mascipoldotcom – Jum’at, 25 September 2020 (08 Safar 1442 H)
Jawa Barat – Pengurus Cabang Bayangkari 04 Setukpa menyelenggarakan giat pembekalan istri dan Polwan peserta didik dalam rangka penutupan pendidikan SIP Angkatan ke-49 T.A. 2020 secara virtual melalui zoom meeting, Jumat (25/09/2020).
Acara ini dihadiri Ketua Umum Bhayangkari Ny. Fitri Idham Azis, Ketua Bhayangkari Gabungan 04 Lemdiklat Polri Ny. Niken arief Sulistyanto, pembina Bhayangkari Cabang 04 Setukpa Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto, SIK. M.Hum, Ketua Bhayangkari Cabang 04 Setukpa Ny. Tasha Mardiaz, pengurus Cabang Bhayangkari 04 Setukpa, Istri dan Polwan peserta didik SIP Angkatan ke-49 T.A. 2020.
Acara pembekalan diawali dengan kata pengantar dari Ketua Bhayangkari Cabang 04 Setukpa Ny. Tasha Mardiaz yang menyampaikan bahwa “Dimasa pandemi Covid-19 tidak menjadi penghalang silaturahmi walaupun secara virtual, kegiatan pembekalan seperti ini adalah kegiatan positif yang rutin dilaksanakan setiap tahun dan sangat bermanfaat bagi istri dan Polwan calon Perwira Polri untuk bekal dan tauladan saat bertugas baik bagi keluarga dan masyarakat”.
Acara berikutnya dilanjutkan dengan sambutan, arahan dan pembekalan dari Ketua Bhayangkari Gabungan 04 Lemdiklat Ny. Niken Arief Sulistyanto dengan tema “Bhayangkari siap mendukung tugas suami sebagai Perwira Polri yang berkarakter kebhayangkaraan dan pemimpin garis depan unggul yang memiliki integritas”.
Kebhayangkaraan yang dimaksud adalah 12 karakter polri ( beriman, cinta tanah air, demokratis, disiplin, kerja keras dan cerdas, professional, sederhana, empati, jujur dan Ikhlas, adil, teladan dan berintegritas).
Bhayangkari harus bisa mendukung tugas suami dijalan yang benar dalam bertugas bukan membebani suami. Metamorphosis dari Istri Bintara menjadi istri Perwira, harus mengikuti semua peraturan yang ada dan menjadi tauladan dimanapun berada serta mendampingi suami dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara.
Diakhir arahannya Ketua Bhayangkari Gabungan 04 Lemdiklat Ny. Niken Arief menegaskan prinsip seorang Bhayangkari itu harus modern, yang artinya bisa mengikuti suami dalam situasi apapun sesuai dengan perkembangan saat ini dan jadilah seorang Bhayangkari yang dapat berguna bagi keluarga, lingkungan sekitar, agama, bangsa dan negara.
Adapun puncak acara pembekalan hari ini Ketua Umum Bhayangkari Ny. Fitri Idham Aziz juga berkenan memberikan arahannya, beliau mengangkat tema “Bhayangkari unggul dalam era adaptasi kebiasaan baru”.
Diawal arahannya Ketua Umum Bhayangkari Ny. Fitri Idham Azis menyampaikan apresiasi dan terimakasih yang sebesar -besarnya kepada Ketua Bhayangkari Gabungan 04 Lemdiklat Ny. Niken Arif Sulistyanto dan Ketua Bhayangkari Cabang 04 Setukpa Ny. Tasha Mardiaz yang telah mampu mewujudkan acara ini terlaksana dengan baik dan lancar walaupun dalam masa pandemi Covid-19 saat ini.
Beliau menyampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena para peserta didik SIP Angkatan Ke-49 dapat menjalani pendidikan dengan baik ditengah situasi yang penuh kesulitan hingga saat pelantikan yang akan dilaksanakan hari Senin, 28 September 2020 nanti.
