mascipoldotcom – Rabu, 6 April 2022 (4 Ramadhan 1443 H)
Medan – Penyidik Direktorat Reskrimum Polda Sumut akhirnya menetapkan Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-angin sebagai tersangka dalam kasus tewasnya penghuni kerangkeng milik dia.
Kapolda Sumut Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak mengatakan, penetapan tersangka ini setelah tim penyidik melakukan penyelidikan hingga penyidikan dalam kasus ini. “Setelah menetapkan delapan tersangka, tim kemudian koordinasi dengan Komnas HAM termasuk LPSK,” kata Panca didampingi Waka Polda Sumut Brigjen Pol Dadang Dr. Hartanto, Selasa (5/4/2022) sore.
Setelah mengumpulkan bukti-bukti dan fakta-fakta serta berkoordinasi dengan Komnas HAM dan LPSK, kemudian tim melakukan gelar Perkara dalam kasus ini. “Hari ini tim penyidik telah melakukan gelar perkara dan menetapkan TRP (Terbit Rencana Perangin-angin) sebagai orang atau pihak yang memiliki tempat dan bertanggungjawab terhadap tempat itu dan ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.
Lanjut Panca, penyidik mempersangkakan TRP melanggar Pasal 2, Pasal 7 Pasal 10 UU nomor 21 Tahun 2007 tentang tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
“Hasil gelar perkara terhadap TRP ditetapkan sebagai tersangka dijerat psl 2 ayat 1 dan 2, psl 7 ayat 1 jo psl 10 UU RI No. 21 th 2007 ttg Pemberabtasan TPPO dan atau pasal 333 ayat 1, 2, 3 dan 4 dan atau pasal 170 ayat 1, 2, 3 dan 4, dan atau psl 351 ayat 1, 2, 3 dan atau psl 353 ayat 1, 2, 3 jo psl 55 ayat 1 ke 1 dan ke 2, mengakibatkan korban meninggal dunia. Semuanya diterapkan khususnya kepada TRP,” ungkap Panca
Kapolda mengatakan penyidik bekerja secara profesional dalam menangani kasus ini.
“Penyidikan masih terus berproses melengkapi semua alat bukti yang ada. Dalam waktu dekat kita akan tuntaskan perkara ini,” kata Kapolda
Sebelumnya, penyidik Polda Sumut telah menetapkan delapan tersangka kasus tewasnya penghuni kerangkeng milik Bupati Langkat non laktif Terbit Rencana Perangin-angin.(Leodepari)
____
Renungan
AKHIR TRAGIS SANG PENGUASA TIRAN
Penguasa yang ingkar kepada Allâh, lagi menyandang gelar sebagai seorang tiran dalam memerintah, maka cepat atau lambat, kebinasaan akan menghantamnya. Hal ini bisa kita baca dari lembaran hidup para penguasa tiran sepanjang sejarah manusia.
Juga secara umum bisa kita perhatikan dari sejarah umat terdahulu, terutama yang telah diangkat dalam al-Quranul Karim. Mengingat itu semua merupakan khazanah dinamika kehidupan manusia yang sangat berharga.
Sehingga kita bisa memetik pelajaran dan hikmah dengan bercermin dari kehidupan mereka, guna menghadapi berbagai problematika yang senantiasa terjadi di setiap waktu dan di setiap tempat.
Dan kali ini kita berkaca dari manusia paling tiran dan paling ingkar dalam panggung sejarah, yaitu Fir’aun. Fir’aun di sini adalah Fir’aun Sang Penguasa Mesir yang menentang dakwah Nabi Musa Alaihissallam.
Dan tatkala penguasa ingkar, maka banyak pula yang menjadi pengikut dan pengiringnya; yang mensukseskan laju hidupnya yang bejat.
Demikianlah yang terjadi pada penduduk Mesir ; kaum Qibthi yang merupakan rakyat Fir’aun.
Keingkaran dan kepongahan kaum Qibthi semakin menjadi-jadi. Mereka mengikuti pola raja mereka; yaitu Fir’aun ; sekaligus sebagai bentuk penentangan terhadap Nabi Allâh Musa Bin Imran al-Kalim.
Allâh telah menurunkan hujjah yang begitu memukau dan juga berbagai mukjizat yang membuat akal menjadi terpana. Namun demikian, mereka tak bergeming dari pengingkaran mereka.
