mascipoldotcom – Selasa, 5 April 2022 (3 Ramadhan 1443 H)
Jakarta – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) Komjen Pol Andap Budhi Revianto mengaku salah satu keponakannya tidak lolos dalam seleksi CPNS di institusi tempat nya bertugas saat ini.
Menurut Komjen Pol Andap, dirinya bisa saja membantu agar keponakannya, yang sudah lolos tes computer assisted test (CAT), untuk masuk di tahap akhir seleksi CPNS di Kemenkum HAM.
Namun, Komjen Pol Andap menegaskan pentingnya menjaga integritas sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Sebagai sekjen, saya berupaya menjaga integritas,” tegas Komjen Pol Andap saat membuka orientasi CPNS Kemenkum HAM di Jakarta, Senin (4/4).
Mantan Kabid Propam Polda Metro Jaya ini menegaskan dalam proses penerimaan CPNS tidak boleh ada titipan, korupsi, kolusi, nepotisme, serta hal-hal yang merusak nilai integritas dan kejujuran.
Komjen Pol Andap juga sama sekali tidak mau melakukan hal itu untuk kepentingan pribadinya, karena bertentangan dengan nilai-nilai yang diusung selama ini.
“Sebetulnya bisa-bisa saja sebagai sekjen, contoh, karena (dia) CAT sudah lolos dan tinggal finishing selesai, tetapi kami punya integritas dan berusaha menjaganya,” tegas mantan Kapolda Kepulauan Riau tersebut.
Kendati demikian, Komjen Pol Andap tidak menampik masih ada sejumlah kekurangan dalam proses rekrutmen CPNS di lingkungan Kemenkum HAM. Hal itu akan dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan pada penerimaan berikutnya.
Dari total 627.113 pendaftar, sebanyak 4.558 orang atau sekitar 0,73 persen yang lolos menjadi CPNS Kemenkum HAM.
Lebih rinci, dari jumlah pendaftar awal, sebanyak 487.049 orang lolos seleksi administrasi dan di tahap seleksi kompetensi dasar, sebanyak 317.629 peserta dinyatakan lolos.
Pada tahap berikutnya Kemenkum HAM mengumumkan 13.418 peserta lolos, dan di tahap akhir tercatat sebanyak 4.558 orang dinyatakan lolos sebagai CPNS Kemenkum HAM. (antara)
_____________
Renungan
Oleh Dr. ‘Abdul-Qayyum as-Suhaibani[1]
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih nan Penyayang. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.
Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا . قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
“Niscaya aku akan melihat beberapa kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan kebaikan laksana gunung-gunung Tihamah[2] yang putih, kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikannya debu yang beterbangan”.
Ada[3] yang bertanya: “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka kepada kami, agar kami tidak menjadi bagian dari mereka sementara kami tidak tahu,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Ketahuilah, mereka adalah saudara kalian, satu bangsa, dan bangun malam sebagaimana kalian. Tapi jika mereka menyendiri dengan larangan-larangan Allah, mereka melanggarnya”. [4]
Seseorang mungkin menjauh dari dosa dan maksiat saat berada di hadapan dan dilihat orang lain.
Tetapi jika ia menyendiri dan terlepas dari pandangan manusia, ia pun melepaskan tali kekang nafsunya, merangkul dosa dan memeluk kemungkaran.
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya. [al-Isrâ`/17 : 17].
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. [al-Baqarah /2:74].
Bahkan jika ingin berbuat dosa dan ada seorang anak kecil di hadapannya, ia akan meninggalkan dosa itu.
Dengan demikian, rasa malunya kepada anak kecil lebih besar daripada rasa malunya kepada Allah. Andai saat itu ia mengingat firman Allah:
أَوَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka tampakkan? [al-Baqarah/2:77].
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib? [at-Taubah/9:78].
Sungguh celaka wahai saudaraku! Jika keberanian anda berbuat maksiat adalah karena anda meyakini bahwa Allah tidak melihat, maka alangkah besar kekufuran anda.
Dan jika anda mengetahui bahwa Allah mengetahuinya, maka alangkah parah keburukan anda, dan alangkah sedikit rasa malu anda!
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah mengetahui mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. [an-Nisâ`/4: 108].
Di antara hal yang sangat “ajaib” adalah anda mengenal Allah, tetapi bermaksiat kepada-Nya. Anda mengetahui kadar kemurkaan-Nya, tetapi justru menjatuhkan diri kepada kemurkaan itu. Anda mengetahui betapa kejam hukuman-Nya, tetapi anda tidak berusaha menyelamatkan diri.
Anda merasakan sakitnya keresahan akibat maksiat, tetapi tidak pergi menghindarinya dan mencari ketenangan dengan mentaati-Nya.
Qatadah berpesan: “Wahai anak Adam, demi Allah, ada saksi-saksi yang tidak diragukan di tubuhmu, maka waspadailah mereka.
Takutlah kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, karena sesungguhnya tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Bagi-Nya, kegelapan adalah cahaya, dan yang tersembunyi sama saja dengan yang nampak.
