Dandim Bersama Bupati Kukar Resmikan Desa Tanjung Batu Sebagai Desa Mandiri 4a

Dandim Bersama Bupati Kukar Resmikan Desa Tanjung Batu Sebagai Desa Mandiri

mascipoldotcom, Rabu, 04 Agustus 2021 (25 Dzulhijjah 1442 H)

Kutai Kartanegara – Komandan Kodim 0906/Kutai Kartanegara (Kkr) Letkol Inf. Charles Alling bersama Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah dan Kabaglog Polres Kukar Kompol Budi Santosa meninjau serta meresmikan Desa Mandiri yang berada di Desa Tanjung Batu Kecamatan Tenggarong Seberang, Rabu (4/8/2021).

Sebelum peresmian Desa Mandiri rombongan di sambut paparan Visi dan Misi oleh kepala desa Tanjung Batu Husniansyah melalui tema “ sehati sepikir untuk mewujudkan kemandirian desa, bersama kita bisa” yang berisi antara lain meningkatkan kemandirian ketahanan pangan, mensejahterakan taraf hidup masyarakat melalui UMKM dan PKK, memelihara zonasi hijau desa Tanjung Batu, meningkatkan kewaspadaan akan bahaya narkoba serta menciptakan suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat.

Setelah kegiatan pemotongan tali pita tanda diresmikannya desa Mandiri, rombongan juga meninjau spot-spot yang ada di desa Mandiri diantaranya Posko RT Sigap, rumah UMKM, posko anti narkoba, rumah baca, karang taruna, tempat isolasi terpusat, pemanfaatan lahan tidur, pramuka Saka Wira Kartika, sanggar tari jepen, keterampilan PKK, pos kamling, pusban, bela negara, dan dilanjutkan panen cabe bersama serta meninjau workshop pertanian yang ada di desa sinergi hijau.

Menurut Bupati Kukar desa Tanjung Batu berhak mendapat penghargaan secara khusus karena selain menjadi desa Mandiri, desa Tanjung Batu juga merupakan lokasi pengembangan kawasan cadangan pangan strategis nasional yang pengelolaannya berkolaborasi antara Kodim 0906/Kkr, Pemkab Kukar dan Pemdes Desa Tanjung Batu, serta dukungan dari dunia usaha yang ada di sekitar kecamatan Tenggarong Seberang.

Dandim 0906/Kkr Letkol Inf. Charles Alling mengatakan dengan di canangkannya desa Tanjung Batu sebagai desa Mandiri, kita ingin mengangkat Desa Tanjung Batu ini bisa terexpose kaitannya dengan potensi yang ada, kemudian hal-hal lain yang bisa kita explore guna mewujudkan Desa Tanjung Batu adalah Desa yang benar-benar Mandiri.

“Jadi intinya apa yang sudah kita lakukan merupakan upaya kita bersama untuk membangun dan berkolaborasi yang baik antara pemerintah daerah, TNI-Polri dan pelaku usaha guna mewujudkan hal-hal yang baik di desa Tanjung Batu. Jadi jangan hanya kegiatan pada saat ini saja tetapi di harapkan keberlanjutan dari kegiatan ini agar menjadi platform kita bersama untuk terus kita wujudkan”, tambah Dandim. Sumber Dim 0906/Kukar. (Murdianto)

————–

Renungan

BERCERMIN KEPADA NABI IBRAHIM DALAM MENJAMU TAMU

Saling berkunjung sesama kerabat, teman maupun sejawat merupakan kebiasaan yang tak bisa dihindari. Keinginan berkunjung dan dikunjungi selalu ada harapan. Demikianlah, suatu saat kita akan kedatangan tamu, baik diundang maupun tidak. Bahkan pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangat gencar.

Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati tamu. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus untuk menyambutnya, akan tetapi, juga dengan perbuatan yang menyenangkan. Misalnya dengan memberikan jamuan, meski hanya sekedarnya.

Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu, juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala dan balasan dari Allah pada hari Kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya” [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti dikutip oleh Ibnu Katsîr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan dhiyaafah (jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Hal ini berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsîr, 7/420].

Saking besarnya hak tamu, ada tarhîb bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya. kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يُضِيْفُ

“Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu”. [HR Ahmad. Lihat ash-Shahîhah, no. 2434].

MENJAMU TAMU, MERUPAKAN SUNNAH NABI IBRAHIM

Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad n diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrâhiim Khalîlur Rahmân Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

كان أول من ضيف الضيف ابراهيم

“Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrâhîm. [Lihat ash-Shahîhah, 725].

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyâfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrâhîm yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah ini (surat adz-Dzâriyât, Pen.) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau”. [1]

Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, dititahkan untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif,” dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. [an-Nahl/16:123].

BAGAIMANA NABI IBRAAHIIM ALAIHISSALAM MENJAMU TAMU?

Berikut ini, pemaparan singkat yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan: “Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu”, dan mari kita perhatikan satu-persatu.

1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.

2. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: “Apakah kalian mau hidangan dari kami?”