MEREKA YANG BERIMAN KEPADA MUSA ALAIHISSALLAM
Kaum Qibthi Mesir kala itu memang telah terkontaminasi oleh virus Fir’aun. Meski jelas-jelas telah nyata keingkaran Fir’aun dan kebejatannya, namun mereka tetap saja tidak mau menerima kebenaran.
Mereka tetap saja dalam keingkaran mereka, tak hendak menerima seruan kebenaran yang digaungkan oleh Musa Alaihissallam .
Sehingga tak ada yang mengimani Musa dari kalangan kaum Qibthi kecuali sedikit saja.
Ada yang mengatakan mereka yang mengimani Musa hanyalah tiga orang saja; yaitu istri Fir’aun, seorang Mukmin dari keluarga Fir’aun, sedangkan yang ketiga adalah lelaki yang datang tergopoh-gopoh dari pelosok kota untuk memberi nasihat kepada Musa; di mana ia berkata:
“Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” [Al-Qashash / 28: 20].
Ada pula yang mengatakan, bahwa ada sekelompok bangsa Qibthi dari bangsa Firaun yang beriman kepada Musa; juga seluruh ahli sihir, di samping juga semua kaum Bani Israil.
Pendapat ini didukung oleh firman Allâh Azza wa Jalla berikut menurut penafsiran sebagian kalangan:
فَمَا آمَنَ لِمُوسَىٰ إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَىٰ خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ ۚ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (ada yang menafsirkan kaum Musa, ada pula yang menafsirkan dengan kaum Fir’aun) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka.
Sesungguhnya Fir’aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas. [Yûnus/10:83]
Berkenaan dengan firman Allâh ‘melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya‘; kata ganti (dhamîr) dalam kata min qaumihi (dari kaumnya) kembali pada Fir’aun. Sebab rangkaian kalam tersebut menunjukkan akan hal tersebut.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada Musa, karena kata Musa lah yang paling dekat dengan dhamir tersebut.
Namun yang lebih kuat adalah pendapat pertama. Karena semua bani Israil beriman kepada Musa. Demikian yang dipaparkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Dalam ayat tersebut, terkandung hikmah mengapa tidak ada yang beriman kepada Musa selain para pemuda dari kaumnya? Itu tidak lain karena mereka; para pemuda, itu lebih mudah untuk menerima kebenaran dan lebih cepat untuk tunduk kepadanya.
Sedangkan kaum tetua dan yang semisal, yang terpola dengan didikan kekufuran, maka dikarenakan keyakinan-keyakinan busuk telah lama menggerogoti hati mereka, maka jadilah mereka lebih jauh dari kebenaran dibanding lainnya.
Mereka yang mengimani Musa pun tak mampu menampakkan gurat-gurat keimanan mereka. Mereka beriman secara sembunyi-sembunyi, karena takut akan kebrutalan dan kekejaman Fir’aun, juga khawatir bila para pemuka kaum Fir’aun mengadukan perkara mereka sehingga Fir’aun pun bisa menyiksa mereka.
Mengingat, Fir’aun merupakan sosok angkuh yang lalim lagi bengis, sekaligus sosok yang berlaku melampaui batas dalam segala hal.
Memang ada beberapa kriteria dan perilaku yang melekat pada diri Firaun, yang itu pun juga didapatkan pada sosok-sosok yang semisal dengannya.
Di antaranya ia adalah seorang yang angkuh dan pongah. Sampai-sampai ia pun mendakwa diri sebagai tuhan.
Dia juga mengeksploitasi bangsa Bani Israil, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan diri dan kaumnya.
Dan untuk menghadapi kaum yang tiran dan lalim, diperlukan iman yang kokoh, dan bertumpu pada Allâh sepenuh jiwa dan raga, yang bisa menghilangkan rasa takut dan menenangkan hati, hingga kesudahan yang baik pun akhirnya akan digenggam oleh kaum beriman.
Dan walau bagaimanapun juga, Fir’aun tak ubahnya seperti bakteri yang sudah saatnya untuk dicabut. Ia tak ubahnya seperti buah busuk yang sudah saatnya harus enyah; jiwa terkutuk yang telah tiba masa kebinasaannya.
TAWAKKAL MENDATANGKAN PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TAALA
Dalam kondisi gawat seperti ini, maka seorang yang beriman sangat memerlukan amunisi ruhani yang mampu membuatnya tegar dan tak goyah menghadapi ujian dan cobaan.