Sehingga, barang siapa yang bisa meninggal dalam keadaan husnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah, hendaklah ia melakukannya, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan izin Allah”.[5]
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ﴿٢٢﴾وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, tetapi kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.
Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi. [Fushshilat/41:22-23].
Ibnul-A’rabi berkata: “Orang yang paling merugi, ialah yang menunjukkan amal-amal shalihnya kepada manusia dan menunjukkan keburukannya kepada Allah yang lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.[6]
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf /50:16].
إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا، فَلاَ تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الله يَغْفُـلُ سَـاعَـةً وَلاَ أَنَّ ماَ تُخْفِيْهِ عَنْهُ يَغِيْـبُ
Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri,
teapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini.
Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai,
atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.
Sungguh takwa kepada Allah dalam keadaan tidak nampak (fil-ghaib) dan takut kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi merupakan tanda kesempurnaan iman.
Hal ini menjadi sebab diraihnya ampunan, kunci masuk surga. Dan dengannya, seorang hamba meraih pahala yang agung nan mulia.
إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ ۖ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. [Yâsîn/36:11].
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan tersembunyi akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. [al-Mulk/67:12].
وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ﴿٣١﴾هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ﴿٣٢﴾مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ﴿٣٣﴾ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ﴿٣٤﴾لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (peraturan-peraturan-Nya).
(Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah dalam keadaan tersembunyi dan dia datang dengan hati yang bertobat.
Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan Kami memiliki tambahannya. [Qaf/50: 31-35].
Dan di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi maupun nampak.[7]
Maknanya, hendaklah seorang hamba takut kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, serta lahir dan batin, karena kebanyakan orang takut kepada Allah dalam keadaan terlihat saja.
Namun yang penting adalah takut kepada Allah saat tersembunyi dari pandangan manusia, dan Allah telah memuji orang yang takut kepada-Nya dalam kondisi demikian.
Bakr al-Muzani berdoa untuk saudara-saudaranya: “Semoga Allah menjadikan kami dan kalian zuhud terhadap hal yang haram, sebagaiman zuhudnya orang yang bisa melakukan dosa dalam kesendirian, namun ia mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka ia tinggalkan dosa itu”. [8]
Sebagian lagi mengatakan: “Orang yang takut bukanlah orang yang menangis dan ‘memeras’ kedua matanya, tetapi ia adalah orang yang meninggalkan hal haram yang ia sukai saat ia mampu melakukannya”.[9]
إِذَا السِّرُّ وَالإِعْلاَنُ فِي المُؤْمِنِ اسْتَوَى فَقَدْ عَزَّ فِي الدَّارَيْنِ وَاسْتَوْجَبَ الثَّنَا
فَإِنْ خَالَـفَ الإِعْـلاَنُ سِرًّا فَمَا لَهُ عَلَى سَعْيِهِ فَضْلٌ سِوَى الْكَدِّ وَالْعَنَا
Jika tersembunyi dan tampak bagi seorang mukmin tiada beda,
maka ia telah berhasil di dua dunia dan kita pantas memujinya.
Namun jika yang tampak menyelisihi yang rahasia,
tiada kelebihan pada amalnya, selain penat dan lelah saja.
Hal-hal yang menjadikan takut (khasy-yah) kepada Allah Azza wa Jalla :
Iman yang kuat terhadap janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ancaman-Nya atas dosa dan maksiat.
Merenungkan kejamnya balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukuman-Nya. Hal ini menjadikan seorang hamba tidak melanggar aturan-Nya, sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri: “Wahai anak Adam, kuatkah engkau memerangi Allah?
Orang yang bermaksiat berarti telah memerangi-Nya”. Sebagian lagi mengatakan: “Saya heran dengan si lemah yang menentang Sang Kuat”.
Kewaspadaan yang kuat terhadap pengawasan Allah dan mengetahui bahwa Allah mengawasi hati dan amalan para hamba, serta mengetahui mereka di manapun berada.
Orang yang sadar bahwa Allah melihat-Nya di manapun berada, mengetahui dirinya secara lahir dan batin, mengetahui yang tersembunyi maupun yang nampak, dan ia mengingat hal itu saat menyendiri, maka ia akan meninggalkan maksiat dalam ketersembunyiannya.
Wahb bin al-Ward berkata: “Takutlah kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya atas dirimu!
Malulah kepada-Nya seukuran kedekatan-Nya kepadamu, dan takutlah kepada-Nya karena Dialah yang paling mudah bisa melihatmu”.[10]
Mengingat makna sifat-sifat Allah, antara lain: mendengar, melihat dan mengetahui. Bagaimana anda bermaksiat kepada yang mendengar, melihat dan mengetahui keadaan anda?
Jika seorang hamba mengingat hal ini, rasa malunya akan menguat. Ia akan malu jika Allah mendengar atau melihat pada dirinya sesuatu yang Dia benci, atau mendapati sesuatu yang Dia murkai tersembunyi pada hatinya.
Dengan demikian, perkataan, gerakan, dan pikirannya akan selalu ditimbang dengan timbangan syariat, dan tidak dibiarkan dikuasai hawa nafsu dan naluri biologis.
