mascipoldotcom – Rabu, 13 April 2022 (11 Ramadhan 1443 H)
Jakarta – Polisi menangkap dua orang berinisial BA (23) dan NS (29) terduga pelaku perampasan telepon selular di wilayah Kebon Jeruk, pada Sabtu (26/3/2022) lalu.
Saat itu aksi keduanya terekam kamera pengawas atau CCTV. Berdasarkan hasil rekaman dan pengakuan saksi, pelaku menggunakan senjata api (senpi).
Wakasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat, Kompol Niko Purba didampingi Kanit Krimum AKP Avrilendy mengatakan, senjata yang digunakan oleh para tersangka ini ternyata palsu alias senjata mainan.
Kompol Niko mengatakan, senjata yang digunakan para tersangka ini adalah mainan keponakannya sendiri.
“Jadi fakta yang kita dapat, senjata mainan yang memang ditodongkan kepada korban. Jadi senpi mainan ini adalah mainan ponakan, yang dia pinjam dari ponakannya,” kata Kompol Niko, di Gedung Mapolres Jakarta Barat, Selasa (12/4/2022).
Kompol Niko menyampaikan, para tersangka nekat melakukan aksi kejahatan dengan properti pistol karena terinspirasi dari film-film action.
Tim di bawah pimpinan Kanit Krimum AKP Avrilendy dan Kasubnit Jatanras Ipda M Rizky Ali Akbar berhasil mengamankan pelaku.
Dari tangan pelaku berhasil mengamankan barang bukti berupa, sepucuk senjata api mainan, sepeda motor serta pakaian dan helm yang dikenakan oleh tersangka saat beraksi.
“BB yang kita amankan antara lain 1 unit sepeda motor yang mmg digunakan pelaku saat beraksi, berikut juga sweater mereka berdua, termasuk helm yang digunakan, terus senjata api mainan,” papar Kompol Niko.
Kedua pelaku ini ternyata telah berulang kali melakukan aksi perampasan telepon selular di berbagai wilayah di Jakarta Barat, namun baru kali pertama menggunakan senpi mainan sebagai properti.
Guna mempertanggungjawabkan perbuatannya, kedua pelaku ini terancam pasal 365 ayat 2 tentang pencurian kekerasan dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. (Muhairo)
____
Renungan
CARA MENASEHATI ORANG YANG TERANG-TERANGAN MELAKUKAN KEMAKSIATAN
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sepucuk surat berasal dari Kuwait, dikirim oleh seseorang yang mengeluhkan saudaranya, ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati, tapi malah semakin terang-terangan. Pengirim surat mengharap bimbingan mengenai masalah ini.
Jawaban
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” [Al-Ma’idah : 2]
Dan ayat,
وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [Al-‘Ashr : l-3]
Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.
“Agama adalah nasehat.” Ditanyakan kepada beliau, “Kepada siapa ya Rasulullah?” beliau jawab, “Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya.”[1]
Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran.
Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkaran sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” [At-Taubah : 71]
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.”[2]
Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatan, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya.
Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut, untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat.
Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya.
Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat.
Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 5, hal. 343-344, Syaikh ibnu Baz)
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (55). Al-Bukhari mengomentarinya pada kitab Al-Iman.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (49).