Terlebih lagi kala kekuatan fisik dan materi begitu rapuh secara hitungan matematis, tak kuasa menghadapi kekuatan musuh yang begitu dahsyat. Dalam keadaan demikian yang begitu genting, maka Musa pun berkata:
وَقَالَ مُوسَىٰ يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ ﴿٨٤﴾ فَقَالُوا عَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ ﴿٨٥﴾ وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allâh, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” Lalu mereka berkata:
“Kepada Allâh lah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang’zalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir.” [Yunus/10:84-86]
Inilah sikap yang harus dihadirkan dalam diri kaum beriman, dalam menghadapi apapun, terutama ketika keadaan sudah begitu menghimpit. Musa memerintahkan mereka agar bertawakkal kepada Allâh, meminta pertolongan kepada-Nya, dan bersandar kepada-Nya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan mencukupinya dan melindunginya.
Sebab tawakkal merupakan di antara sebab (media) yang paling signifikan untuk menolak gangguan dan kezaliman manusia.
Dan kaum Nabi Musa pun menunaikan hal tersebut, sehingga Allâh pun memberikan jalan keluar bagi mereka dari kesengsaraan yang sudah menghimpit.
Dan dalam rangka mempersiapkan langkah efektif untuk menyelamatkan diri dari Fir’aun, maka dirancanglah langkah-langkah, baik secara fisik maupun secara ruhani. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.” [Yunus/10:87]
Allâh Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa dan Harun agar menjadikan rumah untuk kaum Bani Israil.
Rumah yang menjadi tempat tinggal dan tempat berlindung, serta tempat mereka menjauhkan diri dari Firaun.
Yakni rumah yang punya ciri tersendiri, yang membedakannya dari rumah orang-orang Qibthi.
Maksudnya adalah untuk lebih memudahkan dalam proses pelarian kala mereka diperintahkan untuk itu.
Sehingga sesama kaum Musa bisa mengetahui rumah saudaranya, dan ini mempermudah untuk proses evakuasi mereka.
Dan Allâh Azza wa Jalla pun memerintahkan hal yang mempererat hubungan mereka dengan Allâh, agar memperkokoh ketegaran iman dan kesabaran mereka. Yaitu agar mereka menjadikan rumah mereka sebagai kiblat.
Untuk kalimat kiblat di sini, beragam penafsiran para mufassir. Ada yang mengartikannya sebagai masjid, yaitu jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai masjid, yaitu tempat untuk shalat.
Sebagian menafsirkannya dengan makna memperbanyak shalat di dalamnya. Yaitu agar mereka memperbanyak shalat di dalamnya. Ini dikatakan oleh Mujahid, Abu Malik, Ibrahim An-Nakha’i, Ar-Rabi’, Adh-Dhahhak, Zaid Bin Aslam, putranya yaitu Abdurrahman, dan lainnya.
Menurut pendapat ini, maksudnya adalah agar dalam menghadapi situasi yang mencekam dan serba sulit ini, hendaknya mereka meminta pertolongan kepada Allâh dengan cara memperbanyak shalat. Ini seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. [Al-Baqarah/2:45]
Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, bila dirundung perkara sulit, beliaupun shalat.[1]
Ada lagi yang mengartikannya dengan makna, bahwa mereka saat itu tidak mampu untuk menampakkan ibadah mereka di tempat-tempat peribadatan mereka di tengah masyarakat, karena takut akan hukuman Fir’aun. Karena itulah mereka diperintahkan untuk shalat di rumah mereka.
Namun yang lebih kuat adalah makna yang pertama (yaitu agar mereka meminta pertolongan dengan memperbanyak shalat).
Ini didukung oleh firman-Nya selanjutnya: ‘dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman‘ Meskipun makna ini pun juga tidak menafikan makna yang kedua. Wallâhu a’lam.
Ada pula yang mengartikan kiblat di sini dalam arti berhadap-hadapan; artinya jadikanlah rumah-rumah kalian berhadap-hadapan. Ini pendapat Sa’id Bin Jubair.
Dan Allâh memerintahkan agar mereka senantiasa menjaga dan melanggengkan shalat mereka, dengan melaksanakannya pada waktunya dengan khusyuk dan ikhlas. Dan itu merupakan wasilah (perantara) untuk mewujudkan jalan keluar dari kesulitan yang menghadang.
Di antara hikmah yang bisa kita petik adalah bahwa di antara hal yang menopang kaum Mukminin dalam meraih kemenangan adalah; agar mereka menjauh dari para pelaku kufur dan kefasikan, bila nasihat tak juga berkesan pada diri mereka.
