Dandim Bersama Bupati Kukar Resmikan Desa Tanjung Batu Sebagai Desa Mandiri 3a

Hendak Vaksin Tapi Belum Punya NIK, Segera Lapor ke Dinas Dukcapil

mascipoldotcom, Jum’at, 06 Agustus 2021 (27 Dzulhijjah 1442 H)

Jakarta – Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengimbau masyarakat yang hendak melakukan vaksin tapi belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk segera melapor ke Dinas Dukcapil maupun Dinas Kesehatan setempat. Hal ini supaya penerbitan NIK dapat segera diproses, sehingga bisa dilakukan penyuntikan vaksin Covid-19.

Hal itu disampaikan Zudan saat memberikan keterangan pers secara virtual, usai menandatangani kerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk mengintegrasikan data kependudukan, pada Jumat (6/8/2021).

“Jadi sekarang yang belum punya NIK segera hubungi dinas kesehatan masing-masing atau langsung ke dinas dukcapil masing-masing,” ujar Zudan.

Dia menjelaskan, dengan laporan tersebut maka Dinas Dukcapil bakal segera memproses NIK yang bersangkutan, agar vaksinasi dapat segera dilakukan. Imbauan ini berkaitan dengan Surat Edaran dari Kementerian Kesehatan terkait Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 bagi Masyarakat Rentan dan Masyarakat yang Belum Memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sehingga Dinas Kesehatan perlu terus berkoordinasi dengan Dinas Dukcapil.

Zudan mengatakan, telah memberikan instruksi ke Dinas Dukcapil di daerah agar segera merespons kebijakan tersebut. Ia mencontohkan kerja kolaborasi yang dapat dilakukan. Menurutnya, bila vaksinasi hendak dilakukan di panti asuhan dan mendapati anak-anak yang belum memiliki NIK, maka Dinas Kesehatan perlu mengajak Dinas Dukcapil untuk membantu pendataan.

“Mengajak Dinas Dukcapil datang ke panti asuhan itu, melakukan pendataan memberikan formulir F-1.01 diterbitkan NIK langsung saat itu juga bisa sambil diproses vaksinasinya, jadi tidak ada yang terhambat,” ujar Zudan. (Leodepari)

—————

Renungan

KEHILANGAN BUAH HATI

Oleh Ustadz Rizal Yuliar Lc

Tak ada sedikit pun perjalanan kehidupan dunia ini yang terhenti, sampai Allah Azza wa Jalla kelak menetapkan hari yang menjadi akhir bagi segalanya. Waktu demi waktu adalah ujian bagi setiap manusia. Hanyalah seorang Mukmin yang dapat menghadapinya dengan baik.

Ia selalu mengharap taufik Allah Azza wa Jalla dalam setiap langkah di segala keadaannya. Ia meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ucapan dan amalannya. Ia mempelajari dengan seksama contoh para Salafus shâlih dalam setiap hal yang menghampiri kehidupannya.

Seorang Mukmin selalu berhati-hati dalam menentukan sikap dan tindakannya agar dapat selaras dengan petunjuk syariat. Saat ia mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan, maka ia bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla, tidak lantas terbuai sehingga lupa bahwa itu hanyalah bersifat sementara.

Tatkala ia ditimpa kesulitan atau musibah, maka ia segera menyadari bahwa itu adalah ujian. Ia meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Allah Azza wa Jalla sehingga ia bersabar dan tidak hanyut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ صُهَيْبٍ الرُّوْمِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib ar-Rûmi Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Betapa menakjubkan perkara seorang Mukmin. Sungguh semua perkaranya adalah baik. Apabila ia mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dan itu adalah yang terbaik baginya. Manakala ia mendapatkan musibah maka ia bersabar dan itu adalah yang terbaik baginya.”[1]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Menakjubkan seorang Mukmin, karena tidaklah Allah Azza wa Jalla menentukan satu perkara bagi dirinya melainkan itu menjadi yang terbaik baginya”.[2]

Di antara titipan Allah Azza wa Jalla yang menjadi ujian kehidupan bagi seorang Mukmin dan Mukminah adalah anak, “Si buah hati”. Ia hadir sebagai penyejuk mata yang mendatangkan kebahagiaan. Setiap gerak dan tingkahnya adalah kebanggaan. Setiap keceriaan celoteh beriring senyum dan kemanjaannya adalah penghibur hati dan pengisi kehampaan.