Bhayangkari harus selalu semangat untuk mendukung para suami dalam menjalankan tugasnya karena menjadi Bhayangkari adalah pilihan dan kebanggaan, tetap jujur dan sederhana, tetaplah menjadi Bhayangkari yang rendah hati, mampu menjaga nama baik suami, organisasi dan keluarga, harus bisa menggali potensi diri masing masing dan mengembangkannya, Bhayangkari harus smart, kuat dan kreatif, mampu mengatur waktu antara kegiatan Bhayangkari dan keluarga, tidak lupa tugas utamanya sebagai istri dan ibu dari putra-putrinya, mengembangkan hubungan kekeluargaan yang harmonis saling asah asih asuh sesama Bhayangkari di seluruh Indonesia, mampu mengambil peran membantu tugas suami melalui organisasi Bhayangkari.
Diakhir arahannya Ny. Idham Aziz mengingatkan, “Kita tidak bisa menghindari anggapan orang lain, tapi kita punya hati yang harus bisa kita kendalikan”.
Para peserta yang hadir dengan penuh semangat dan antusias mengajukan pertanyaan pada sesi tanya jawab, selain itu juga di tayangkan materi atribut seragam bhayangkari.
Marilah kita tetap menjalani hidup sehat dengan mematuhi protokol kesehatan dengan baik dan benar.(Ezl)
———-
Renungan
Sekilas Tentang Istri-Istri Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr
Tidak diragukan lagi bahwa mengetahui istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta jumlah mereka dan sekilas kisah kehidupan mereka merupakan bagian dari kesempurnaan mentadabburi ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Buku-buku sirah dan biografi banyak berisikan penjelasan tentang para istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi alangkah bagusnya bila kita memberikan sedikit penjelasan tentang mereka walaupun dalam bentuk yang sangat ringkas.[1]
Jumlah istri-istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebelas orang, dua diantara mereka meninggal dunia saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, adapun sisanya (sembilan orang) masih hidup tatkala Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Berikut penjelasan singkat tentang mereka:
1. Khadîjah binti Khuwailid al-Quraisyiah al-Asadiyah Radhiyallahu anha
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya sebelum diangkat menjadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan umur Khadîjah saat itu empat puluh tahun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah lagi dengan wanita lain sampai Khadîjah wafat.
Semua anak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapatkan dari Khdijah kecuali Ibrahim Radhiyallahu anhu. Ibrahim Radhiyallahu anhu merupakan anak yang Rasûlullâh dapatkan dari budak Beliau Mariyah Qibtiyyah. Khadîjahlah yang menemani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam disaat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi. Dia juga berjihad bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harta dan jiwanya. Khadîjah Radhiyallahu anhuma meninggal dunia tiga tahun sebelum Hijrah Rasûlullâh ke Madinah.
Diantara keutamaan Khadîjah
a. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan salam kepadanya melalui Malaikat Jibril Alaihissallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan salam tersebut kepada istrinya Khadîjah Radhiyallahu anhuma . Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata :
أَتَى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْكَ وَمَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ، فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا عَزَّ وَجَلَّ وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ، لَا صَخَبَ فِيهِ، وَلَا نَصَبَ
Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Ini Khadîjah telah berjalan menuju kepadamu seraya membawa lauk atau makanan atau minuman. Apabila dia telah sampai kepadamu maka sampaikanlah padanya salam dari Rabbnya dan dariku! Dan berilah kabar gembira padanya dengan sebuah rumah di surga yang terbuat dari qashab (perak) tidak ada kegaduhan (suara-suara keras) di dalamnya tidak adapula rasa lelah (payah).[2]
b. Khadijah Radhiyallahu anha tidak pernah menyakiti dan membuat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah. Rasûlullâh tidak pernah menghardik, mencela, tidak pula memboikotnya.
c. Beliau Radhiyallahu anha adalah wanita pertama yang beriman dengan Allâh dan Rasulnya dari ummat ini.
2. Saudah bintu Zam’ah bin Qais al-Qurasyiah Radhiyallahu anha
Setelah Khadîjah Radhiyallahu anha wafat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Saudah bintu Zum’ah bin Qais al-Quraisyah. Ketika Saudah sudah tua, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mentalaknya, akan tetapi Saudah Radhiyallahu anha memberikan hari yang menjadi bagiannya (jatahnya bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma , sehingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya untuk mentalaknya.[3] Ini merupakan salah satu keutamaan Saudah Radhiyallahu anha.