Dan untuk meraih apa yang menjadi tujuan mereka, agar mereka menopangnya dengan memperbanyak sabar dan shalat. Serta mewujudkan kehidupan yang solid sesama Mukminin, dan bertawakkal penuh kepada Allâh. Maka Allâh pun akan menyampaikan tujuan mereka.
DOA MUSA ALAIHISSALLAM
Setelah Musa melihat bahwa Fir’aun dan kaumnya sudah tidak mungkin diharapkan lagi keimanannya, maka Musa pun ber-tadharru’ dengan penuh tunduk dan khidmat, berdoa kepada Allâh; seperti dalam ayat berikut:
وَقَالَ مُوسَىٰ رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ ﴿٨٨﴾ قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami – akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau.
Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”
AlIâh berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” [Yunus/10:88-89]
Doa ini merupakan doa yang dipanjatkan Musa atas dasar marah di jalan Allâh. Marah atas Fir’aun karena ia telah besar diri sehingga tidak mau menerima kebenaran, bahkan menghalang-halanginya.
Mereka langgar larangan Allâh, dan mereka rusak fitrah manusia. Doa karena keangkuhan dan keras kepala untuk tetap teguh di atas kebatilan yang paling batil.
Fir’aun dan kaumnya secara kasat mata memang bergelimang nikmat; aneka perhiasan dan pakaian yang memukau, rumah dan istana megah, kekuasaan yang begitu kuat lagi kokoh, dan segala kesenangan dunia lainnya.
Dan ini semua membuat orang yang pendek pandangannya menyangka mereka berada dalam jalan dan koridor yang benar. Dan ini membuat diri mereka sesat, dan juga menyesatkan lainnya. Karena itulah Musa berdoa:
“Ya Allâh, binasakanlah harta mereka dan kunci matilah hati mereka. sehingga mereka tidak beriman hingga melihat siksaan yang pedih”.
Musa Alaihissallam berdoa agar harta mereka dibinasakan; ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas dan Mujahid. Sedangkan pendapat lain mengatakan maknanya adalah jadikanlah harta mereka menjadi batu.
Qatadah berkata: “Telah sampai berita kepada kami bahwa hasil pertanian mereka berubah menjadi batu.” Muhammad Bin Ka’b berkata: “Harta mereka semuanya berubah menjadi batu.”
Seruan iman tidak bermanfaat sama sekali bagi Firaun dan kaumnya. Dan telah jelas bagi Musa Alaihissallam bahwa tak ada kebaikan sama sekali pada mereka, dan tak ada kebaikan sedikitpun yang datang dari mereka.
Bahkan mereka senantiasa dalam kekufuran dan terus menyesatkan lainnya; maka Musa pun berdoa: “(Ya Allâh)… dan kunci matilah hati mereka”, jadikanlah hati mereka keras, segel hati mereka, sehingga sama sekali tidak tersentuh untuk beriman kepada-Mu. “maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih“.
Ini adalah doa yang merefleksikan amarah di jalan Allâh, marah untuk agama-Nya. Dan Allâh pun mengabulkan doa ini, sebagaimana mengabulkan doa Nabi Nuh as yang artinya:
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا ﴿٢٦﴾ إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma’siat lagi sangat kafir. [Nuh /71:26-27]
BANI ISRAIL LARI DARI FIR’AUN
Para ahli tafsir dan lainnya dari kalangan ahlul kitab mengatakan:
Bani Israil meminta izin kepada Fir’aun untuk keluar merayakan hari ‘id (hari raya) mereka. Ini adalah taktik bani Israil untuk bisa melarikan diri dari Fir’aun.
Fir’aun sendiri sebenarnya tidak setuju dan tidak berkenan, namun ia pun akhirnya mengizinkan mereka.
Maka bani Israil pun bersiap-siap untuk keluar dan membebaskan diri dari Fir’aun dan bala tentaranya.
Dikatakan bahwa mereka meminjam perhiasan dari orang-orang Qibthi, agar tidak tersingkap maksud bani Israil yang sebenarnya. Mereka keluar pada malam hari, dan terus berjalan hendak menuju ke negeri Syam.
Menurut para ahlul kitab; pada malam tersebut kaum Qibthi tengah berduka; karena anak pertama dari mereka para kaum Qibthi meninggal dunia. Mereka disibukkan dengan kesedihan yang mendalam.
Tatkala mengetahui kepergian mereka, Fir’aun pun begitu naik pitam. Ia segera mengumpulkan bala tentaranya dan mengejar mereka.
Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.”
Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata):
“Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga.”