Tak ada kata lelah ataupun bosan bagi ibu atau ayah untuk melayaninya dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Tak perlu diminta untuk memberikan yang terbaik baginya. Tak habis cara dan usaha mencari jalan keluar terhadap segala kesulitannya.

Semua itu dilalui sebagai kebahagiaan bagi kedua orang tua. Namun pada saat Allah Azza wa Jalla memanggil kembali si buah hati karena ajal telah menjemputnya, tak jarang sebagian orang tua dirundung kesedihan yang begitu mendalam dan berkepanjangan, seakan kurang dapat menerima kenyataan.

Di antara mereka ada yang bingung “Apa yang harus dilakukan??”, rasa “Belum siap”, dan pertanyaan “Mengapa ini terjadi?” bergelayut dalam hati dan pikiran. Mari kita merenung sejenak, sambil mencermati kembali tuntunan ajaran Islam yang sudah pasti memberikan kemudahan dan mendatangkan kebahagiaan. Sehingga langkah setiap Mukmin dan Mukminah saat menghadapi kepergian “Si buah hati” yang takkan kunjung kembali adalah langkah yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

KETELADANAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM SAAT KEHILANGAN “BUAH HATI”

Sebagai contoh terbaik bagi umat ini, kita dapatkan dari keteladanan kisah nyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat puteranya Ibrahim meninggal dunia pada usia yang sangat dini. Namun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegar dalam menjalani ujian kehidupan tersebut. Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya dalam pangkuan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkannya dan beliau pun n menangis. `Abdurrahmân bin `Auf bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyâhah)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wahai Ibnu `Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat; yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah.

Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah Azza wa Jalla ) yang pasti terjadi dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita pastilah akan kita susul, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang…, hati bersedih…, kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla.”[3]

Lihatlah ketegaran dan ketabahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sekalipun hati beliau bersedih dan air mata berlinang namun beliau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla. Karena Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla yang sarat kebaikan serta hikmah. Tidak sedikitpun Allah Azza wa Jalla menzhalimi hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan Dialah yang berkuasa atas seluruh hamba-Nya.

Dan Dialah yang maha bijaksana lagi maha mengetahui”.[4] “Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku”.[5] Dengan meyakini hal ini maka seorang Mukmin akan mudah berlapang dada terhadap segala yang terjadi karena Allah Azza wa Jalla pasti memberikan yang terbaik. Menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah ujian serta titipan sementara yang suatu saat akan kembali kepada-Nya.

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Kepunyaan Allah Azza wa Jalla sajalah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah Azza wa Jalla segala urusan dikembalikan”.[6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila Allah Azza wa Jalla mencintai suatu kaum maka Allah Azza wa Jalla akan menguji mereka. Barangsiapa ridha maka ia akan mendapatkan ridha (Allah Azza wa Jalla ), dan barangsiapa marah (benci) maka baginya kebencian dan kemurkaan (Allah Azza wa Jalla )”.[7]

TEGAR MENGHADAPI KENYATAAN

Al-kisah seorang Sahabat bernama Abu Thalhah al-Anshâri Radhiyallahu anhu memiliki seorang istri bernama Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma serta seorang putera yang ia sayangi. Ketika Abu Thalhah Radhiyallahu anhu keluar dari rumah (untuk suatu kepentingan), anaknya sedang jatuh sakit yang kemudian meninggal dunia.

Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma mempersiapkan (diri) seraya berkata kepada kerabatnya: “Jangan kalian memberitahu suamiku Abu Thalhah Radhiyallahu anhu tentang puteranya, biarkanlah aku sendiri yang akan menyampaikan berita duka ini”. Saat Abu Thalhah Radhiyallahu anhu sampai di rumah bersama beberapa Sahabatnya beliau bertanya kepada Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma : “Bagaimana keadaan anak kita?”.