Beliau Radhiyallahu anha memberikan bagiannya kepada orang yang dikasihi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai bukti cintanya Radhiyallahu anha kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengutamakan kedudukan Aisyah Radhiyallahu anhuma di sisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bagian (dari ghanîmah) kepada para istrinya yang lain, sedangkan Saudah Radhiyallahu anha tidak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri bagian, akan tetapi beliau Radhiyallahu anha ridha dengan hal itu semua.
Beliau Radhiyallahu anha lebih mementingkan ridha Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai Saudah Radhiyallahu anha. Beliau Radhiyallahu anhameninggal di akhir masa kekhilafahan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, semoga Allâh meridhai mereka berdua, dan meridhai semua Shahabat.
3. Aisyah binti Abu Bakr Radhiyallahu anhuma
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah binti Abu Bakr as-Shiddiq Radhiyallahu anhuma pada bulan Syawal dua tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau Radhiyallahu anhuma dinikahi tiga tahun sebelum hijrah, ketika itu Aisyah Radhiyallahu anhuma berumur enam tahun. Kemudian beliau Radhiyallahu anhuma digauli oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diawal-awal kedatangan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah pada tahun pertama hijriyah, saat itu Aisyah Radhiyallahu anhuma telah berumur sembilan tahun.
Sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah Radhiyallahu anhuma, Malaikat pernah menampakkan Aisyah Radhiyallahu anhuma kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya dengan berbalut kain sutra. Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ
Tahukah kamu? Kamu sudah diperlihatkan kepadaku dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku melihat seorang laki-laki datang membawamu dengan berbalut sepotong kain sutra, kemudian laki-laki itu berkata, ‘Ini adalah istrimu, maka singkaplah (hijab)nya.’ Ternyata wanita itu adalah kamu. Lalu Aku mengatakan, ‘Jika ini memang dari Allâh, maka pasti Dia akan menjalankannya.”[4]
Diantara keistimewaan Aisyah Radhiyallahu anhuma adalah beliau Radhiyallahu anhuma merupakan istri yang paling dicintai oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, tatkala nabi ditanya oleh ‘Amr bin al’Ash Radhiyallahu anhuma :
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ عَائِشَةُ فَقُلْتُ مِنْ الرِّجَالِ فَقَالَ أَبُوهَا قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَعَدَّ رِجَالًا
Siapakah orang yang paling Anda cintai? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Aisyah.’ Kemudian aku bertanya, ‘Dari kaum laki-laki?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Bapaknya Aisyah.”[5]
Diantara keutamaannya juga adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menikahi gadis selain Aisyah Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhîri dari Aisyah Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Saya berkata kepada Rasûlullâh, ‘Ya Rasûlullâh, seandainya engkau mampir disebuah lembah yang berisi sebuah pohon yang sebagian buahnya telah dimakan, dan sebuah pohon yang buahnya belum dimakan sama sekali, maka dimanakah kamu akan melepaskan (mengikatkan) ontamu? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Pada pohon yang belum dijamah.'[6]
Maksud Aisyah adalah Rasûlullâh tidak pernah menikahi gadis selain dirinya.
Diantara keitimewaannya Radhiyallahu anhuma juga adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima wahyu sementara saat itu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada dalam satu selimut bersama Aisyah Radhiyallahu anhuma . Ini tidak pernah terjadi dengan istri-istri Beliau Radhiyallahu anhuma yang lainnya. Dalam hadits yang shahih, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أُمَّ سَلَمَةَ لَا تُؤْذِينِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّهُ وَاللَّهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ الْوَحْيُ وَأَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرِهَا
Wahai Ummu Salamah! Jangan kamu menyakitiku pada diri Aisyah, karena demi Allâh tidak pernah wahyu turun kepadaku di saat aku berada didalam selimut salah seorang diantara kalian selain Aisyah.
Keutamaan Aisyah yang lainnya, Allâh Azza wa Jalla membersihkannya dari tuduhan dan fitnah keji yang dilontarkan oleh para pendusta yang menuduh Aisyah Radhiyallahu anhuma berzina. Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang berkenaan dengan bersihnya Aisyah Radhiyallahu anhuma dari tuduhan tersebut, sebuah ayat yang akan terus dibaca oleh kaum Muslim baik dalam shalat ataupun diluar shalat sampai hari kiamat.