Maka Kami keluarkan Fir’aun dan kaumnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang mulia.
demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit.
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul.” Musa menjawab:
“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman.
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. [Asy-Syuara’/26:52-68]
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa pasukan Fir’aun kala mengejar Bani Israil sangatlah banyak sekali jumlahnya.
Ada yang mengatakan jumlah mereka lebih dari satu juta enam ratus ribu prajurit. Ada lagi yang mengatakan sekitar 6 ratus ribu personil selain para pemuda belia.
Dan rentang waktu antara keluarnya Bani Israil beserta Musa dari Mesir dengan masuknya mereka beserta bapak mereka yaitu Israil; berjarak sekitar 426 tahun Syamsiyyah.
Akhirnya Firaun berhasil menyusul Bani Israil saat terbitnya matahari. Dua kelompok sudah bertemu, masing-masing bisa melihat lawannya. Tampaknya tinggal menunggu sesaat untuk terjadinya perlawanan, bila memang ada perlawanan.
Saat itu, kaum Musa pun diliputi rasa takut; mereka berkata: sungguh, kami pasti dapat disusul. Sebab jalan mereka terbentur hamparan laut. Gunung pun menjelang di kanan kiri laut. Tak ada jalan keluar.
Semua sudah buntu. Sedangkan Fir’aun telah nyata di hadapan dengan bala tentaranya yang sangat banyak lagi bersenjata lengkap. Bani Israil didera takut yang mencekam, mengingat kekejaman dan kebengisan Fir’aun.
Mereka pun mengadukan hal ini kepada Musa, dan Musa berkata: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Musa yang tadinya berada di bagian belakang pasukannya, bergegas maju ke bagian depan. Ia pandangi lautan dengan gelombangnya yang meletup-letup. Ia berkata:
“Di sinilah perintah Allâh kepadaku.” Ia bersama Harun, juga Yusya’ Bin Nun, yang kala itu adalah petinggi Bani Israil; ulama dan ahli ibadah terpandang di kalangan mereka, yang nantinya sepeninggal Musa dan Harun diangkat sebagai nabi oleh Allâh. Turut serta juga lelaki beriman dari kerabat Fir’aun. Mereka semua berdiri, sedangkan Bani Israil semuanya menyertai mereka.
Ada yang mengatakan bahwa lelaki beriman dari kerabat Musa merangsek hamparan laut dengan kudanya berkali-kali; namun tetap saja tidak bisa ditembus.
Ketika keadaan sudah genting, sedangkan Fir’aun sudah makin mendekat, rasa takut sudah begitu mencekam, ketika itulah Allâh mewahyukan kepada Musa:
أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” (Asy-Syu’ara’/26:63) dan ketika Musa memukul laut, dikatakan bahwa Musa berseru kepada laut : “Terbelahlah wahai laut!” Dikatakan bahwa laut terbelah menjadi 12 jalur; masing-masing sibth (seperti kabilah bagi orang arab yang berpangkal pada satu bapak, atau kelompok) menapaki jalur tersendiri.
Demikianlah laut menjulang bagaikan gunung, diliputi oleh qudrah ilahiyyah. Terbentuklah jalan di lautan, jalan yang kering, bahkan air pun tidak pula membasahi ujung kaki kuda yang melintas.
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu (dengan memukulkan tongkat), kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).”
Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka. Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk. [Thaha/20:77-79]
Ketika Allâh menampakkan kuasa-Nya, sehingga laut pun terbelah menjadi daratan, maka Allâh memerintahkan Musa untuk melewatinya bersama dengan Bani Israil. Mereka pun segera menuruni laut kering tersebut dengan penuh ketakjuban.
Ketika mereka sudah melewatinya dan sudah lepas dari laut, itu bertepatan dengan datangnya pasukan Fir’aun ke laut.
Musa pun hendak memukulkan tongkatnya lagi ke laut, agar air laut kembali seperti sedia kala; sehingga Fir’aun tidak bisa menjamah kaum Nabi Musa.
Namun Allâh memerintahkan Musa agar membiarkan laut dalam keadaan seperti itu ; yaitu dalam keadaan terbelah.
(Allâh berfirman): “Maka berjalanlah kamu dengan membawa hamba-hamba-Ku pada malam hari, sesungguhnya kamu akan dikejar, dan biarkanlah laut itu tetap terbelah. Sesungguhnya mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan.”
Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah, dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya, demikianlah.
Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh.
