Erizal 4

KRI Bima Suci, Laksanakan Pemanasan Permesinan

mascipoldotcom – Kamis, 24 September 2020 (07 Safar 1442 H)

Surabaya – Sebagai kapal latih tiang tinggi kebanggaan Koarmada II yang sebentar lagi akan melaksanakan Operasi Bima Suci 2020, tak lepas dari peran Departemen Mesin dalam melaksanakan perawatan agar kondisi seluruh permesinan tetap prima sehingga mampu mendukung rangkaian kegiatan selama operasi pelayaran.

Guna memantau kesiapan dan kondisi seluruh mesin yang ada di KRI Bima Suci, Komandan KRI Bima Suci Letkol Laut (P) Waluyo, S. H., M. Tr. Hanla memerintahkan Kepala Departemen Mesin (Kadepsin) Mayor Laut (T) Andi Alma untuk melaksanakan pemanasan terhadap seluruh peralatan permesinan yang ada di KRI Bima Suci, Rabu (23/ 09/2020).

Letkol Waluyo – sapaan karib Komandan KRI Bima Suci menjelaskan “tujuan dilaksanakannya pemanasan seluruh peralatan permesinan yang ada di KRI Bima Suci ini adalah untuk menjaga kondisi teknis pesawat-pesawat agar tetap prima, sekalian melaksanakan Check and Recheck secara rutin guna mengetahui kondisi teknis terkini, serta melaksanakan penyempurnaan apabila ada kekurangan. Sehingga pada saat melaksanakan operasi pelayaran seluruh peralatan permesinan yang ada sudah siap untuk dioperasikan“, jelas Komandan KRI Bima Suci.

Lebih lanjut Letkol Waluyo menjelaskan “Adapun mesin yang dilaksanakan pemanasan hari ini diantaranya adalah Mesin Pendorong Pokok (MPK), Bow Thruster dan Tunnel Truster yang memiliki fungsi untuk menggerakan kapal ke lambung kanan dan kiri, Reverse Osmosis (RO) Water yang memiliki fungsi sebagai mesin pengubah air asin menjadi air tawar, Hidraulic Power Pack (HPP) yang berfungsi sebagai penggerak propeller dan mesin Diesel Generator (DG) Emergency yang memiliki fungsi sebagai mesin yang digunakan pada saat darurat”, Pungkas Letkol Waluyo.(Ezl)

—————

Renungan

Manfaat Beristi’aadzah Dari Syaithan Ketika Hendak Membaca Al-Qur’an

Oleh Ahmad bin Salim Ba Duwailan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur-an:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ﴿٩٨﴾إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٩٩﴾إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

“Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.”[An-Nahl/16: 98-100]

Makna ( اِسْتَعِذْ بِاللهِ ) yaitu berlindunglah dengan-Nya, berpegang teguhlah kepada-Nya, dan bersandarlah kepada-Nya. Sedangkan bentuk mashdarnya adalah اَلْعَـوْذُ (berlindung), اَلْعِيَاذُ (berlindung), dan اَلْمَـعَاذُ (tempat berlindung). Kebanyakan, pemakaiannya dalam المُسْتَعَاذُ بِـهِ (yang dimintai perlindungan). Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَقَدْ عُذْتَ بِمَعَاذٍ.

“Sungguh engkau telah meminta perlindungan dengan yang berhak dimintai perlindungannya.”[1]

Asal lafazhnya adalah bersandar kepada sesuatu dan mendekatinya. Seperti ucapan orang arab: أَطْيَبُ الَّلحْمِ عُوْذُهُ (Daging yang paling bagus itu yang tergantung dan menempel). Maksudnya yang menempel dengan tulang. Sedangkan نَـاقَـةٌ عَائِـذٌ , adalah unta yang ditempeli (diikuti terus) oleh anaknya. Bentuk jamaknya adalah عُوْذٌ seperti humr. Sebagaimana dalam hadits Hudaibiyah.[2]

مَعَهُمُ الْعُوْذُ الْمَطَافِيْلِ

“Bersama mereka ada unta bersama anak-anaknya.”

Lafazh اَلْمَطَافِـيْلُ adalah jamak dari مُطْفِلٌ yaitu, unta yang bersamanya ada unta kecil.

