mascipoldotcom – Rabu, 11 Mei 2022 (12 Syawal 1443 H)
MEDAN – Penyidik Direkorat (Dit) Reskrimsus Polda Sumut telah menyerahkan tersangka dokter berinisial G yang memberikan suntik vaksin kosong ke JPU Kejari Medan.
Penyerahan tersangka dokter Ke JPU itu dibenarkan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi, Rabu (11/5).
“Berkasnya sudah tahap II dan dinyatakan lengkap sehingga penyidik Dit Reskrimsus Polda Sumut menyerahkan dokter inisial G yang ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pemberian suntik vaksin kosong ke JPU,” katanya.
Penyerahan terhadap tersangka G oleh Penyidik Polda Sumut diterima Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Sumut Febrina Sebayang dan Rahmi Syafrina di Ruang Tahap II Bidang Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri Medan.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) MedanTeuku Rahmatsyah melalui Kasi Intelijen Simon, mengatakan penyerahan tahap II dari penyidik Polda Sumut sudah selesai dilakukan.
“Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum sedang menyiapkan dakwaannya agar dapat segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Medan. Namun, tersangka tidak dilakukan penahanan,” ungkapnya.
Diketahui, pemberian suntik vaksin kosong dilakukan oknum dokter berinisial G saat menjadi vaksinator pada kegiatan vaksinasi anak berusia 6-11 tahun di SD Wahidin, Senin 17 Januari 2022 lalu.
Saat pelaksanaan vaksinasi berlangsung, orang tua murid tersebut memvideokan anaknya sedang menjalani vaksinasi.
Setelah dilihat videonya, diduga vaksin diberikan kepada anaknya kosong. Kemudian orang tua anak memberitahu tahu kepada anggota keluarga lainnya dan video itu pun viral di media sosial.
Atas perbuatannya, tersangka disangkakan melanggar Pasal 14 ayat 1 dan atau Pasal 14 ayat 2 UU RI nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.(Leodepari)
__________________
Renungan
ADAKAH DALIL BERJALAN MENGISI SHAF YANG KOSONG?
Pertanyaan
Mohon penjelasan tentang dalil yang mengisyaratkan bahwa ketika kita sedang berdiri shalat berjamaah lalu ada shaf depan kita yang kosong karena ditinggal oleh orangnya karena batal, kemudian kita yang berada di shaf belakangnya boleh maju untuk mengisi shaf yang kosong itu? Kalau ada di buku, buku apa? Jazâkumullâhu khairun (Abu Jannah PMLNG)
Jawaban.
Pada asalnya barisan shaf shalat harus sempurna, rapat dan lurus sehingga tidak memulai dengan shaf kedua sebelum shaf pertama penuh demikian juga shaf-shaf berikutnya. Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu pernah berkata:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا . فَقُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا ؟ قَالَ : يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ ، وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan bersabda, ‘Hendaknya kalian berbaris seperti berbarisnya para Malaikat di sisi Rabb mereka! lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Bagaimana para Malaikat berbaris di sisi Rabb mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Mereka menyempurnakan shaf-shaf (barisan) pertama, rapat serta lurus dalam barisannya. [HR. Muslim, no. 430]
Ketika menjelaskan hadits ini, imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini berisi perintah menyempurnakan shaf-shaf (barisan-barisan) bagian depan, lurus dan rapat dalam barisan. Pengertian menyempurnakan barisan terdepan adalah menyempurnakan shaf barisan pertama dan tidak memulai barisan kedua sampai sempurna barisan yang pertama dan tidak memulai barisan ketiga sampai sempurna barisan kedua serta tidak juga pada barisan keempat hingga barisan yang ketiga penuh. Demikianlah terus hingga barisan terakhir. [Syarah Shahîh Muslim, 4/115]
Demikian juga Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sempurnakanlah barisan terdepan kemudian yang berikutnya. hendaknya yang kurang adanya di barisan terakhir. [HR Abu Dawûd no. 671. Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dawûd].
Demikian juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ الصُّفُوْفَ وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً
Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya selalu mendoakan orang-orang yang menyambung shaf-shaf dalam shalat. Siapa saja yang mengisi bagian shaf yang lowong, akan diangkat derajatnya oleh Allâh satu tingkat [HR. Ibnu Mâjah no. 995; dishahihkan al-Albâni rahimahullah].
Terkadang barisan terdepan kosong ditinggal makmum yang batal wudhunya atau ada udzur lainnya, sehingga makmum yang lainnya perlu bergerak maju atau geser kekiri atau kekanan untuk mengisi kekosongan tersebut. Seorang makmum, hendaknya maju mengisi shaf yang lowong atau kosong yang ada di depannya (yang mungkin disebabkan makmum yang ada di shaf di depannya batal meninggalkan shaff) ketika shalat berjama’ah sedang berlangsung. Ini berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d as-Sâ’idy Radhiyallahu anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلاَةُ، فَجَاءَ المُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: أَتُصَلِّي لِلنَّاسِ فَأُقِيمَ؟ قَالَ: نَعَمْ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاَةِ، فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لاَ يَلْتَفِتُ فِي صَلاَتِهِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ التَفَتَ، فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ»، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَدَيْهِ، فَحَمِدَ اللَّهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّى، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ، مَنْ رَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلاَتِهِ، فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ التُفِتَ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ»
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi ke Bani ‘Amru bin ‘Auf untuk mendamaikan mereka, kemudian waktu shalat tiba. Muadzin datang menemui Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan berkata, “Maukah engkau shalat bersama masyarakat (dan menjadi imam) ? Akan aku kumandangkan iqamat sekarang.” Abu Bakr Radhiyallahu anhu menjawab, “Ya.” Lalu Abu Bakr Radhiyallahu anhu shalat (dan menjadi imam bagi mereka). Datanglah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika manusia sedang menunaikan shalatnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerobos sampai masuk ke shaf makmum. Para makmum pun bertepuk tangan memberi isyarat, namun Abu Bakr Radhiyallahu anhu tidak menoleh sedikitpun dalam shalatnya. Ketika semakin banyak makmum yang bertepuk tangan, Abu Bakr Radhiyallahu anhu akhirnya menoleh dan melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat kepadanya agar tetap diam di tempatnya (menjadi imam shalat).
Abu Bakr Radhiyallahu anhu mengangkat kedua tangannya, bertahmîd kepada Allâh Azza wa Jalla atas perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada dirinya tersebut. Namun ia tetap mundur dan masuk ke dalam shaf makmum (yang ada di belakangnya). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun maju menjadi imam. Ketika selesai, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Wahai Abu Bakr, apa yang menghalangimu untuk tetap berada di tempatmu sebagaimana aku perintahkan ?” Abu Bakr menjawab, ”Tidaklah pantas bagi seorang anak Abu Quhafah shalat di depan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Al-Bukhâri, no. 652 dan Muslim no. 421]
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang imam atau makmum boleh bergerak untuk maju atau mundur dari shaf karena satu sebab atau keperluan dalam shalat, selama tidak berjalan jauh yang bisa menyebabkan dia hukumi keluar dari shalat. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Para Ulama ahli fikih telah sepakat bahwa berjalan yang banyak (jauh) dalam shalat wajib menyebabkan shalatnya batal. [Fathul Bâri, 3/83].
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]