Dan sesungguhnya telah Kami selamatkan Bani Israil dari siksa yang menghinakan, dari (azab) Fir’aun. Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas. [Ad-Dukhan/44:23-31]
Ketika laut dibiarkan dalam keadaan tersebut ; dan Fir’aun pun telah sampai di bibir laut yang telah terbelah ; di mana ia tergoncang dengan apa yang ia saksikan, dan ia pun telah yakin sebagaimana sebelumnya pun telah yakin, bahwa itu adalah kuasa Allâh Rabb semesta alam, ia ragu dan tidak juga bergerak maju.
Ia menyesal telah melakukan pemburuan terhadap Musa dan kaumnya, namun ini penyesalan yang tak berguna sama sekali. Ia pun mendramatisir keadaan. Ia tampakkan ketegaran dan kekuatannya kepada bala tentaranya.
Jiwanya yang kufur justru mengarang satu asumsi khayalan dusta: “Lihatlah, bagaimana laut ini tersingkap untukku, agar aku bisa mengejar para budakku yang melarikan diri dan membangkang dari ketaatanku.” Namun ia tidak bisa membohongi dirinya.
Ia tetap saja ragu dan gamang, sekali ia maju, namun ia pun mundur lagi berkali-kali. dikisahkan bahwa Jibril pun muncul di atas seekor kuda, dan melewati kuda Firaun.
Jibril pun masuk menerobos laut, dan kuda Fir’aun pun mengikutinya. Fir’aun pun menerobos laut di belakang kuda Jibril, dan masuklah pasukan Fir’aun keseluruhannya.
Ketika itulah Allâh perintahkan Musa untuk memukulkan tongkatnya, dan air laut pun sudah bergejolak menghempas apa yang ada ; dan Fir’aun dan pasukannya pun tenggelam dihempas gelombang laut. Tak ada satupun nyang selamat dari mereka.
IMAN YANG TIADA GUNA
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia:
“Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh).”
Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. [Yunus/ 10:90-92]
Ketika Fir’aun tenggelam; di mana ia timbul dan tenggelam terombang-ambing ombak, dengan disaksikan bani Israil yang mencermati bagaimana siksa Allâh yang Dia timpakan atas Fir’aun dan tentaranya, saat ia menyaksikan sakarat kematiannya, iapun berikrar akan imannya dan bertaubat; iman dan taubat di saat tak ada gunanya lagi.
Ia berucap: ‘aku beriman bahwa tidak ada tuhan kecuali Tuhan yang dipercayai Bani Israil’. Di saat sekarat pun ia masih saja angkuh dan besar diri. Ia tidak mau mengucapkan la ilâha illallâh;
ia tidak mau menyebut nama Allâh saat itu dikarenakan keangkuhannya. Dan saat itupun imannya tak lagi berguna baginya. Ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimatRabbmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. [Yunus/10:96-97]
Demikianlah Musa berdoa atas kehancuran Fir’aun dan tentaranya; agar harta mereka dibinasakan, dan hati mereka dikunci mati, sehingga mereka tidak akan beriman hingga melihat siksa Allâh yang pedih; yaitu tatkala iman tersebut tidak lagi berguna bagi mereka. Dan Allâh telah mengabulkan doa Musa.
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا أَغْرَقَ اللَّهُ فِرْعَوْنَ قَالَ: {آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ} ” فَقَالَ جِبْرِيلُ: يَا مُحَمَّدُ فَلَوْ رَأَيْتَنِي وَأَنَا آخُذُ مِنْ حَالِ البَحْرِ فَأَدُسُّهُ فِي فِيهِ مَخَافَةَ أَنْ تُدْرِكَهُ الرَّحْمَةُ
“Tatkala Firaun berkata: ‘aku beriman bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Tuhan yang diimani bani Israil’ Rasul bersabda: Jibril berkata kepadaku:
‘Sekiranya engkau melihatku, di mana aku mengambil tanah hitam lagi busuk dari laut lalu aku bungkamkan ke mulut Firaun, karena khawatir kalau-kalau rahmat Allâh menghampirinya.[2]
Dan di sebagian riwayat disebutkan bahwa Jibril berkata: “Tidak pernah aku membenci seseorang seperti halnya aku membenci Fir’aun ketika ia berkata: ‘akulah tuhan kalian yang tertinggi’. Aku telah menjejalkan tanah pada mulutnya ketika ia mengucapkan apa yang ia ucapkan.”
Inilah akhir tragis seorang tiran yang mendustakan Allâh dan Rasul-Nya, bahkan mendakwa diri sebagai tuhan! Padahal ia pun telah tahu dan yakin akan kebenaran Musa dan risalahnya.
