleh karena itu amalan yang dilakukan oleh para hamba terbagi menjadi dua yaitu amalan yang jujur dan amalan yang dusta.
Dikatakan bahwa kejujuran itu jalan keselamatan. Maksudnya, keselamatan seseorang terletak pada hatinya yang jujur dalam keyakinannya, lisannya yang jujur dalam ucapannya, dan anggota badan yang jujur dalam perbuatan.
Perhatikanlah makna ini dalam sebuah ayat yang disebut oleh para Ulama dengan ayatul bir (ayat tentang kebaikan). Yaitu firman Allâh:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allâh, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang jujur (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [Al-Baqarah/2:177]
Firman Allâh Azza wa Jalla diakhir ayat ini yang berbunyi أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا (Mereka itulah orang-orang yang jujur (imannya) ) kembali kepada dua hal:
Pertama: Keyakinan mereka yang benar, yaitu dengan yakinnya hati pada perkara-perkara pokok keimanan:
وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
… akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allâh, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi … [Al-Baqarah/2:177]
Ini adalah pokok-pokok landasan keimanan. Pokok-pokok ini bagi agama ibarat akar bagi pepohonan, atau ibarat pondasi bagi bangunan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allâh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, [Ibrâhîm/14:24]
Maka sebagaimana pohon yang tidak tegak berdiri kecuali dengan akar yang kuat, begitu pula keimanan. Ia tidak akan kuat berdiri tegak kecuali dengan pokok-pokok keimanan yang kokoh.
Pokok-pokok keimanan ini terletak di dalam hati, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat ke-177 di atas. Semua yang disebutkan dalam ayat tersebut tempatnya di hati.
Kedua: Bagusnya amalan, yaitu dengan menyempurnakan ketundukan dan kepatuhan kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan apa yang telah Allâh syari’atkan, dan menjauhi segala yang telah dilarang.
Ini semua merupakan bentuk kejujuran dan ketulusan seorang hamba kepada Robnya.
Berdasarkan ini, berarti mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan melaksanakan semua jenis kewajiban dalam Islam yang telah Allâh perintahkan, merupakan tanda dan ciri dari kejujuran seseorang kepada kepada Allâh Azza wa Jalla . Kejujuran dalam ibadah itu bukan kejujuran yang bersifat selektif, yang mana dia hanya melakukan ibadah dan kewajiban yang selaras dengan nafsunya saja, adapun yang tidak sesuai dia tidak lakukan. Ini bukan pertanda atau ciri orang-orang jujur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Dari sini diketahui, bahwa kejujuran kepada Allâh Azza wa Jalla mencakup ilmu dan amal, juga keyakinan dan syari’at. Bukanlah dinamakan sebuah kejujuran kepada Allâh Azza wa Jalla , keyakinan yang ada dalam hati seseorang namun keyakinan itu tidak direalisasikan dalam amalan nyata. Kejujuran kepada Allâh Azza wa Jalla mencakup baiknya hati dan baiknya perbuatan, baik ketika sendiri atau pun dikeramaian. Nabi Muhammad Shalllallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Sesungguhnya didalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila dia bagus maka semua aggota tubuh akan menjadi bagus, dan apabila dia rusak maka semua anggota tubuh akan rusak. Segumpal daging tersebut adalah hati[4]
Didalam hadist ini terdapat penjelasan bahwa Kejujuran hati seseorang kepada Allâh akan terpancar pada lisannya yang jujur, seluruh anggota tubuhnya yang jujur dalam melakukan semua ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla
Dari ayat di atas juga bisa difahami bahwa semua amalan anggota badan dan semua syari’at Islam yang nampak merupakan manifestasi dari kejujuran hati kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini jika muncul dari dalam hati seseorang, dan bukan amalan yang dibuat-buat. Sebagai contoh, perhatikanlah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru’ Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam . Pada suatu hari, Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam berbicar tentang shalat. Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورٌ وَبُرْهَانٌ وَنَجَاةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ، وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ مَعَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأَبِيِّ بْنِ خَلَفٍ
Barangsiapa menjaga shalat maka dia akan diberikan cahaya, burhân (bukti) dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaga shalat dia tidak akan diberikan cahaya, burhân (bukti) dan keselamatan dan dia pada hari kiamat akan bersama Qârûn, Fir’aun, Hamân, dan Ubay bin Khalaf[5]
Mereka berempat yang disebutkan dalam hadist di atas merupakan para tokoh orang-orang kafir. Ubay bin Khalaf merupakan satu-satuya orang kafir yang Rasûlullâh bunuh dengan tangan Beliau yang mulia.
Perhatikan sabda Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam di atas, yang artinya, “Barangsiapa menjaga shalat maka dia akan diberikan cahaya, burhân (bukti) dan keselamatan pada hari kiamat.” Burhân (bukti) maksudnya adalah bukti dari kejujurannya imannya. Semisal dengan ini juga sabda Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Sedekah itu adalah bukti atau petunjuk.”