Sebagian orang mengatakan (diantaranya adalah pengarang kitab Jaami‘ul Ushuul): (Kejadian di atas) meminjam istilah itu untuk manusia, maksudnya, bersama mereka ada para wanita dan anak-anaknya. Argumen ini tidak pas, karena itu bukanlah istilah tapi benar-benar kenyataan, yaitu mereka telah keluar menujumu dengan menggunakan tunggangan dan kendaraan mereka sampai mereka membawa keluar beberapa ekor unta betina dan anak-anaknya yang bersama mereka.

MANFAAT BERISTI‘AADZAH DARI SYAITAN KETIKA HENDAK MEMBACA AL-QUR-AN

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk berlindung dari syaitan ketika hendak membaca al-Qur-an, karena banyaknya manfaat yang dapat diraih, di antaranya:

1. Bahwa al-Qur-an adalah obat bagi penyakit dalam hati. Ia bisa mengusir hal-hal yang ditanamkan oleh syaitan dalam hati, berupa waswas, syahwat, dan keinginan yang buruk. al-Qur-an pun obat bagi hati dari hal-hal yang diperintahkan syaitan tadi. Maka Ia memerintahkan agar mengusir penyakit-penyakit ini dan mengosongkannya dari dalam hati, agar obat ini bisa langsung menempati tempat kosong itu, lalu menguasai dan mempengaruhinya. Sebagaimana dikatakan dalam syair:

أَتَانِيْ هَوَاهَا قَبْلَ أَنْ أَعْرِفَ الْهَوَى
فَصَادَفَ قَلْـباً خَالِـياً فَتَمَكَّـنَا

Cintanya datang sebelum aku mengerti cinta,

lalu mendapati hati yang kosong, maka ia pun menempatinya.

2. Al-Qur-an adalah materi petunjuk, ilmu dan kebaikan dalam hati, sebagaimana pula air yang menjadi materi bagi tumbuhan. Sedangkan syaitan bagaikan api yang bisa membakar tumbuhan sedikit demi sedikit. Setiap kali dirasakan ada tumbuhan yang baik dalam hati maka syaitan berusaha untuk merusak dan membakarnya. Maka diperintahkan agar meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari syaitan agar ia tidak bisa merusak apa yang telah dihasilkan oleh al-Qur-an.

Perbedaan antara bagian ini dengan bagian yang sebelumnya adalah, bahwa meminta perlindungan di bagian pertama dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat al-Qur-an. Sedangkan pada bagian kedua, dimaksudkan untuk menetapinya, menjaganya dan memantapkannya. Sehingga orang yang mengatakan, ‘Bahwa bersti‘aadzah (meminta perlindungan) itu adalah setelah membaca, telah sesuai dengan yang dipahami dari makna tadi.’ Ini, sungguh kesimpulan yang bagus. Tetapi menurut Sunnah dan atsar para Sahabat tidaklah demikian, bahwasanya isti‘aadzah tersebut dilakukan sebelum membaca al-Qur-an. Ini merupakan pendapat dari jumhur (mayoritas) umat dari kalangan Salaf dan khalaf.

3. Malaikat mendekati orang yang membaca al-Qur-an dan mendengar bacaannya. Sebagaimana dalam hadits Usaid bin Hudhair ketika dia membaca al-Qur-an, terlihat di sekitarnya seperti naungan yang ada lampu-lampunya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تِلْكَ الْمَلاَئِكَةُ.

“Itu adalah Malaikat.”[3]

Sedangkan syaitan, maka ia adalah kebalikan dari Malaikat, bahkan musuhnya. Maka orang yang membaca al-Qur-an diperintahkan untuk minta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dijauhkan dari musuhnya, sehingga mendapatkan kekhususan (kehadiran-ed.) Malaikat-Malaikat-Nya. Ini merupakan kedudukan yang tidak akan mungkin bisa berkumpul di dalamnya antara Malaikat-Malaikat dan syaitan-syaitan.