Bahkan saat ia berhadapan dengan mukjizat Musa yang Allâh berikan, yaitu terbelahnya laut, dan ia tahu betul itu bukan kuasa Musa, namun kekuatan Allâh Yang Maha Kuasa, dan itu artinya ia pasti binasa, namun ia masih mengumbar kepongahan dan kecongkakannya bahwa laut tersingkap agar para hamba yang kabur bisa diluluhlantakkan.
Baru ketika telah yakin kematian di hadapan mata, telah sekarat, barulah ia mengikrarkan tauhid, beriman kepada tuhan yang menjadi sesembahan Bani Israil.
Namun itu semua tidaklah berguna baginya, pintu taubat telah ditutup saat itu. Sehingga Allâh Azza wa Jalla pun berfirman:
آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. [Yunus/10:91]
Ini adalah pertanyaan yang bermuatan pengingkaran (istifham inkari); merupakan nash yang menunjukkkan imannya tidak diterima.
Sekiranya –wallâhu a’lam- ia dikembalikan ke dunia kembali, pastilah ia akan kembali melakukan apa yang telah ia lakukan. Ini seperti yang Allâh beritakan tentang orang-orang kafir ketika telah menyaksikan azab neraka:
وَلَوْ تَرَىٰ إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ فَقَالُوا يَا لَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِآيَاتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢٧﴾ بَلْ بَدَا لَهُمْ مَا كَانُوا يُخْفُونَ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman”, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya.
Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka. [Al-An’am/6:27-28]
Dan sebagai pertanda dan pelajaran, maka Allâh pun menyelamatkan jasad Fir’aun; semoga saja manusia bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari hidupnya.
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. [Yunus/10:92]
Ibnu Abbas berkata: sebagian bani Israil ragu akan matinya Fir’aun. Maka Allâh pun menitahkan kepada laut untuk memuntahkan jasadnya tanpa ruh, dengan baju perang di badan sebagai tanda pengenalnya.
Jasadnya dimuntahkan di dataran tinggi, sehingga mereka benar-benar yakin akan kematiannya.
Ini sebagai bukti bagi Bani Israil atas kebinasaannya; dan Allâh lah Yang Maha Kuasa.
Juga bahwa tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi murka-Nya. Meskipun banyak pula orang-orang yang tidak bisa mengambil pelajaran darinya, bahkan mungkin bertingkah laku layaknya Fir’aun; wa na’udzu billah.
Binasanya Firaun terjadi pada hari Asyura’. Ini seperti yang dinyatakan al-Bukhari dalam riwayat Ibnu Abbas:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا
Nabi shalallahu alaihi wa salam datang ke Madinah sedangkan kaum Yahudi tengah berpuasa Asyura. Mereka berkata: ‘Ini adalah hari di mana Musa mendapatkan kemenangan atas Fir’aun.’ Maka Nabi shalallahu alaihi wa salam pun bersabda: “Kalian (wahai sahabat) lebih berhak (lebih dekat) kepada Musa daripada mereka. Maka berpuasalah kalian (pada hari Asyura’).” [HR. Al-Bukhâri]
HIKMAH DARI KISAH BINASANYA FIR’AUN[3]
Kala kebenaran melawan kebatilan, maka kebatilan pun akan tumbang, kebenaran akan jaya dengan izin Allâh dan janji-Nya yang hak.
Dengan kisah Fir’aun, terdapat hiburan bagi Rasul n dan para penerus dakwah beliau , di mana Allâh memperlihatkan berbagai mukjizat melalui Musa, namun meski demikian kaum Fir’aun tidaklah mengimaninya kecuali hanya sedikit sekali.
Para pemuda –terutama yang masih steril- bisa jadi lebih mudah untuk menerima dan tunduk kepada kebenaran.
Sedangkan kaum tetua yang terpola dengan didikan kebatilan, maka dikarenakan keyakinan-keyakinan salah telah lama menggerogoti hati, maka jadilah mereka lebih jauh dari kebenaran.
Betapa buruk sikap congkak dan angkuh serta melampaui batas dalam keburukan dan kerusakan.
Wajib untuk bertawakkal kepada Allâh untuk mengemban beban dakwah dan untuk menunaikan ketaatan kepada-Nya.
Disyariatkan berdoa dan bertawassul dengan asma dan sifat-Nya.
Menjadikan masjid atau mushalla di rumah kala tidak memungkinkan untuk menampakkannya di masjid karena suatu bahaya.