Shalat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam juga salah satu rukun Islam yang agung. Dinamakan shalat, karena dia merupakan penghubung antara hamba dengan Allâh Azza wa Jalla. Barangsiapa meninggalkan shalat berarti dia telah memutuskan hubungan dengan Allâh Azza wa Jalla dan orang-orang yang berani menyia-nyia shalat, maka pasti dia akan lebih berani lagi untuk menyia-nyikan rukun Islam yang lain.
Kalau kita perhatikan tentang proses turunnya berbagai kewajiban dalam Islam kepada Nabi Muhammad Shalllallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan temukan bahwa yang pertama kali diwajibkan adalah tauhîd (mengesakan Allâh Azza wa Jalla ) Perhatikanlah ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus sebagai penobatannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Nabi dan Rasul. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ ﴿١﴾ قُمْ فَأَنْذِرْ ﴿٢﴾ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ ﴿٣﴾ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ ﴿٤﴾ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Hai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabbmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah! Dan perbuatan dosa tinggalkanlah [Al-Mudatsir/74:1-5]
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam agar tauhid, keikhlasan, dan berlepas diri dari ksyirikan. Dan Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan tauhîd selama sepuluh tahun. Dan selama itu tidak turun kepada Beliau kewajiban apapun selain tauhid. Setelah sempurna sepuluh tahun, Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam diangkat keatas langit ketujuh, disanalah diwajibkan kepada Beliau lima puluh shalat yang kemudian diringankan menjadi lima waktu shalat dalam sehari dan semalam. Shalat fardhu itu memang lima kali dalam realitanya, akan tetapi pahalanya lima puluh. Setelah itu tidak ada lagi kewajiban yang turun kepada Beliau sampai Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Setelah Beliau Shalllallahu ‘alaihi wa sallam menetap selama dua tahun di Madinah, baru diwajibkan puasa dan zakat pada tahun ke-2, kemudian lima tahun berikutnya diwajibkan ibadah haji, tepatnya pada tahun ke-9 Hijriyah.
Walaupun demikian, terkadang kita melihat sebagian orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, namun dia tidak melakukan shalat. Apakah orang-orang seperti ini bisa dikatakan mereka memahami hakikat islam??
Yang lebih parah lagi, terkadang ada orang yang sudah berhaji, namun dia masih juga melakukan perkara yang bisa membatalkan tauhidnya, bahkan bisa menghancurkan agamanya. Yaitu dengan berdoa kepada selain Allâh Azza wa Jalla. Bahkan terkadang dia sedang melakukan ibadah haji, namun dia tetap meminta kepada pertolongan kepada selain Allâh, dia bersandar dengan beristighatsah kepada selain Allâh, meminta kesembuhan,dan kemudahan urusan kepada selain Allâh. Apakah orang seperti ini telah mendirikan agamanya sebagai mana yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla ? Apakah orang seperti telah membuktikan kejujuran hatinya dalam penghambaannya kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas dan mengikuti Rasûlullâh Shalllallahu ‘alaihi wa sallam?
Dengan demikian, kejujuran kepada Allâh Azza wa Jalla merupakan kebaikan bagi seorang hamba dalam hatinya dengan bertauhid, beriman, ikhlas, tunduk, patuh dan cinta kepada Allâh Azza wa Jalla .
Apabila seorang hamba jujur hatinya dalam beriman kepada Allâh Azza wa Jalla , maka otomatis anggota badannya akan istiqâmah (lurus atau benar) sebagaimana hati yang lurus. Karena anggota badan tidak akan menyelisihi keinginan hati. Kerusakan yang terjadi pada lisan atau anggota tubuh yang lain ini berawal atau berpangkal pada kerusakan hati dan ketidak jujurannya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Ini semua menunjukkan pentingnya dan wajibnya jujur kepada Allâh Azza wa Jalla . Hendaknya dia tidak terpengaruh oleh fitnah-fitnah dunia, hal-hal yang melalaikan dan berbagai kesibukan dunia yang bisa mamalingkan manusia dari jalan kejujuran kepada Allâh, kepada jalan-jalan yang sesat. Jalan yang bisa mengantarkan pelakunya kepada kebinasaan, jalan yang dikira bagus dan bisa mendatangkan kebaikan, akan tetapi tatkala dilalui ternyata dia hanya fatamorgana yang disangka air. Ketika dihampiri, ternyata tidak airsama sekali.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur hatinya kepada Allâh Azza wa Jalla dalam keimanannya dan diikuti dengan semua anggota badannya dengan perbuatan yang jujur
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari kutaib as-Shidqu Ma’allah
[2] HR. At-Thabrani dalam al-Mu’jamil Kabîr, no. 7135 dan dalam ad-Du’a, 631 dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/265
[3] HR. Al-Bukhâri, no. 6243; Muslim, no. 2657 dan lafazh ini adalah riwayat beliau rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4] HR. Al-Bukhâri, no. 52 dan Muslim, no. 1599 dari Nu’man bin Basyîr Radhiyallah anhu
[5] HR. Ahmad dalam Musnad, no. 6576; Ad-Dârimi dalam Sunan beliau, no.2763 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr