Malinau Kota Damping Pembagian BLT DD di Desa Binaan.

Pastikan Tepat Sasaran, Babinsa Koramil 0910-03/Malinau Kota Damping Pembagian BLT DD di Desa Binaan.

mascipoldotcom – Jum’at, 20 Agustus 2021 (11 Muharram 1443 H)

Malinau – Untuk memastikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tepat sasaran, Babinsa Koramil 0910-03/Malinau Kota, Kodim 0910/Malinau Serka Rudiyanto mendampingi warga di wilayah binaanya dalam pembagian BLT-DD (Bantuan Langsung Tunai Dana Desa) bulan Juni sampai dengan Agustus 2021.

Pembagian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa tersebut berlangsung di Balai Desa Malinau Sebrang, Kecamatan Malinau Utara Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Jum’at (20/08/2021).

Sebanyak 156 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak penyebaran Covid-19 menerima dana sebesar Rp. 300.000,- /bulan.

Serka Rudiyanto mengatakan bahwa kegiatan pendampingan ini adalah agar Bantuan Langsung Tunai tepat sasaran dan tepat mematuhi Protokol Kesehatan.

Pada kesempatan itu, “Ia juga menghimbau warga agar tetap mengikuti Protokol Kesehatan baik di tempat-tempat pembagian BLT maupun di lingkungan tempat tinggal masing-masing guna untuk mencegah penyebaran Covid-19.”(Ezl) Sumber : Pendim 0910, (Murdianto)

———-

Renungan

MENGGUNAKAN KUBURAN SEBAGAI TEMPAT TINGGAL, TEMPAT TIDUR, MENGGEMBALA,
ATAU TEMPAT MENCARI RUMPUT

Saat kita menyebut kata “kubur”dihadapan banyak orang, kita akan melihat respon balik yang berbeda-beda. Ada yang menampak wajah ngeri, takut, senang dan ada juga yang biasa-biasa. Respon ini, tentu bukan tanpa sebab dan latar belakang. Kesan “angker” sebuah kuburan mampu mencegah orang dari sekedar mendekati, apa lagi yang untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Namun terkadang wilayah pekuburan kehilangan kesan itu, sehingga tidak lagi diperlakukan sebagaimana mestinya. Ada yangmenjadikannya sebagai tempat tinggal, ladang gembala untuk hewan ternaknya dan lain sebagainya. Bagaimana para Ulama Fiqih memandang permasalahan ini ? Berikut pembahasan ringkas yang kami angkat dari Ahkamul Maqabir Fis Syari’atil Islamiyah, karya DR Abdullah binUmar bin Muhammad as-Suhaibani, hlm.507-509

1. MENJADIKAN WILAYAH PEKUBURAN SEBAGAI TEMPAT TINGGAL

Para ahli fiqih dari kalangan Hanafiyyah menyebutkan bahwa menjadikan kuburan sebagai lahan tempat tinggal sementara hukumnya makruh; dan menjadikannya sebagai rumah tentu lebih dimakruhkan.[1]

Kemungkinan yang menjadi faktor dimakruhkan adalah karena ada unsur penghinaan terhadap kubur. Sebagaimana diketahui bahwa kehormatan mayat di dalam kuburnya sama dengan kehormatan orang yang hidup di dalam rumahnya. Kubur merupakan rumah untuk mayat; dan perbuatan -menjadikannya sebagai tinggal- ini juga termasuk hal-hal yang bisa menghilangkan kewibawaan (kehormatan) serta perilaku yang tidak sopan.

Ulama Hanafiyyah[2] dan Syafi’iyyah[3] menyebutkan makruh tidur di pekuburan. Mereka beralasan bahwa tidur di pekuburan bisa menyebabkan rasa cemas dan tidak tenang di hati karena bisa jadi dia melihat dalam mimpinya sesuatu yang bisa mengganggu akal sehatnya.[4]

Ulama Syafi’iyyah mengecualikan dari hukum makruhnya tidur di pekuburan yaitu tidur di sisi kubur yang menyendiri; misalnya kubur yang ada di dalam rumah yang berpenghuni.[5]

Sebagian Ulama Syafi’iyyah juga mengecualikan kemakruhan ini apabila tidur di pekuburan secara berjama’ah. Mereka berkata, “Sebagaimana sering dilakukan oleh orang yang sering tidur di pekuburan pada malam Jum’at untuk membaca al-Qur`ân, atau berziarah; yang seperti ini tidak dimakruhkan.[6]

Namun pendapat ini terbantah karena perbuatan ini merupakan amalan yang tidak ada dalilnya sehingga tentu lebih dimakruhkan, bahkan dilarang karena barangsiapa melakukannya dengan tujuan beribadah maka ini merupakan perbuatan bid’ah.[7]

Ulama Hanafiyyah berkata, “Dimakruhkan melakukan apapun di kubur kecuali yang ada tuntunannya dalam as-Sunnah; dan yang didapatkan dari as-Sunnah hanya ziarah dan berdo’a dengan berdiri sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [8].

2. MEMANFAATKAN APA YANG ADA DI TANAH KUBUR, SEPERTI RUMPAUT, BUAH DAN LAINNYA.

Ulama Hanafiyyah menyebutkannya makruh hukumnya memotong tanaman yang hidup di pekuburan. Mereka beralasan, “Selama tumbuhan itu basah (hidup) ia bertasbih. Tasbihnya ini bisa menenangkan mayat, namun apabila sudah kering tidak mengapa dipotong”[9].

Yang benar – Wallâhu a’lam- adalah mengambil rumput dari tanah kubur, begitu juga mengambil kayu bakar darinya dibolehkan terlebih pada waktu dibutuhkan, karena tidak ada dalil yang melarang hal tersebut. Alasan memakruhkan memotong tumbuhan di atas merupakan alasan yang lemah, karena di dalam kubur yang dapat membantu memberi manfaat atau meringankan mayat adalah amal shalihnya bukan tumbuhan. Adapun hadits yang menyebutkan dua pelepah kurma basah yang ditancapkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikubur yang dilewati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bertujuan untuk meringankan mayat, ini dikategorikan sebagai kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun mengembalakan hewan ternak diantara kubur maka itu tidak diperbolehkan, karena ada unsur menghinakan penghuni kubur. Jika manusia dilarang menginjak atau berjalan di atasnya maka hewan tentu lebih patut untuk dilarang.

Adapun memakan buah dari pohon yang tumbuh di pekuburan, menurut Imam al-Hannathi[10] -salah seorang Ulama dari kalangan Syâfi’iyyah- berkata, “Alangkah lebih bagus digunakan untuk kemaslahatan kuburan. Hanabilah juga memakruhkan memakan buah pohon yang tumbuh di pekuburan”.[11] Ada juga yang berpendapat boleh memakan buah tersebut. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang kami pilih dari hal tersebut adalah boleh”.[12]

Sedangkan yang benar adalah boleh memakannya, kecuali jika pekuburan membutuhkan buah tersebut untuk perbaikan, maka boleh menjualnya dan dipergunakan hasilnya untuk kepentingan pekuburan, begitupun tumbuhan yang tumbuh di sekitar kubur, atau kayu bakar bisa dipergunakan untuk kemaslahatan kuburan. Yang perlu dipahami di sini, rumput dan pepohonan yang tumbuh di pekuburan bukan ditanam oleh anak Adam.

Adapun merindangkan kuburan dengan menanam pohon yang berbuah atau selainnya, tidak diperbolehkan karena perbuatan ini mengandung unsur menyerupai orang-orang Nashara yang menjadikan pekuburan mereka mirip taman-taman.[13]

3. MENGAMBIL AIR MINUM DAN BERWUDHU DARI SUMUR YANG ADA DI PEKUBURAN.

(Dalam hal ini) Ibnu Abi Syaibah[14] menyebutkan dari Thâwus rahimahullah,[15] bahwasannya dimakruhkan mengambil air minum dari sumur-sumur yang berada di permukaan kuburan.[16]

Ulama dari kalangan Hanabilah juga memakruhkan berwudhu dengan air dari sumur yang berada di pekuburan. Menurut mereka, karena di kuburan bisa terdapat najis. Bahkan mereka memakruhkan menggunakan air sumur yang berada di pekuburan untuk berwudhu, makan, minum dan lainnya.[17]

Alasan kemakruhannya –bisa jadi- juga adanya unsur penghinaan kepada kuburan dan menggunakan kuburan bukan pada tempatnya, atau karena adanya bahaya yang bisa menimpa manusia disebabkan oleh kemungkinan tercemarnya air yang ada diantara pekuburan. Dan alasan ini mirip dengan alasan Hanabilah yang mengatakan kemungkinan bercampurnya air dengan najis.

Demikian pembahasan singkat tentang hukum memanfaatkan kuburan atau sesuatu yang ada di wilayah pekuburan. Semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Madkhal, 1/251, 3/278; Mawahibul-Jalil, 2/253.
[2]. Fathul-Qadir, 2/150; Raddul-Mukhtar, 2/245.
[3]. Al-Umm, 1/466; al-Muhazzab dan al-Majmu’ 5/287; al-Hawi al-Kabir, 3/69, Mughni al-Muhtaj, 2/53.
[4]. Al-Umm, 1/466, al-Hawi al-Kabir, 3/69, Mughni al-Muhtaj, 2/53.
[5]. Mughni al-Muhtaj, 2/53; Nihayatul-Muhtaj, 3/30.
[6]. Mughni al-Muhtaj, 2/53; Nihayatul-Muhtaj, 3/30.
[7]. Lihat perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan berdiri di atas kubur dan syarat bermalam di kubur dalam Majmu’ Fatawa, 13/26-40 dan 41.
[8]. Fathul-Qadir, 2/150.
[9]. Al-Fatawa al-Hindiyyah, 1/167; Fatawa Qadhi Khan, 1/195; Raddul-Mukhtar, 2/245.
[10]. Beliau adalah Abu ‘Abdillâh al-Hasan bin Muhammad bin ‘Abdillâh al-Hannati ath-Thabari asy-Syafi’i. Dan al-Hannati merupakan nisbat dari sebuah kelompok penduduk di Tubrustan, yang diantara mereka imam mulia ini, atau nisbat kepada sebagian nenek moyangnya yang menjual biji gandum. Al-Hannati adalah seorang imam agung. Dia memiliki banyak karangan dan ide cemerlang, hafal buku-buku Syafi’i. Beliau meninggal setelah tahun empat ratusan. Lihat Thabaqat asy-Syafi’iyyah, karangan as-Subkhi, 4/367; dan karangan al-Isnawi, 1/301.
[11]. Kayaful-Qina`, 14/28; ar-Raudul-Murbi`, 1/64.
[12]. Raudhatuth-Thalibin, 4/424; Mughnil-Muhtaj, 3/557.
[13]. Bisa dilihat di kitab Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 3/200.
[14]. Beliau adalah Abu Bakr ‘Abudullâh bin Muhammad al-Qadhi Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Ustman bin Khawasiti al-A’basi al-Kufi, seorang imam yang alim, tetua para huffazh, pengarang buku agung, al-Musnad, al-Mushannaf , dan at-Tafsir. Beliau sepadan dengan Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq ar-Rahawaih, dan Ibnu al-Madini dalam umur, kelahiran, dan hafalan. Beliau meninggal tahun 235 Hijriyyah. Lihat al-Jarhu wa Ta’dil, 5/160; Siyar A’lamu Nubala`, 11/122.
[15]. Beliau adalah Abu ‘Abdirrahmân Thawuus bin Kisan al-Farisi kemudian al-Yamani al-Janadi al-Hamzani. Dilahirkan di Yaman pada masa kepemimpinan ‘Utsman. Beliau mendengar hadits dari sebagian sahabat, diantaranya al-‘Ubdalah, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan selain mereka. Beliau termasuk pembesar tabi’in, dan beliau adalah hujjah. Meninggal tahun 106 Hijriyyah. Lihat Siyar A’lamu Nubala, 5/38; Tahdziib at-Tahdzib, 3/9.
[16]. Dekeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Janaiz, bab yang dimakruhkan mengambil air minum dari sumur yang berada di pekuburan, 3/269.
[17]. Ar-Raudu al-Murbi’, 1/64; Kasyaful-Qina’, 1/28.