3. Nabi Ibrâhîm Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu.
Dikatakan oleh Syaikh as-Sa’di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrâhîm Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.

4. Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi Ibrâhîm Alaihissallam kepada tamu-tamunya.

5. Menyediakan stok bahan di dalam rumah, sehingga beliau Alaihissallam tidak perlu membeli di pasar atau di tetangga.

6. Nabi Ibrâhîm Alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan memanggil, -misalnya- “kemarilah, wahai para tamu”. Cara ini untuk lebih meringankan para tamu.

7. Nabi Ibrâhîm Alaihissallam melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk perbuatan yang tidak etis.

8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrâhîm Alaihissallam menawarkannya dengan lembut: “Sudikah kalian menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?” Beliau Alaihissalam tidak menggunakan nada perintah, seperti: “Ayo, makan”. Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.

Intinya, tuan rumah seharusnya memuliakan tamu, yaitu dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi Ibrâhîm Alaihissalam dengan sifat mukramûn (memperoleh kemuliaan).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ فَرَاغَ إِلَىٰ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrâhîm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaman,” Ibrâhîm menjawab: “Salamun” (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrâhîm berkata: “Silahkan kamu makan”. [adz-Dzâriyât/51:24-27].

Demikianlah yang diajarkan oleh Nabiyyullah Ibrâhîm Alaihissalam kepada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Alaihissalam pantas menjadi teladan bagi umat manusia. Allah memuji dalam firman-Nya:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ ۚ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar ternasuk orang-orang yang shalih”. [an-Nahl/16:120-122]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrâhîm Alaihissalam :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanif,” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. [an-Nahl/16:123].

TIDAK MEMAKSAKAN DIRI DALAM MEMBERI JAMUAN KEPADA TAMU

Menjadi tuan rumah, memang seharusnya memberikan istimewa pelayanan kepada tamunya. Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak sepantasnya dilakukan di luar batas kemampuannya. Sehingga sebagai tuan rumah tidak merasa berat atau memaksakan diri. Hingga mengusahakan ragam hidangan yang mungkin saja anggota keluarga belum pernah menikmatinya. Atau menikmatinya hanya saat momen-momen tertentu saja dan tidak sering.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang melakukan perbuatan yang dapat merepotkan diri sendiri. Melalui pemberitaan dari salah seorang sahabat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang takalluf dalam masalah ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَيَتَكّلَّفَنَّ أَحَدٌ لِضَيْفِهِ مَا لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ

“Janganlah seseorang memaksakan diri (untuk melayani) tamunya dengan sesuatu yang tidak ia sanggupi”. [Riwayat Abu Nu’aim, al Khathiib dan ad-Dailami. Lihat juga ash-Shahîhah, no. 2440)]

Pengertian takalluf sederhananya mengandung unsur pemaksaan diri dan pengusahaan di luar batas kemampuan.

Imam al-Hâkim meriwayatkan dari A’masy dari Syaqîq, ia berkata: Saya dan temanku mendatangi Salmân Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada kami sembari berkata :

لَولاَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ التَّكَلُّفِ لََتَكّلْتُ لَكُمْ

“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya”.

Dikatakan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ نُهِينَا عَنْ التَّكَلُّفِ

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami pernah bersama ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri”. [HR al-Bukhâri, no. 6749].[3]

AWAS KEDUSTAAN DALAM PENYAMBUTAN!

Dalam point ini, perlu kiranya disampaikan sebuah tanbîh (catatan) bagi para tuan rumah yang sedang menjamu tamu-tamunya. Terutama kaum ibu. Karena terkadang, muncul gejala kedustaan saat menjamu tamu.

Misalnya, manakala tamu menyaksikan berbagai menu dan makanan tersaji di meja, kemudian sang tamu berkomentar –misalnya- “wah repot amat nih,” maka tuan rumah meresponnya dengan berkata: “wah tak repot,” padahal, tuan rumah benar-benar mengalami kerepotan dalam mempersiapkan sajian tersebut, bahkan sampai harus pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan, kalang-kabut dalam mempersiapkannya, dan lain-lain.

Atau ketika menyaksikan tamu bergegas mohon pamit padahal belum lama duduk, tuan rumah (ada yang) berkata: “Wah, belum dibuatkan minuman, kok sudah mau pulang?” Perkataan atau ungkapan sejenis ini, jika hanya sebatas buah bibir saja, maka perkataan tersebut sudah termasuk dalam kategori berbuat dusta.

Memang betul, tidak semua tuan rumah melakukan sebagaimana perbuatan ini. Namun, lantaran berkembangnya gejala basa-basi di sebagian daerah, permasalahan ini perlu untuk diperhatikan. Wallahu a’lam. (Abu Minhal)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. At-Taisîr, 889.
[2]. Dinukil dari Tafsîr Ibnu Katsîr (7/421), dan lihat juga Tafsîr as-Sa’di, hlm. 889-890.
[3]. Ash Shahîhah 5/570 pada pembahasan an nahyu ‘an at-takalluf lidh-dhaif (larangan berbuat memaksakan diri untuk tamu).