4. Sesungguhnya syaitan terus menarik perhatian orang yang membaca al-Qur-an dengan pasukan dan bala tentaranya, sehingga orang yang membaca al-Qur-an tadi sibuk dan tidak memperhatikan dari maksud bacaannya, yaitu mentadabburinya, memahaminya, dan mengetahui apa yang dikehendaki oleh Yang berbicara di dalam al-Qur-an tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka syaitan pun terus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghalangi antara hatinya dan maksud dari al-Qur-an, maka orang itu pun tidak dapat mengambil manfaat dengan sempurna darinya. Oleh sebab itu, ia diperintahkan ketika memulai bacaannya untuk beristi‘aadzah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari gangguannya.

5. Orang yang membaca al-Qur-an sebenarnya sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bacaannya tersebut. Dan Allah akan lebih mendengar orang yang membaca al-Qur-an dengan suaranya yang bagus dari pada seorang penyanyi pada lagu yang didendangkannya.[4] Sedangkan bacaan syaitan adalah berupa sya’ir dan nyanyian. Oleh karena itu orang yang sedang membaca al-Qur-an diperintahkan untuk mengusir syaitan dengan isti‘aadzah, pada saat munajatnya kepada Allah Ta‘ala dan pada saat Allah mendengarkan bacaannya.

6. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan, bahwa Dia tidak mengutus seorang Rasul dan seorang Nabi pun melainkan apabila ia ( تَمَنَّى ) membaca; maka syaitan mencampuri dalam ( أُمْنِيَّتِهِ ) bacaannya tersebut dan para ulama Salaf semuanya memahami bahwa maknanya adalah, apabila membaca, syaitan pun mempengaruhi bacaannya. Sebagaimana ucapan seorang sya’ir tentang ‘Utsman:

تَمَـنَّى كِـتَابَ اللهِ أَوَّلَ لَـيْلِهِ
وآخِـرهُ لاَقَى حِـمَامَ الْمَـقَادِرِ

Ia membaca Kitabullah pada permulaan malamnya,

dan disaat akhir malamnya, ia pun menjumpai takdir kematian

Apabila demikian yang diperbuat oleh syaitan terhadap para Rasul, maka bagaimana terhadap selain mereka? Oleh karena itu, kadangkala seorang yang membaca al-Qur-an salah pada bacaannya, atau bacaannya saling bercampur. Syaitan terus mengganggu bacaannya, sehingga lisannya keliru dalam membaca, atau pikiran dan hatinya terus diganggu.

Maka apabila semuanya datang tatkala membaca al-Qur-an dan ia belum bisa menghilangkan salah satunya atau bahkan semuanya terjadi, maka perkara paling penting baginya ketika membaca al-Qur-an adalah, beristi‘aadzah kepada Allah dari syaitan

7. Sesungguhnya syaitan paling semangat untuk menggoda seseorang apabila ia sedang berkehendak untuk suatu kebaikan atau sedang mengerjakannya. Saat itulah syaitan betul-betul berusaha untuk menghentikannya. Dalam hadits yang shahiih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنَّ شَيْطَاناً تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ، فَأَرَادَ أَنْ يَقْطَعَ عَلَى صَلاَتِيْ.

“Tadi malam syaitan meludahiku, dia menginginkan agar aku memutuskan shalatku.”[5]

Dalam Musnad Imam Ahmad[6], dari hadits Sabrah bin Abil Fakih, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ ِلابْنِ آدَمَ بِأَطْرُقِهِ، فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ: أَتُسْلِمُ وَتَذَرُ دِيْنَكَ وَدِيْنَ آبَائِكَ وَآبَاءِ آبَائِكَ، فَعَصَاهُ فَأَسْلَمَ. ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْهِجْرَةِ، فَقَالَ: أَتُهَاجِرُ وَتَذَرُ أَرْضَكَ وَسَمَاءَكَ؟ وَإِنَّمَا مَثَلُ الْمُهَاجِرِ كَالْفَرَسِ فِي الطُّوَالِ، فَعَصَاهُ وَهَاجَرَ. ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْجِهَادِ، فَقَالَ لَهُ: هُوَ جَهْدُ النَّفْسِ وَالْمَالِ،: فَتُقَاتِلُ فَتُقْتَلُ، فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ، وَيُقَسَّمُ الْمَالُ، قَـالَ: فَعَصَاهُ فَجَاهَدَ.