Ummu Sulaim menjawab: “Semenjak ia sakit, malam ini sungguh ia lebih tenang dari sebelumnya”. Ummu Sulaim mempersiapkan makan malam, kemudian ia berhias diri dan bersolek untuk suaminya. Abu Thalhah Radhiyallahu anhu memuji Allah Azza wa Jalla dan merasa senang, ia menyelesaikan makan malam kemudian menggauli istrinya. Setelahnya, Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu apabila seseorang meminjam suatu pinjaman dan memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta kembali dia enggan untuk mengembalikannya?” Abu Thalhah Radhiyallahu anhu menjawab: “Dia tidak berlaku adil”.

Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma berkata lagi: “Sesungguhnya puteramu adalah pinjaman Allah Azza wa Jalla bagimu, dan sungguh Allah Azza wa Jalla telah mengambilnya kembali”. (Ternyata) Abu Thalhah Radhiyallahu anhu bersabar[8] serta memuji Allah Azza wa Jalla … Keesokan harinya ia hendak menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Semoga Allah Azza wa Jalla memberkahi kalian berdua di malam yang kalian lalui”. Maka tidak berapa lama kemudian Ummu Sulaim Radhiyallahu anhuma mengandung…[9]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sesungguhnya seorang Mukmin manakala ia menyerahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla (saat musibah) dan melakukan istirjâ` maka ia akan mendapatkan tiga kebaikan sekaligus; keberkahan dan maghfirah (ampunan), rahmat serta kemudahan jalan petunjuk”.[10] Demikian contoh mulia dari para Salafus shâlih yang diuji oleh Allah Azza wa Jalla , bukan bersikap murung atau putus asa, namun bersikap tegar, tenang, sabar dan tabah menghadapi ujian itu.

WAJIB HUSNU ZHAN (BERPRASANGKA BAIK) TERHADAP ALLAH AZZA WA JALLA

Berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla adalah sifat kaum munafikin dan musyrikin. Allah Azza wa Jalla yang maha mengetahui lagi maha bijaksana berfirman: “Dan Allah Azza wa Jalla mengadzab kaum munafik laki-laki dan perempuan, juga kaum musyrik laki-laki dan perempuan karena mereka berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla . Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Allah Azza wa Jalla memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”.[11]

Sesungguhnya sebagian manusia menjadi rendah lagi hina karena prasangka buruk mereka terhadap Allah Azza wa Jalla . Adapun makna berprasangka baik terhadap Allah Azza wa Jalla ialah seorang hamba berprasangka bahwa Allah Azza wa Jalla menyayanginya, ia memahami hal tersebut dengan merenungi ayat-ayat, hadits-hadits yang menjelaskan tentang kebaikan dan kemuliaan Allah Azza wa Jalla serta ampunan-Nya, apapun yang telah Allah Azza wa Jalla janjikan bagi ahli tauhid sebagai pengganti dan balasan kebaikan bagi mereka di hari kiamat kelak. Sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla firmankan: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku”. Inilah makna hadits yang benar yang dijelaskan oleh jumhur Ulama.”[12] Hanyalah orang kafir yang berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah Azza wa Jalla melainkan kaum yang kafir”[13]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْكَبَائِرُ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَ اْلإِياَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ وَ اْلقُنُوْطِ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ

“Dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah Azza wa Jalla , pesimis dari kasih sayang Allah Azza wa Jalla serta berputus asa dari (mendapatkan) rahmat-Nya”.[14]

BERSABAR SEJAK AWAL MUSIBAH TERJADI

Ini adalah hal yang sering kali luput atau bahkan dilalaikan sebagian orang yang menghadapi musibah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى

Sesungguhnya kesabaran adalah pada saat awal kejadian (musibah).[15]

Yakni apabila bersikap tegar dan tabah pada saat hati terguncang akibat suatu musibah maka itulah sabar yang sempurna yang akan mendatangkan pahala. Al-Khaththâbi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya sabar yang terpuji adalah ketika musibah baru saja terjadi, adapun setelah itu beberapa hari maka dia akan lupa kemudian merelakan kepergiannya”.[16]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sungguh makna hadits tersebut adalah kesabaran yang sempurna dan akan mendatangkan pahala yang agung, karena ujian kesulitan yang berat di dalamnya…”[17] Dan jika ia berjuang untuk dapat bersabar maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kemudahan baginya untuk tegar dan bersabar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa berusaha untuk bersabar maka Allah Azza wa Jalla akan membuatnya bersabar, tidaklah seseorang diberikan kebaikan yang menyeluruh dan lebih luas dari kesabaran”.[18]

