mascipoldotcom – Senin, 11 April 2022 (9 Ramadhan 1443 H)
Jakarta – Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran dan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Untung Budiharto memastikan situasi DKI Jakarta paska aksi unjuk rasa Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di depan gedung DPR/MPR RI aman terkendali.
“Terima kasih kepada adik-adik elemen mahasiswa dari BEM SI yang tadi melaksanakan unjuk rasa dengan penuh kedamaian dan sangat tertib,” kata Fadil dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (11/4/2022).
Kapolda mengatakan, perwakilan BEM SI sudah diterima oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco, bersama Lodwik Paulus, dan Rahmat Gobel yang didampingi oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
“Aspirasi dari mahasiswa sudah diterima langsung oleh beliau dan sudah dijelaskan juga bahwa DPR mendukung penuh apa yang menjadi kebijakan pemerintah yang telah disampaikan oleh Bapak Presiden pada hari minggu bahwa tidak ada penundaan dan perpanjangan,” ungkap Fadil.
“Besok Komisiuner KPU akan dilantik, dan mekanisme Pemilu 2024 segera di mulai,” jelasnya.
Menurutnya, setelah diterima perwakilan mahasiswa ada sekelompok masa yang diduga melakukan pengeroyokan dan penganiayaan terhadap pengiat sosial media Ade Armando.
Pihaknya juga mengaku telah mengidentifikasi para pelaku yang melakukan penganiayaan terhadap Dosen universitas Indonesia itu.
“Yang bersangkutan (Armando) dipukuli, diinjak, terluka di kepala, sehingga kami melakukan tindakan-tindakan terukur untuk menyelamatkan nyawa yang bersangkutan,” kata Fadil.
“Pada saat anggota kami melakukan evakuasi massa mahasiswa bertambah beringas menyerang anggota sehingga 6 anggota kami yang melakukan evakuasi terluka,” jelasnya.
“Saya bersama Pangdam Jaya dan pasukan dari Polda Metro Jaya turun langsung untuk memulihkan situasi ini menghimbau masyarakat dan mahasiswa untuk segera kembali ke rumah tidak memblokir jalan tol,” paparnya.
Setelah kericuhan dan bentrokan kecil, Kapolda mengklaim situasi di depan gedung DPR/MPR RI dan sekitar patung kuda Jakarta Pusat aman kondusif.
“Alhamdulillah tadi pukul 17.00 wib situasi di depan DPR keadaan lalu lintas bisa berjalan dengan lancar, dan untuk lokasi di depan istana di seputar patung kuda berjalan dengan sangat kondusif aman tidak ada insiden yang berarti,” katanya.
Pangdam Jaya, Mayjen TNI Untung Budiharto menambahkan, hingga saat ini kondisi Ibukota Jakarta dalam keadaan aman dan kondusif.
Pangdam juga meminta aksi unjuk rasa kali ini untuk terakhir kalinya dan jangan sampai ada yang memperalat para mahasiswa.
“Saat ini Ibukota Jakarta dalam keadaan aman dan kondusif, saya berharap unjuk rasa kali ini yang terakhir, karena kita ketahui bahwa di dalam kedamaian itu juga ada orang yang ingin memperalat para mahasiswa yang berniat baik untuk menyampaikan aspirasi aspirasi nya,” ujarnya.
“Aspirasi juga diterima saya kira respon pemerintah juga untuk melaksanakan keinginan para mahasiswa unjuk rasa sehingga bulan suci yang saat ini kita lalui bisa dilaksanakan dengan baik jangan sampe ada pertumpahan darah,” kata Mayjen TNI Untung.
“Kita lihat dan sangat prihatin 6 orang aparat keamanan dari Kepolisian harus berdarah karena kegiatan ini,” jelas Mayjen TNI Untung.
Untuk itu, Pangdam meminta kepada seluruh mahasiswa dan masyarakat untuk sama-sama menjaga bulan suci Ramadhan dengan sebaik-baiknya.
“Saya menghimbau agar unjuk rasa cukup kali ini saja dilaksanakan pada bulan Ramadhan ini. terima kasih,” pungkas Mayjen TNI Untung. (Bid Humas Polda Metro Jaya/Muhairo)
_____________
Renungan
AHLUS SUNNAH MENASIHATI PEMERINTAH DENGAN CARA YANG BAIK, TIDAK MENGADAKAN PROVOKASI DAN PENGHASUTAN
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak mengadakan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi baik dari atas mimbar, tempat khusus atau pun umum dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Salafush Shalih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.”[1]
Jika sudah ada dalil yang shahih, maka wajib bagi seorang Muslim untuk taat kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hujjah itu terdapat pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dan tidak boleh menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beralasan kepada perkataan ulama atau perbuatan satu kaum atau siapa saja.[2]
Ahlus Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara mengingkari kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.
Menjelek-jelekkan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya di hadapan umum atau melalui media lainnya dan mengadakan provokasi, hal tersebut bukan cara yang benar. Bahkan cara ini menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdosa karena menyalahi Sunnah, menimbulkan kerusakan dan bahaya yang lebih besar serta tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allah pada hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di akhirat, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan dia pada hari Kiamat.”[3]
Imam Ibnu ‘Ashim dalam kitabnya, As-Sunnah, memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan penguasa dan melarang keras untuk menghinakannya.”[4]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar terhadap kezhaliman penguasa. Dan dengan kesabaran itu Allah akan berikan ganjaran yang besar.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا, فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
“Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar terhadapnya. Sebab, tidaklah seorang manusia keluar dari penguasa lalu ia mati di atasnya, melainkan ia mati dengan kematian Jahiliyyah.”[5]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa mentaati pemimpin secara ma’ruf merupakan salah satu dasar utama ‘aqidah. Dari sini para imam Salaf memasukkannya dalam kategori ‘aqidah. Jarang sekali kitab ‘aqidah melainkan (pasti) menyebutkan dan menjelaskannya. Ketaatan ini termasuk kewajiban syar’i atas setiap muslim; karena ini merupakan perkara asasi untuk mewujudkan ketertiban dalam negeri Islam.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.
[2] Lihat kaidah ke-5 pada bab Kaidah dalam Mengambil Dalil dalam Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
[3] HR. Ahmad (V/42, 48-49), dari Abi Bakrah, Nufai’ bin al-Harits Radhiyallahu anhuma. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/375-376).
[4] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim
[5] HR. Muslim (no. 1849 (56))