mascipoldotcom – Ahad, 11 Oktober 2020 (24 Safar 1442 H)
Suryadi Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL)
ANGGOTA Polri yang berhadapan langsung dengan demonstran bisa saja salah, tapi menstigma polisi arogan jelas satu kesimpulan yang harus bisa dijelaskan agar tidak menjadi serampangan.
Demonstrasi sebagai salah satu media kebebasan berpendapat secara terbuka di hadapan publik, biasa dilakukan masyarakat di negara-negara demokratis. Ada massa yang berekspresi di satu pihak, dan pasukan polisi di lain pihak bertugas mengamankan agar demonstrasi berlangsung tertib tidak mengganggu ketertiban umum.
Demonstran di satu sisi dan pasukan polisi di sisi lain, suka tidak suka saling berhadap-hadapan. Kondisi berhadap-hadapan ini akan memantik bentrokan, bila demontran memaksakan kehendak, dan di lain pihak pasukan polisi tegas menertibkan. Lugasnya, ketika demonstran melakukan tindakan melawan peraturan perundang-undangan, sedangkan pasukan polisi bersitegak sebaliknya.
Hukum di tangan penegak hukum yang konsisten dapat dipastikan membatasi kebebasan seseorang, mengingat ada kebebasan orang lain yang tidak boleh terganggu. Apalagi kalau menyangkut kepentingan ketertiban umum, pasti kepentingan perorangan atau kelompok sekalipun harus dikalahkan. Artinya, semua harus terlindungi oleh hukum dan penegakan hukum.
Di titik inilah pada banyak kasus demonstrasi yang diwarnai oleh tindakan anarkis, termasuk secara kasuistis pada demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja atau OmniBuslaw (DPOB), barangkali menjadi terpicu munculnya tuduhan polisi arogan. Dalam psikologi, arogan yaitu mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah (KBBI, 2002: 66).
Psikolog politik UI, Prof. Dr. Hamdi Moeloek mengatakan, jika pada DPOB terjadi bentrok pasukan pengendalian massa (dalmas) Polri dengan demonstran, semua pihak hendaknya tidak dengan mudah memojokkan bahwa polisi telah bertindak arogan. Hamdi melihat dalam DPOB itu lebih besar noise-nya ketimbang voice (wawancara MetroTv, Sabtu pagi, 10 Oktober 2020).
Mengacu Hamdi, penulis menafsirkan, sepanjang DPOB cenderung lebih didominasi oleh “kebrisikan” (noise) ketimbang mempersoalkan hal-hal yang substansi (voice). Terbukti, banyak di antara para demonstran DPOB tidak tahu apa yang sesungguhnya dipersoalkan. Hal ini akan dengan mudah dikonfirmasi kepada sejumlah pelajar (usia di bawah 18 tahun) dan pengangguran yang mengaku cuma ikut-ikutan.
Selayaknya, DPOB didominasi oleh para buruh yang benar-benar paham secara substansi apa-apa yang dipersoalkan terkait penolakan terhadap OmniBuslaw. Memang, agak sulit untuk membuat seluruh buruh membaca UU yang mencapai hampir 1.000 halaman itu. Di sini lah, sebetulnya diperlukan para intelektual di kalangan buruh atau stakeholder yang relevan memberikan kejelasan dan pencerahan kepada mereka yang diikutsertakan dalam demonstrasi.
Demonstrasi, tentu saja, dibenarkan melibatkan elemen-elemen pendukung seperti mahasiswa atau aktivis yang bergerak di bidang advokasi buruh.
LABORATORIUM
SEJUMLAH demonstrasi yang menimbulkan ketegangan bahkan bentok antara demonstran dan aparat di Tanah Air bukan baru kali ini terjadi. Artinya, baik massa demonstran maupun polisi, sudah memiliki pengalaman berada dalam satu situasi saling berhadap-hadapan secara diametral.
Demonstrasi demi demonstrasi sesungguhnya merupakan laboratoium. Peristiwa demi peristiwa dapat diteliti baik secara psikologi sosial, politik, hukum, maupun kriminologi. Apalagi, di antara para pelaku yang melakukan perusakan atau menyerang petugas yang sedang melaksanakan tugasnya, adalah orang-orang yang bisa segera ditemukan, dikumpulkan, dan didata dalam satu ruang dan kesempatan yang sama.
Dari mereka, pastilah polisi bisa memperoleh pengakuan yang meliputi identitas, pekerjaan, motivasi ikut berdemo, kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kepada pernahkah di antara mereka terlibat tawuran atau suatu tindak kriminal. Semua itu merupakan bahan dasar yang sangat bermanfaat bagi penelitian lanjut.
Keterpaduan di tubuh Polri sebagai satuan sistem kerja, tentu tidak sulit untuk melibatkan unit-unit kerja relevan. Misalnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), Dinas Psikologi, dan Lembaga Pendidikan dan Latihan (Lemdiklat). Bahkan, sudah merupakan hal yang biasa, Polri melibatkan pihak-pihak eksternal untuk kepentingan suatu penelitian atau kajian.