Ibnu Rajab berkata: “Takwa kepada Allah dalam ketersembunyaian adalah tanda kesempurnaan iman. Hal ini berpengaruh besar pada pujian untuk pelakunya yang Allah ‘sematkan’ pada hati kaum mukminin”. [11]
Sedang Abu ad-Darda’ menasihati: “Hendaklah setiap orang takut dilaknat oleh hati kaum mukminin, sementara dia tidak merasa. Ia menyendiri dengan maksiat, maka Allah menimpakan kebencian kepadanya di hati orang-orang yang beriman”.[12]
Sulaiman at-Taimi berkata: “Sungguh seseorang melakukan dosa dalam ketersembunyiannya, maka iapun terjatuh ke dalam lubang kehinaan”.[13]
Ada juga yang mengatakan: “Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yang hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu ia mendatangi saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu pada dirinya.
Ini termasuk tanda yang paling jelas akan keberadaan Rabb yang haq, yang membalas amalan –yang kecil sekalipun- di dunia sebelum akhirat. Tidak ada amalan yang hilang di sisi-Nya, dan tiada berguna tirai dan penutup dari kuasa-Nya.
Orang berbahagia adalah orang yang memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena jika demikian, Allah akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain.
Dan barang siapa yang mengejar pujian manusia dengan mengorbankan murka Allah, maka orang yang awalnya memuji akan berbalik mencelanya”.[14]
Di antara hal paling ajaib mengenai hal ini adalah kisah yang diriwayatkan dari Abu Ja’far as-Saih: “Habib Abu Muhammad adalah seorang saudagar yang meminjamkan uang dengan bunga.
Suatu hari, ia melewati sekumpulan anak kecil yang sedang bermain.
Merekapun berbisik di antara mereka: ‘Pemakan riba datang,’ Habibpun menundukkan kepalanya dan berkata:
‘Ya Rabb, Engkau telah sebarkan rahasiaku pada anak-anak kecil,’ lalu ia pulang dan mengumpulkan seluruh hartanya. Ia berkata:
‘Ya Rabb, aku laksana tawanan. Sungguh aku telah membeli diriku dari-Mu dengan harta ini, maka bebaskanlah aku’. Esok paginya, ia sedekahkan seluruh harta itu dan mulai menyibukkan diri dengan ibadah.
Suatu hari ia melewati kumpulan anak kecil. Ketika melihatnya, mereka berseru di antara mereka: ‘Diamlah! Habib si ahli ibadah datang,’ Habibpun menangis dan berkata: “Ya Rabb, Engkau sekali mencela, sekali memuji, dan semua itu dari-Mu’.”[15]
Sufyan ats-Tsauri berpesan: “Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan menjaga dirimu dari manusia. Tetapi jika engkau takut kepada manusia, mereka tidak akan bisa melindungimu dari Allah”.[16]
Ibnu ‘Aun berpisah dengan seseorang, maka ia berwasiat: “Takutlah kepada Allah, karena orang yang takut kepada-Nya tidak akan merasa sendiri”. [17]
Sedangkan Zaid bin Aslam berkata: “Dulu dikatakan: Barang siapa takut kepada Allah, orang akan mencintainya, meskipun mereka (pernah) membencinya”.[18]
Marâji` Terjemah:
Al-Maktabah asy-Syamilah.
Al-Qamus al-Muhith, Muassasah ar-Risalah, 1424 H.
Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ Mâlik Fahd.
http://quran.al-islam.com/Targama/
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, Darul Ma’rifah, 1408 H.
Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah Digital.
Syu’abul Iman lil Baihaqi, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410 H.
Tafsir Ibnu Katsir, Muassasah ar-Rayyan, 1418 H.
Taysirul Karimir Rahmân, Abdurrahmân as-Sa’di, Muassasah ar-Risalah, 1426.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.]
_______
Footnote
[1] Dosen Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Tulisan ini diterjemahkan oleh Abu Bakr Anas dari leaflet berjudul “al-Muraqabah adz-Dzatiyyah”. Semua catatan kaki dalam tulisan ini dibuat oleh penerjemah.
[2] Tihamah, ialah nama lain untuk Makkah. Lihat al-Qamus al-Muhith, hlm. 1083.
[3] Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa yang bertanya adalah sahabat bernama Tsauban.
[4] HR Ibnu Majah no. 4245, dishahîhkan Syaikh al-Albâni. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 505.
[5] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/368.
[6] Syu’abul-Iman lil-Baihaqi, 5/368 no. 6987.
[7] HR Ahmad, 18351 dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni.
[8] Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/162.
[9] Lihat Mukhtashar Minhajil-Qashidin, 4/63.
[10] Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/162.
[11] Ibid., 1/163.
[12] Ibid.
[13] Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/163.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Diriwayatkan juga dari ‘Aisyah dalam wasiat beliau kepada Mu’awiyyah Radhiyallahu anhu. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 8/32.
[17] Lihat al-Fawaid (Ibnul Qayyim), Bab: Takwa, hlm. 52.
[18] Ibid.