Allâh Azza wa Jalla juga memberikan persaksian bahwa Aisyah Radhiyallahu anhuma termasuk wanita yang baik. Allâh Azza wa Jalla juga berjanji akan memberikan pengampunan dan rezeki yang sangat mulia. Tentang ini, Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata dengan penuh ketawaduan, “Sungguh kedudukan pada diriku lebih rendah dari pembicaraan Allah Azza wa Jalla mengenai aku dengan suatu perkara yang akan dibaca (al-Qur’an)”[8]
Diantara keutamaannya juga adalah Aisyah Radhiyallahu anhuma merupakan istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling faqih (paling paham tentang agama) dan yang paling banyak ilmunya dibandingkan dengan istri-istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, bahkan beliau Radhiyallahu anhuma lebih faqih dari semua wanita ummat ini secara mutlak. Para pembesar Shahabat g menjadikan beliau Radhiyallahu anhuma sebagai rujukan dan meminta fatwa kepada beliau Radhiyallahu anhuma .
Diantara keutamaannya adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal di rumah Aisyah, pada hari yang menjadi giliran Aisyah Radhiyallahu anhuma , meninggal dipangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah Radhiyallahu anhuma.[9]
Saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, Aisyah Radhiyallahu anhuma baru berumur delapan belas tahun. Aisyah Radhiyallahu anhuma meninggal dunia di Madinah pada tahun 58 hijrah dan dimakamkan di pekuburan Baqi’. Sebelum meninggal, beliau Radhiyallahu anhuma sempat berwasiat agar dishalatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
Kemudian para Ulama berbeda pendapat tentang masalah siapakah yang lebih utama antara Khadîjah Radhiyallahu anhuma dan Âisyah Radhiyallahu anhuma . Diantara mereka ada yang berpendapat Aisyah Radhiyallahu anhuma lebih utama, sebagian yang lain berpendapat Khadîjah lebih utama, ada juga yang memilih diam.
Ibn Qayyim rahimahullah mengatakan, “Saya pernah bertanya pada guru kami Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau rahimahullah menjawab, ‘Masing-masing dari mereka berdua memiliki keistimewaan. Khadîjah Radhiyallahu anhuma memiliki pengaruh kuat di awal-awal Islam. Beliaulah yang menghibur, menguatkan dan menenangkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau Radhiyallahu anhuma menginfakkan hartanya dalam rangka membantu dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga beliau Radhiyallahu anhuma mendapat ghurratal (cahaya di akhirat) Islam. Beliau Radhiyallahu anhuma bersabar menanggung derita demi membela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Pertolongan beliau Radhiyallahu anhuma untuk Rasûlullâh datang tepat pada waktu yang sangat dibutuhkan.
Bantuan dan pertolongan yang beliau Radhiyallahu anhuma berikan tidak dimiliki oleh selainnya. Adapun Âisyah Radhiyallahu anhuma pengaruh beliau Radhiyallahu anhuma ada pada akhir-akhir Islam. Diantara keutamaannya at-tafaqquh fiddin (memahami ilmu agama), menyampaikan ilmu tersebut kepada umat ini, dan orang-orang Mukmin banyak mendapatkan manfaat dari ilmu yang telah beliau Radhiyallahu anhuma sampaikan dan ini tidak dimiliki oleh selainnya. Inilah ucapan beliau rahimahullah yang saya nukilkan secara makna.[10]
4. Hafshah binti Umar bin Khattab Radhyallahu anhuma
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hafshah binti Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma pada tahun ke-3 Hijrah. Sebelum menikah dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Hafshah pernah menjadi istri Khunais bin khuzafah yang merupakan salah seorang Shahabat Rasûlullâh yang pernah ikut serta dalam perang Badar. Hafshah bin Umar al-Khatthab c meninggal dunia pada tahun ke-27 atau ke-28 hijrah.
5. Zainab binti Khuzaimah bin al-Harist al-Qaisiah Radhiyallahu anha
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Khuzaimah bin al-Hârist al-Qaisiah dari Bani Hilal bin ‘Amir. Zainab Radhiyallahu anhuma meninggal dunia setelah hidup bersama Rasûlullâh selama dua bulan. Zainab Radhiyallahu anhuma dijuluki Ummul Masâkin (ibunda kaum miskin) karena beliau Radhiyallahu anhuma sering memberi makan kepada orang-orang miskin.