Wajibnya mendirikan shalat. Dan memperbanyak shalat terutama dalam situasi yang penting dan genting.
Allâh memberi kabar gembira di dunia dan akhirat bagi kaum beriman dan yang melanggengkan shalat.
Dibolehkan untuk mendoakan buruk atas orang yang berbuat zalim, sesuai dengan kadarnya.
Banyaknya harta dan bergelimang dengannya bisa menyeret menuju kesesatan.
Orang yang telah kebablasan dalam kerusakan dan kesyirikan lalu dikunci mati hatinya, mereka akan mati dalam kekufuran.
Diharamkan untuk mengikuti jalan orang-orang sesat dan mengekor kepada orang-orang jahil.
Taubat tidak akan diterima ketika seseorang telah dihadapkan adzab di depan mata. Dalam hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya Allâh tidak menerima taubat hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan. [HR. at-Turmudzi]
Agama yang Allâh ridhai adalah Islam. Karena itulah orang yang yakin akan meminta kepada Allâh agar diwafatkan dalam keadan Muslim. Fir’aun pun kala sudah pasti binasa, ia mendakwakan diri termasuk orang yang Muslim; yang berserah diri. Dan ini dakwaan dusta adanya.
Keutamaan kalimat tauhid. Terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Jibril menghalangi Fir’aun untuk mengucapkan lâ ilâha illallâh sehingga nantinya ia bisa selamat. Karena itulah Fir’aun tidak mengucapkannya, dan binasalah ia.
Kebanyakan manusia lalai dalam kehidupan dunia. Banyak yang tidak bisa mengambil pelajaran, dan tidak sadar hingga mereka binasa.
Kesudahan orang zalim dan sewenang-sewenang adalah kehancuran dan kebinasaan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XXI/1439H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. ]
___
Footnote
[1] HR. Ahmad 5/ 388, Abu Daud 1319, Ath-Thabari dalam Tafsirnya 1/ 260, Abu Awanah 6842, Al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il 3/ 451, Al-Khathib dalam Tarikhnya 7/ 258; dari jalur yang dha’if.
Akan tetapi hadits ini mempunyai syahid yang diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath no 890 dari hadits Abdullah Bin Salam ia berkata:
Adalah Nabi n bila ada kesulitan yang menimpa keluarganya, beliau pun memerintahkan mereka untuk shalat, lalu beliau membaca ayat: wa’mur ahlaka bish shalâti washthabir ‘alaihâ (Thaha 132). Maka hadits tersebut di atas dengan adanya syahid ini menjadi hasan.
[2]
HR. at-Turmudzi, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari hadits Hammad Bin Salamah, At-Turmudzi berkata: hadits hasan.
Muhaqqiq Al-Bidayah wa An-Nihayah berkata: isnadnya dhaif, karena Ali bin Zaid Bin Jud’an lemah. Namun hadits ini telah sahih secara mauquf dari Ibnu Abbas. Namun Syaikh Al-Albani berpandangan lain.
Beliau mentakhrij hadits tersebut: dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi, juga at-Turmudzi 3107, al-Hakim 2/ 340; 4/ 249, Ahmad 1/ 240, 340, Ibnu Jarir 17859 dari jalur lain, dan at-Turmudzi berkata: hadits hasan gharib shahih.
Dan al-Hakim berkata: ‘shahih sesuai syarat Syaikhain, hanya saja kebanyakan murid Syu’bah memandangnya sebagai hadits mauquf atas Ibnu Abbas’, dan ini disepakati ad-Dzahabi; Syaikh al-Albani lalu berkata: ini tidak menjadi suatu illah (penyakit tersembunyi) atas hadits tersebut.
Sekelompok perawi tsiqah pun telah me-marfu’-kan hadits tersebut; di antaranya At-Thayalisi, Khalid Bin al-Harits dalam riwayat at-Turmudzi dan al-Hakim, dan an-Nadhr Bin Syumail dalam riwayat al-Hakim, juga Muhammad Bin Ja’far dalam riwayat Ahmad. Dan telah diketahui bahwa ziyadat ats-tsiqah (tambahan yang ada pada perawi tsiqah) adalah diterima, terlebih lagi ada jalur lain dari hadits tersebut dan ada syahid untuknya. (As-Silsilah as-Shahihah 5/26)
[3] Pelajaran di atas diambil dari Aisar at-Tafâsîr dari Surat Yunus terkait dengan ayat-ayat yang tersebut di atas.