mascipoldotcom – Kamis, 5 Mei 2022 (6 Syawal 1443 H)
Penajam – Usai berlebaran, masyarakat Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) memiliki tradisi tersendiri, biasanya usai berisilaturahmi dengan sanak saudara mereka menghabiskan waktu libur lebaran dengan berwisata bersama seluruh keluarga dan kerabat serta teman ke berbagai obyek wisata di Kabupaten PPU. Kamis (05/5/2022)
Beberapa obyek wisata yang menjadi sasaran di Kabupaten PPU diantaranya di obyek Wisata Pantai Amal, Pantai Nipah-Nipah serta pantai Tanjung Jumlai yang selalu menjadi destinasi primadona bagi masyarakat lokal maupun luar daerah untuk menghabiskan masa liburannya.
Babinsa Koramil 0913-01/ Penajam Kodim 0913/PPU Serda Heri Selaku Babinsa Kelurahan Tanjung Tengah melaksanakan pengamanan Pantai Wisata Tanjung Jumlai yang terletak di Kelurahan Tanjung Tengah, Kecamatan Penajam Kabupaten PPU.
Babinsa mengatakan, wilayah binaannya memiliki wisata pantai yang begitu indah untuk dinikmati pada saat libur lebaran bersama keluarga dan selain memantau keamanan, ketertiban serta kepatuhan prokes terhadap para pengunjung juga mengawasi pengunjung yang sedang bermain di laut.
Menurut dia, pentingnya mengimbau untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan terjadi terutama bagi pengunjung pantai saat mandi di lokasi tersebut. Seperti kejadian beberapa waktu lalu yang mengakibatkan salah seorang pengunjung hanyut terbawa arus air laut saat mandi.
“Ini kita lakukan supaya para pengunjung lebih waspada saat akan mandi di laut, karena hal itu sangat penting, sehingga kejadian seperti dahulu tidak terulang kembali,” pungkas Babinsa Herry.
Kegiatan pemantauan dan pengamanan di Pantai Wisata Pantai Tanjung Jumlai Kecamatan Penajam tersebut sebagai wujud kepeduliann Babinsa untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat yang akan menikmati wisatanya. Sumber Dim 0913/PPU/Murdiyanto
______
Renungan
لاَ ثَوَابَ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ
Tidak ada pahala kecuali dengan niat
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan tentang urgensi niat bagi seorang hamba. Karena pahala di akhirat dan balasan yang baik dari amalan yang dilakukan seorang hamba tidak akan diperoleh kecuali diiringi niat baik dalam rangka bertaqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla . Sehingga hanya orang yang melaksanakan ibadah dengan niat ikhlas yang akan meraih pahala. Adapun yang beramal karena ingin memperoleh keuntungan dunia, maka ia tidak akan meraih pahala dari-Nya.
Kaidah ini menjelaskan perbedaan antara amalan yang dilakukan dengan niat yang baik dan amalan yang dilakukan dengan niat yang buruk. Meskipun secara lahiriah kedua amalan tersebut sama namun hakikatnya memiliki perbedaan yang jauh ditinjau dari sisi hasilnya.
DALIL YANG MENDASARINYA
Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan eksistensi dan kandungan kaidah ini. Di antaranya adalah hadits Mu’adz bin Jabal riwayat Abu Dawud, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اْلغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنِ ابْتَغَى وَجْهَ اللهِ وَ أَطَاعَ اْلإِمَامَ وَ أَنْفَقَ اْلكَرِيْمَةَ وَ يَاسَرَ الشَّرِيْكَ وَ اجْتَنَبَ اْلفَسَادَ فَإِنَّ نَوْمَهُ وَ نَبْهَهُ أَجْرٌ كُلُّهُ وَ أَمَّا مَنْ غَزَا فَخْرًا وَ رِيَاءًا وَ سُمْعَةً وَ عَصىَ اْلإِمَامَ وَ أَفْسَدَ فىِ اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ لَمْ يَرْجِعْ بِاْلكَفَافِ
Berperang itu ada dua macam. Adapun orang yang berperang karena mencari ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menaati imam, menginfakkan harta berharganya, memberi kemudahan kepada kawannya, dan menjauhi kerusakan, maka seluruh tidur dan terjaganya terhitung pahala. Adapun orang yang berperang karena kebanggaan, riya’ dan sum’ah, menentang pemimpin, dan membuat kerusakan di muka bumi, maka ia tidak akan kembali dengan membawa balasan.”[1]
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada pahala kecuali disertai niat yang baik.
Demikian pula disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam riwayat al-Bukhâri, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَانًا بِاللَّهِ وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa memelihara seekor kuda untuk fii sabilillah karena keimanan kepada Allâh dan membenarkan janji-Nya, maka sesungguhnya makan dan minumnya kuda itu, kotoran dan kencingnya, akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat.[2]
Hadits di atas termasuk dalil paling jelas yang menunjukkan eksistensi kaidah ini.