6. Ummu Salamah Radhiyallahu anha
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi dengan Ummu Salamah yang bernama Hindun binti Abi Umayyah bin al-Mughirah al-Quraisyah al-Makhzûumiyah. Ada yang mengatakan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anha adalah istri Rasulûllâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terakhir menginggal dunia. Beliau Radhiyallahu anha meninggal dunia pada tahun 62 hijrah. Beliau Radhiyallahu anha dikuburkan di pekuburan al-Baqî’. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada tahun ke-4 hijrah.
Diantara keutamaan Ummu Salamah Radhiyallahu anha adalah Jibril Alaihissallam pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan Ummu Salamah Radhiyallahu anha sedang ada bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau Radhiyallahu anha bisa melihat malaikat Jibril Alaihissallam dalam rupa salah seorang shahabat yang Dihyah al-Kalbi.
Disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Abu Utsman, beliau berkata, ” aku dikabari bahwasanya Jibril Alaihissallam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara disamping Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma . Beliau berkata; kemudian Jibril Alaihissallam mulai berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu pergi, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Ummu Salamah Radhiyallahu anha, Siapakah dia?”[11] (al-Hadits).
7. Zainab binti Jahsyi Radhiyallahu anha
Selanjutnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsyi dari Bani Asad bin Khuzaimah. Zainab Radhiyallahu anha merupakan anak dari bibi Rasûlullâh yang bernama Amimah bintu ‘Abdil Muttalib. Sebelum menikah dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab Radhiyallahu anha menjadi istri Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu, salah seorang bekas budak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah Zaid Radhiyallahu anhu menceraikan Zainan Radhiyallahu anha, Allâh Azza wa Jalla menikahkan Zainab Radhiyallahu anhuma dengan Rasûlullâh langsung dari atas tujuh lapisan langit dan Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya:
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia [Al-Ahzâb/33:37]
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan masuk ke tempat Zainab Radhiyallahu anhuma tanpa meminta izin. Zainab Radhiyallahu anha membanggakan dirinya dihadapan para Istri Rasûlullâh yang lain seraya berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga-keluarga kalian, sedangkan aku dinikahkan langsung oleh Allâh Azza wa Jalla dari atas tujuh lapisan langit.”[12]
Ini termasuk salah dari keistimewaan Zainab bintu Jahsyi.
Beliau Radhiyallahu anhuma meninggal dunia pada tahun 20 hijrah, dan dimakamkan di pekuburan al-Baqi’. Zainab Radhiyallahu anha adalah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling awal meninggal dunia setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Diriwayatkan dari Â’isyah Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْرَعُكُنَّ لِحَاقًا بِي أَطْوَلُكُنَّ يَدًا . قَالَتْ عَائِشَةُ : فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا لِأَنَّهَا تَعْمَلُ بِيَدِهَا وتَتَصَدَّقُ
Yang paling cepat diantara kalian yang menyusulku (meniggal dunia) adalah yang paling panjang tangannya.’ Âisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Zainab Radhiyallahu anha adalah istri Beliau Radhiyallahu anhuma yang paling panjang tangannya, karena dia sering bekerja dan banyak bersedekah dengan tangannya.”[13]
8. Juwairiyyah bin al-Hârits bin Abi Dhirar Radhiyallahu anha
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyyah bin al-Hârits bin Abi Dhirar al-Mustaliqiyah. Dia merupakan tawanan pada perang Bani Musthaliq dan masuk dalam bagian (ghanîmah) Tsâbit bin Qais Radhiyallahu anhu. Tsâbit bin Qais Radhiyallahu anhu membebaskannya dengan syarat dia harus membayar sejumlah uang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melunasinya lalu menikahinya pada tahun keenam hijriah, dan beliau Radhiyallahu anhuma meninggal dunia pada tahun lima puluh enam.
Diantara keutamaan Juwairiyah Radhiyallahu anha adalah kaum Muslim membebaskan seratus budak dan tawanan yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Juwairiyyah Radhiyallahu anha ketika mereka tahu beliau Radhiyallahu anha dinikahi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Shahabat mengatakan bahwa para tawanan itu telah menjadi saudara-saudara ipar bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini merupakan salah satu berkah Juwairiyah Radhiyallahu anha untuk kaumnya.