Tentang definisi kesabaran Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sabar adalah menahan diri dari sikap kesal dan marah, menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota badan dari melakukan kekacauan atau kebodohan”.[19]

BERHARAP PAHALA DAN BALASAN KEBAIKAN DARI ALLAH

Hal ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dalam sabdanya: “Senantiasa ujian (cobaan) menghampiri seorang Mukmin atau Mukminah dalam dirinya, hartanya, serta anaknya sampai ia berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla sehingga tiada lagi tersisa dosa-dosanya”.[20] Suatu saat seorang pria mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa puteranya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah engkau mencintai puteramu?” Pria tersebut menjawab: “Allah Azza wa Jalla telah mencintai engkau (wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sebagaimana aku mencintai puteraku”.

Tak lama setelah itu puteranya wafat, ia merasa sangat kehilangan dan bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) tentang (nasib) puteranya itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah engkau merasa bahagia tatkala engkau mendatangi pintu manapun di antara pintu-pintu jannah dan puteramu berdiri di hadapannya berusaha untuk membukakannya bagimu?”[21] . Maka hendaknya ia mengharap agar dipertemukan kembali dengan seluruh keluarganya dalam kebahagiaan dan kenikmatan jannah Allah Azza wa Jalla serta dijauhkan dari adzab Allah Azza wa Jalla. Kesempatan itu pernah disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوْتُ بَيْنَهُمَا ثَلاَثَةُ أَوْلاَدٍ لَمْ يَبْلُغُواْ الْحِنْثَ إِلاَّ أَدْخَلَهُمَا اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ. يُقَالُ لَهُمْ: “اُدْخُلُواْ الْجَنَّةَ”، فَيَقُوْلُوْنَ: حَتَّى يَدْخُلَ آباَؤُنَا، فَيُقَالُ:” اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآباَؤُكُمْ

Tidaklah dua Muslim (suami-isteri) yang tiga anak kandung mereka yang belum berdosa telah meninggal dunia, melainkan Allah Azza wa Jalla akan masukkan keduanya ke dalam jannah dengan kebaikan dan rahmat Allah Azza wa Jalla bagi mereka. Dikatakan kepada anak-anak itu “Masuklah kalian ke dalam jannah”. Maka mereka menjawab “(kami menanti) sehingga kedua orang tua kami memasukinya”. Kemudian dikatakan: “Masuklah kalian beserta kedua orang tua kalian ke dalam jannah”.[22]

“أَيُّمَا امْرَأَةٌ مَاتَ لَهَا ثَلاَثَةٌ مِنَ اْلوَلَدِ كَانُوْا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ”. قاَلَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَانِ ؟ قَالَ: “وَاثْنَانِ”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang wanita (Muslimah) manapun yang telah (didahului) wafat ketiga anaknya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka”. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana jika hanya dua (anak saja)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, (walaupun) dua.”[23]

Dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain: “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Sesungguhnya (janin yang) gugur akan menarik ibundanya dengan ari-arinya (masuk) ke dalam jannah manakala ibunya itu (bersabar) mengharap pahala”[24]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita dapat bersabar tatkala mendapatkan musibah khususnya pada saat kepergian buah hati yang mendahului kita, meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, melimpahkan pahala dan menghapuskan dosa serta mempertemukan kita dengan semua keluarga yang telah mendahului kita di dalam jannah-Nya Azza wa Jalla yang mulia. Amin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Ahmad 4/333 no: 18939, Muslim no: 2999, Dârimi 2/218 no: 2773, Ibnu Hibbân (At-Ta`lîqâtul Hisân) 4/447 no: 2885
[2]. Ahmad 5/24 no: 20283, Ibnu Hibbân 2/149 no: 726 dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . Riwayat ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah 1/277 no: 148
[3]. Al-Bukhâri 1303, Muslim 2025, Shahîh Sunan Abu Dâwud dengan no: 2681 (3126), Ahmad 13014 seluruhnya dari Anas Radhiyallahu anhu , Ibnu Mâjah 1589 dari Asma bintu Yazid Radhiyallahu anhuma, adapun lafadh dan kisah diatas diriwayatkan oleh Hâkim 6825 dari Jâbir dari `Abdurrahmân bin `Auf Radhiyallahu anhu dan Syaikh al-Albâni membawakannya dalam Silsilah Shahîhah 1/790 volume: II no hadits: 427
[4]. Qs al-An`âm:18
[5]. Qs Qâf:29
[6]. Qs Ali `Imrân:109
[7]. HR Tirmidzi dan Ibnu Majah; lihat Shahîh Sunan Tirmidzi 2396, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah 4031 Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . Syaikh al-Albâni berkata “Sanadnya hasan”.
[8]. Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah kemudian dia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla yaitu “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn, Allâhumma` jurnî fî mushîbatii wa akhlif lî khairan minha” (Sesungguhnya kami milik Allah Azza wa Jalla dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah Azza wa Jalla, berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku ini dan berikan kepadaku ganti), melainkan Allah k akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari (mushibah tersebut)”. (HR Muslim 3/474-475 no: 918 Bab yang diucapkan saat musibah). Dalam riwayat lain disebutkan hadits yang senada dan pada bagian akhir hadits beliau n bersabda “….melainkan Allah k akan memberikan pahala kepadanya dan memberikan ganti yang lebih baik”. (HR Ibnu Mâjah 1598 yang dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni). Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla “Yaitu (orang-orang) yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ; “Innaa lillâhi wa innâ ilaihi râji`ûn”. Mereka mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk hidayah”. (Qs al-Baqarah/2:156-157)
[9]. HR.Bukhâri 1301, Muslim 6322, Ahmad 12028 seluruhnya dari Anas Radhiyallahu anhu
[10]. Fathul Bâri; bab 42 dari kitab Al-Janâ`iz 3/205 syarah hadits no: 1302
[11]. Qs al-Fath/48:6
[12]. `Aunul Ma`bûd 8/382-383.
[13]. Qs Yusuf/12:87
[14]. HR. Bazzâr dari Ibnu `Abbas Radhiyallahu anhu dalam Majma` az-Zawâid 1/104 Imam al-Haitsami berkata “Diriwayatkan al-Bazzâr dan ath-Thabrâni; para perawinya dapat dipercaya” dalam kesimpulannya Syaikh al-Albâni menilainya hasan, lihat Shahîhul-Jâmi` 2/844 no: 4603, dan Silsilah Shahîhah 5/79-80 hadits no: 2051
[15]. HR. Bukhâri no: 1283 & 1302, Muslim no: 926 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu .
[16]. Fathul Bâri 3/179, Tuhfatul Ahwadzi 4/62.
[17]. Syarah Muslim 6/481
[18]. HR Bukhâri no: 1469, Muslim no: 1054 dari Abu Sa`id al-Khudri Radhiyallahu anhu .
[19]. Madârijus sâlikîn baina manâzili iyyâka na`budu wa iyyâka nasta`în karya Ibnul Qayyim 2:129
[20]. HR Tirmidzi no: 2399 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata “Hadits ini hasan shahîh”. Demikian dinyatakan oleh Syaikh al-Albâni “Shahîh”, lihat Shahîhul-Jâmi` no: 5815, dan Silsilah Shahîhah no:2280
[21]. HR. Nasâ`i dari Qurrah bin Iyâs, lihat Shahîh Sunan Nasâ`i no: 764 dan 1974. Dinyatakan oleh Syaikh al-Albâni “Shahîh”
[22]. HR Nasâ`i dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ; lihat Shahîh Sunan Nasâ`i no: 1770, lihat Shahîhul-Jâmi` no : 5780, lihat Silsilah Shahîhah no:2260
[23]. HR Bukhâri 101,1249,7310 dari Abu Sa`id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[24]. HR. Ibnu Mâjah 1609 dari mu`adz bin Jabal Radhiyallahu anhu . Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no:1305