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Kaidah yang mulia ini mempunyai banyak contoh implementatif, baik berkaitan dengan aspek ibadah maupun mu’amalah. Berikut ini beberapa di antaran contohnya :
Telah dimaklumi bahwa menaati penguasa dalam perkara ma’ruf termasuk kewajiban syar’i, namun seseorang yang menaati penguasa sekedar untuk mendapatkan keuntungan dunia, meraih jabatan atau mempertahankannya, tanpa terbesit dalam hatinya niat beribadah dan taqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla maka tidak ada pahala baginya dalam ketaatannya itu.
Bahkan bisa jadi perbuatannya itu akan menjadi musibah baginya di dunia dan akhirat. Adapun seseorang yang taat kepada penguasa karena Allâh yang telah memerintahkan, sehingga ia melakukannya karena melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla , juga perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang seperti inilah yang akan mendapatkan pahala dari-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah z dalam riwayat al-Bukhâri, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ كَانَ لَهُ فَضْلُ مَاءٍ بِالطََّرِيْقِ ، فَمَنَعَهُ مِنِ ابْنِ السَّبِيلِ، وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلاَّ لِدُنْيَا، فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ، وَرَجُلٌ أَقَامَ سِلْعَتَهُ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَالَ وَاللهِ الََّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ لَقَدْ أَعْطَيْتُ بِهَا كَذَا وَكَذَا، فَصَدَّقَهُ رَجُلٌ، ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (( إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيْلاً )).
Tiga golongan manusia yang kelak pada hari kiamat, Allâh tidak akan sudi memandang, tidak menyucikan mereka, dan disediakan bagi mereka siksaan yang pedih, yaitu Orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan, akan tetapi ia enggan untuk memberikannya kepada ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan); Orang yang berbai’at kepada seorang pemimpin akan tetapi ia tidaklah berbai’at kecuali karena ingin mendapatkan keuntungan dunia, yaitu bila sang pemimpin memberinya harta, maka ia ridha dan bila sang pemimpin tidak memberinya harta, maka ia benci;
Orang yang menawarkan dagangannya seusai shalat Ashar, dan pada penawarannya ia berkata, “Sungguh, demi Allâh yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya, aku telah mendapatkan penawaran demikian dan demikian. Sehingga ada konsumen yang mempercayainya. Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allâh dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit.”[3]
Menulis kitab yang bermanfaat sesungguhnya termasuk kategori amal shalih, namun seorang penulis tidak akan memperoleh pahala kecuali jika niatnya niat yang baik. Apabila niatnya saat menulis sekedar untuk berbangga-bangga, sum’ah, atau untuk mencari perhatian manusia, atau mencari keuntungan dunia semata, maka ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun.
Tidak diragukan bahwa mengajak kepada perkara ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar termasuk ibadah. Akan tetapi pahala amalan tersebut tergantung dengan ada tidaknya niat yang baik. Seseorang yang mengerjakannya dengan maksud untuk memperoleh pujian manusia dan sanjungan semata, atau sekedar karena tuntutan pekerjaan yang harus ia kerjakan, maka tidak ada pahala baginya karena tidak ada pahala kecuali dengan niat yang shalih.
Sesungguhnya niat dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla semata merupakan salah satu di antara syarat sah sholat. Oleh karena itu, jika seorang hamba melaksanakan shalat dengan niatan riya’, sum’ah, atau sekedar untuk mendapatkan keuntungan dunia maka shalatnya tidaklah diterima, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيَ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya.[4]
Melunasi hutang dan penunaian hak-hak sesama hamba yang lainnya, apabila diiringi niat yang baik maka akan mendatangkan pahala bagi pelakunya. Namun jika dilakukan tanpa niatan tersebut, atau melakukannya karena terpaksa, maka ia tidak berhak mendapatkan pahala. Ini tidak berarti bahwa pembayaran hutang tersebut tidak sah, karena penunaian hak-hak semacam itu tidak dipersyaratkan niat untuk keabsahannya, namun pembahasan di sini berkaitan dengan berpahala atau tidak. Jika ia meniatkan kebaikan dalam rangka melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla maka ia akan mendapatkan pahala dan jika tidak maka tidak ada pahala baginya.
Setiap amalan yang disertai riya’ sedangkan pelakunya tidak berusaha menolaknya, bahkan ia membiarkan dan ridha dengannya maka itu adalah amalan yang bathil dan tidak ada pahala di dalamnya. Sebagaimana seseorang yang melakukan shalat sekedar supaya terhindar dari hukuman penguasa, atau seseorang yang membayar zakat supaya tidak terkena hukuman dari pemerintah maka tidaklah ada pahala bagi pelakunya, karena amalan tersebut kosong dari niat peribadahan dan taqarrub kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.[5]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. ]
_______
Footnote
[1] HR. Abu Dawud no. 2515. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, no. 1990.
[2] HR. al-Bukhari no. 2853, an-Nasa’i no. 3582, Ahmad 2/374.
[3] HR. al-Bukhari no. 2358 .
[4] HR. Muslim no. 2985.
[5] Diangkat dari Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ketiga.