9. Ummu Habîbah, Ramlah bintu Abi Sufyân Shakhr bin Harb Radhiyallahu anha
Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habîbah Radhiyallahu anha yang bernama Ramlah bintu Abi Sufyân Shakhri bin Harbi al-Quraisyi al-Umawiyah. Ada yang mengatakan bahwa nama Ummu Habîbah Radhiyallahu anha adalah Hindun. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya saat beliau Radhiyallahu anha sedang berhijrah di negeri Habasyah. Raja Najasyi memberikan kepadanya Radhiyallahu anhuma empat ratus dinar sebagai mahar dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian beliau dibawa dari Habasyah menuju Rasûlullâh di Madinah. Ummu Habîbah Radhiyallahu anha meninggal dunia dimasa kepemimpinan saudaranya yang bernama Mu’âwiyah bin Abi Sufyân.
10. Shafiyah bintu Huyai bin Akhtab Radhiyallahu anha
Pada tahun ketujuh hijriyah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyah bintu Huyai bin Akhtab tetua bani Nadhir dari keturunan Hârûn bin Imrân saudara Musa Alaihissallam. Berdasarkan ini berarti dia adalah anak Nabi (Hârûn), pamannya seorang Nabi (yaitu Nabi Musa Alaihissalam), dan suaminya juga seorang Nabi (yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dia Radhiyallahu anha termasuk wanita paling cantik di dunia ini. Pada awalnya dia adalah seorang budak (dari tawanan perang) kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dengan mahar dibebaskan atau dimerdekakan dari status budak. Ini termasuk bagian dari keutamaannya Radhiyallahu anha.
11. Maimunah bintu al-Hârits al-Hilaliyah Radhiyallahu anha
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah bintu al-Hârist al-Hilaliyah Radhiyallahu anha. Beliau Radhiyallahu anha adalah wanita terakhir yang dinikahi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya Radhiyallahu anha pada tahun ketujuh hijrah setelah umrah qada’, kemudian beliau Radhiyallahu anha meninggal di daerah Saraf pada tahun enampuluh tiga hijrah dimasa kekuasaan Mu’âwiyah, semoga Allâh meridhai mereka berdua dan meridhai semua Shahabat Rasûlullâh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diantara referensi dan sumber yang bisa dijadiakan rujukan untuk mengetahui biografi istri-istri Rasûlullâh Shalalllahu ‘alaihi wa sallam , sebagai berikut:
1. Thabaqat Ibnu Sa’di (8/52 dan setelahnya)
2. Tasmiyatu Azwâjin Nabi wa Aulâdihi ditulis oleh Abi Ubaidillah Mu’ammar bin al-Mutsni
3. Al-Istî’âb, ditulis oleh Ibnu Abdil Bar (1/44 dan setelahnya)
4. Al-Ishâbah fi Tamyîzi As-Shahâbah, oleh Ibnu Hajar (Kitâbu Nisâ, 4/224 dan seterusnya)
5. Zâdul Ma’âd, Ibnul Qayyim (1/105 dan seterusnya)
6. Jalâ’ul Afhâm, oleh Ibnul Qayyim (154 dan seterusnya)
[2]. Imam al-Bukhâri (13/465, kitab Fathul Bâri) dan Imam Muslim (4/1887)
[3]. Riwayat al-Bukhâri , Kitab Fathul Bâri (9/312)
[4]. Imam al-Bukhâri , Fathul Bâri (12/399), dan Muslim (4/1889)
[5]. Imam al-Bukhâri , Fathul Bâri (8/74), dan Muslim (4/1856)
[6]. Imam al-Bukhâri , Fathul Bâri ( 9/120)
[7]. Ibid (7/107)
[8]. al-Bukhâri (7/431), dan Muslim (4/2129)
[9]. al-Bukhâri (8/144), dan Muslim (4/1893)
[10]. Jalâ’ul Afhâm (154)
[11]. Shahîh Muslim (4/196)
[12]. HR. Al-Bukhâri (13/403)
[13]. HR. Muslim (4/1907)