Hasilnya, tentu saja, diharapkan dapat bermanfaat bagi penyempurnaan kebijakan yang kian komprehensif, untuk mengantisipasi melajunya demonstrasi demi demonstrasi di Indonesia. Sangat disadari, apa pun demonstrasi senantiasa berada dan dapat disoroti dalam dimensi politik.
Sejauh ini, mungkin saja sudah ada hasil penelitian serupa itu, meski selayaknya penelitian dilakukan secara terus-menerus agar menjadi lebih spesifik dalam suatu kajian dan senantiasa aktual. Dokumen hasil penelitian serupa ini bukanlah dokumen rahasia; makin terpublikasi dengan baik akan makin terasa manfaatnya bagi masyarakat.
Pada saat yang sama, harus diakui sekaligus menjadi perhatian Polri, bahwa anak-anak bangsa ini masih harus banyak mempelajari bagaimana bisa menjadi dewasa dalam berdemokrasi. Banyak faktor, memang, untuk bisa menjadi dewasa dalam berdemokrasi.
Maka, sepanjang kedewasaan berdemokrasi itu belum tercapai, patut diduga tercapainya demonstrasi yang juga mengedepankan kedewasaan, masih akan memerlukan waktu dan kerja keras. Dalam hal ini, termasuk diperlukan hadirnya polisi yang dengan baik memahami penegakkan hukum dalam Indonesia yang demokrasi.
Kemajuan teknologi, tentu saja, sudah tercakup dalam upaya-upaya mencapai Polri yang Profesional, Modern, Terpercaya (Promoter) sebagaimana telah menjadi tekad Polri dalam enam tahun terakhir ini. Salah satu noise-nya demonstrasi dewasa ini juga dipengaruhi oleh cepatnya menyebar hal-hal yang tidak benar, yang secara instan dimamah oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran.
Demonstrasi penolakan terhadap OmniBuslaw yang ditandai oleh tindakan pengrusakan dan pelibatan orang-orang yang tak seharusnya, patut diduga juga ikut dibakar oleh hoax yang terfasilitasi oleh kemajuan teknologi. Ini satu hal lagi, yang memerlukan pendewasaan dalam berdemokrasi. (Kombes Pol Edy Sumardi)
———–
Renungan
Pentingnya Belajar Dari Sejarah
Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum Muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.
Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang mengungkapkan hal ini dalam ucapannya, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.” [1]
Dalam al-Qur’ân Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan al-‘ashr (masa/jaman) karena padanya banyak terdapat peristiwa-peristiwa yang bisa menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi manusia. Itulah jaman meraih keberuntungan dan amal shaleh bagi orang-orang yang beriman, serta saat mendapatkan kerugiaan dan kecelakaan bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya [2] . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa ! Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran [al-‘Ashr/103:1-3]
Oleh karena itulah, Imam asy-Syâfi’i rahimahullah menggambarkan agungnya kedudukan surah al-‘Ashr ini dengan ucapannya, “Seandainya Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan (dalam al-Qur’ân) sebuah argumentasi bagi semua makhluk-Nya kecuali surah ini (saja) maka itu cukup bagi mereka.”
KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS YANG SHAHIH
Sebaik-baik kisah sejarah yang dapat diambil pelajaran dan hikmah berharga darinya adalah kisah-kisah yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena kisah-kisah tersebut disamping sudah pasti benar, bersumber dari wahyu Allâh Azza wa Jalla yang maha benar, juga karena kisah-kisah tersebut memang disampaikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yusuf/12:111]
.
Artinya: kisah-kisah yang menggambarkan keadaan para Nabi dan umat mereka tersebut, serta yang menjelaskan kemuliaan orang-orang yang beriman dan kebinasaan orang-orang kafir yang mendustakan seruan para nabi, berisi pelajaran bagi orang-orang yang beriman untuk memantapkan keimanan mereka dan menguatkan ketakwaan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”[4] .
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menjelaskan bahwa diantara manfaat memahami kisah-kisah tersebut adalah bisa menjadi sebab untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla . Beliau rahimahullah berkata, “Termasuk hal yang paling jelas (manfaatnya dalam kebaikan) bagi orang-orang (beriman) yang memiliki pemahaman (yang benar) adalah (merenungkan) kisah-kisah orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang jaman sekarang, (yaitu) kisah orang-orang yang taat kepada Allâh dan kemuliaan yang Dia berikan kepada mereka, serta kisah orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan kehinaan yang Dia timpakan kepada mereka. Barangsiapa yang tidak bisa memahami kisah-kisah tersebut dan tidak dapat mengambil manfaat darinya maka (sungguh) tidak ada jalan (kebaikan) untuknya. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْنٍ هُمْ أَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوا فِي الْبِلَادِ هَلْ مِنْ مَحِيصٍ
Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? [Qaaf/50: 36].
Salah seorang ulama salaf berkata, “Kisah-kisah (dalam al-Qur’an) adalah tentara-tentara Allâh”, artinya: kisah-kisah tersebut tidak bisa disanggah oleh para penentang kebenaran…
Oleh karena itu, wahai hamba Allâh ! Bersungguh-sungguhlah untuk memahami tali yang menghubungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hamba-hamba-Nya ini, karena barangsiapa yang berpegangteguh dengannya maka dia akan selamat (dari kebinasaan) dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia akan binasa”[5] .