“Sesungguhnya syaitan menghalangi anak Adam pada berbagai jalannya. Syaitan menghalanginya pada jalan Islam, ia berkata, ‘Apakah kamu akan masuk Islam, dan meninggalkan agamamu, agama bapakmu dan agama nenek moyangmu?’ Lalu anak Adam tadi tidak mentaatinya, ia pun lalu masuk Islam. Lalu syaitan menghalanginya pada jalan hijrah, seraya mengatakan, ‘Apakah kamu akan berhijrah dan meninggalkan tanah langitmu (tanah airmu,-ed.)?

Sebenarnya orang yang hijrah itu seperti seekor kuda yang ada dalam perjalanan panjang.’ Dia pun tidak mentaatinya, dan ia pun pergi berhijrah. Kemudian syaitan menghalanginya kembali pada jalan jihad, ia berkata, ‘Jihad itu adalah butuh pengorbanan jiwa dan harta, lalu kamu pun berperang, dan kamu pun akan mati, istrimu dinikahi orang, dan hartamu dibagi-bagikan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lalu ia pun tidak mentaatinya, dan ia pun tetap berjihad.”[7]

Maka syaitan terus mengintai manusia pada setiap jalan yang menuju kebaikan.

Manshur berkata, dari Mujahid rahimahullah:

“Tidaklah sekumpulan orang keluar menuju Makkah, kecuali iblis mempersiapkan balatentaranya sebanyak jumlah mereka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsiirnya]

Syaitan terus siap siaga mengintai apalagi kalau ada orang yang membaca al-Qur-an. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada seorang hamba untuk memerangi musuhnya yang menghalangi jalan dengan beristi‘aadzah kepada Allah pada permulaan bacaannya, dari gangguan syaitan, kemudian memulai bacaannya. Sebagaimana seorang musafir ketika dihadang oleh seorang perampok, tentulah dia akan berusaha bertahan, kemudian setelah itu dia pun memulai lagi perjalanannya.

8. Isti‘aadzah adalah dilakukan sebelum pembacaan al-Qur-an, karena itu merupakan tanda dan pengenal bahwa sesuatu yang akan datang setelah isti‘aadzah tersebut adalah al-Qur-an. Oleh karena itu, segala macam perkataan dan ucapan tidak disyari’atkan isti‘aadzah sebelum memulainya.

Bahkan isti‘aadzah merupakan pendahuluan dan peringatan bagi pendengarnya, bahwa yang datang setelah itu adalah bacaan ayat suci al-Qur-an. Kalau seseorang yang akan mendengar bacaan al-Qur-an mendengar isti‘aadzah, maka dia akan lebih siap untuk mendengarkan firman Allah tadi, lalu setelah itu pembaca tadi memulai bacaannya. Isti’aadzah tersebut tetap dilakukan walaupun dia sendirian, karena adanya hikmah-hikmah dan hal lainnya yang telah kami sebutkan.

[Disalin dari Kitab Kaifa Tatakhallashu Minal Waswasati wa Makaayidisy Syaithaan Penulis Ahmad bin Salim Ba Duwailan, Judul dalam Bahasa Indonesia Bagaimana Terbebas Dari Waswas Penerjemah Nafi’, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1426 H – Februari 2005 M]
_______

Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Thalaaq (no. 5254).
[2]. Al-Hudaibiyah merupakan desa yang sedang dan tidak terlalu besar. Dan dinamakan al-Hudaibiyah dengan nama sumur di sana, yaitu di samping masjid, ada pohon tempat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan bai’at di bawahnya. Dan juga dinamakan al-Hudaibiyah karena adanya pohon hadba di tempat itu. Antara al-Hudaibiyah dan Makkah adalah satu marhalah. Sedangkan jaraknya dengan Madinah sekitar sembilan marhalah. (lihat Mu’jamul Buldaan, oleh Yaqut al-Hamawi, I/265).
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5018)
[4]. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya (no. 1340) dan dalam Majma‘uz Zawaa-id (disebutkan) sanadnya hasan.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 461) dan Muslim (no. 541)
[6]. Musnad Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, di dalamnya mencakup 30 ribu hadits dalam 24 judul. Ini adalah salah satu kitab besar dari جُمْلَةُ أُصُوْلِ اْلإِسْلاَمِ
[7]. Musnad Al-Imam Ahmad (15958) dan Shahiih Ibni Hibbaan (1601)