KISAH-KISAH KETELADANAN DAN PENEGUH KEIMANAN
Kisah-kisah sejarah para Nabi adalah termasuk sebab utama untuk mengokohkan dan menyempurnakan keimanan dalam hati orang-orang yang beriman.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hûd/11:120]
.
Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allâh sangat berpengaruh dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allâh Azza wa Jalla.
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsîr t berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Semua yang Kami ceritakan padama tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allâh Azza wa Jalla menolong orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (bisa) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu.”[6]
Khususnya yang berhubungan dengan Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama merupakan kewajiban dan keutamaan besar bagi orang-orang beriman yang ingin meraih ridha Allâh Azza wa Jalla . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21].
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7]
Keutamaan besar ini tentu tidak dapat diraih oleh seorang Muslim kecuali dengan memahami sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena sejarah perjalanan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbesar untuk memahami dan megikuti jalan kebaikan yang pernah ditempuh oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [8].
Itulah sebabnya mengapa para Ulama memberikan perhatian besar dalam hal ini, dengan menulis kitab-kitab khusus tentang sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir sampai wafat. Demikian pula biografi orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, dari kalangan para sahabat Radhiyallahu anhum dan para ulama salaf setelah mereka.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain Zainul ‘Abidin rahimahullah bahwa beliau berkata, “Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami.”[9]
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau yang terkenal, “Kisah-kisah (keteladanan) para Ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani).”[10]
Lebih lanjut, imam as-Sakhawi rahimahullah menukil keterangan Abu Ishâk Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi rahimahullah tentang beberapa manfaat dan hikmah dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang Allâh Azza wa Jalla sampaikan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu, yaitu:
1. Sebagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dari Allâh Azza wa Jalla .
2. Untuk meneladani sifat-sifat mereka yang dipuji oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi sifat-sifat yang dicela-Nya.
3. Untuk meneguhkan jiwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan kemuliaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau, karena umat ini dilindungi Allâh Azza wa Jalla dari berbagai ujian yang ditimpakan-Nya kepada umat-umat terdahulu, diberi keringanan dalam beberapa hukum syariat dan diistimewakan dengan berbagai kemuliaan yang tidak diberiakan-Nya kepada umat-umat lain.
4. Sebagai pelajaran dan pendidikan bagi umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang diisyaratkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat) [Yûsuf/12:111]
5. Untuk mengabadikan nama baik dan mengenang jejak-jejak terpuji mereka, sebagaimana doa Nabi Ibrahim Alaihissallam dalam al-Qur’ân :
وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
Dan jadikanlah aku (ya Allâh) buah tutur yang baik bagi orang-orang yang (datang) kemudian. [As-Syu’arâ/26:84] ”[11]
MENCINTAI ORANG-ORANG YANG SHALEH KARENA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Demikian pula, dengan membaca sejarah hidup orang-orang yang shaleh dan mengenal sifat-sifat baik mereka, akan memudahkan tumbuhnya rasa cinta kepada mereka karena Allâh Azza wa Jalla. Ini merupakan salah satu ciri kesempurnaan iman, sebagimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api. [12]
Sifat mulia ini merupakan sebab utama meraih keutamaan besar di sisi Allâh Azza wa Jalla , yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”.
قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
Sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu (yang meriwayatkan hadits ini dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berkata, “Kami (para sahabat Radhiyallahu anhum ) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr dan Umar Radhiyallahu anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allâh Azza wa Jalla ) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka.[13]
PENUTUP
Masih banyak manfaat dan faidah besar lainnya dari sejarah Islam yang dibukukan oleh para Ulama kita. Imam as-Sakhawi rahimahullah sampai menulis sebuah kitab khusus untuk menjelaskan hal ini sekaligus menyanggah orang-orang yang meremehkan dan mengecilkan arti pentingnya ilmu sejarah Islam. Kitab beliau tersebut berjudul “al-I’lânu bit Taubîkhi liman Dzâmat Târîkh” (Mengumumkan celaan terhadap orang-orang yang meremehkan sejarah).
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memudahkan kita untuk mengambil teladan dan petunjuk yang baik dari kisah-kisah para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta memuliakan kita dengan dikumpulkan di surga kelak bersama para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para shidiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh, Amin.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasul(-Nya), mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya [an-Nisâ’/4:69].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HSR Muslim , no. 2645
[2]. Lihat kitab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 12
[3]. Dinukil oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 14
[4]. Lihat kitab Aisarut Tafâsîr (2/236).
[5]. Mukhtasharu Sîratir Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 9
[6]. Kitab Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (2/611).
[7]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (3/626)
[8]. Lihat kitab Marwiyyâtu Ghazwatil Hudaibiyyah, hlm. 8
[9]. Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi (2/252).
[10]. Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
[11]. Kitab al-I’lânu bit Taubîkhi liman Dzâmat Târîkh, hlm. 36-37), dengan ringkas dan penyesuaian.
[12]. HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[13]. HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).