mascipoldotcom – Kamis, 31 Maret 2022 (27 Sya’ban 1443 H)
Medan- Subdit IV Renakta Polda Sumut memulangkan korban selamat kapal karam pengangkut 81 pekerja migran Indonesia ilegal ke wilayahnya masing-masing.
Kabid humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi mengatakan, mereka diberangkatkan menggunakan jalur darat dan udara.
Untuk yang ke pulau Jawa, ada 31 yang dipulangkan ke kampung halamannya.
Sementara untuk PMI ilegal selamat asal NTT diberangkatkan menggunakan pesawat.
“Kami menyerahkan PMI berjumlah 81 orang kepada BP2MI untuk menindaklanjutinya dan mengembalikan PMI ini ke daerahnya masing-masing. Mereka dipulangkan ada yang menggunakan bis dan ada yang melalui pesawat seperti itu,” kata Hadi, Kamis (31/3/2022).
Dia menyebut 81 PMI sudah berada di Polda Sumut selama 10 hari.
Mereka dibawa ke Polda usai diselamatkan para nelayan dan polisi setelah kapal yang hendak membawa mereka ke Malaysia karam.
“Kurang lebih 10 hari mereka berada di Polda Sumut, setelah kita menyelamatkannya pasca karamnya kapal yg membawa mereka ke malaysia,” lanjut Kabid Humas
Dalam kasus ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumut menetapkan delapan orang tersangka.
Mereka dijerat Pasal tindak pidana perdagangan orang atau TPPO.
Kedelapannya ialah anak buah kapal dan agen pemberangkatan pekerja migran Indonesia Ilegal ke Malaysia.
Sebelumnya, sebuah kapal pengangkut 86 pekerja migran ilegal bocor hingga akhirnya karam di perairan Tanjung Api, Kabupaten Asahan, Sabtu (19/3/2022).
Akibatnya, dua orang tewas tenggelam dan sisanya selamat.
Mereka berangkat dari lokasi pada 17 Maret sekitar pukul 15:00 WIB menggunakan kapal mesin dari tangkahan kuala tampias, Tanjung Balai yang dinahkodai oleh tersangka dengan ABK lainnya dengan inisial DS, Ferdi, R bersama pemandu jalan.
Kemudian sekitar pukul 17:00 WIB di perairan Kuala Bagan Asahan air laut surut dan mereka menunda keberangkatan.
Disinilah kapal yang berlebihan muatan diduga bocor.
Kemudian pada Jumat dinihari sekitar pukul 00:30 WIB air sudah pasang dan mereka berangkat menuju ke Malaysia.
Namun saat sampai ke perairan Malaysia keesokan harinya mereka diperintahkan kembali ke Indonesia karena telat sampai ke tujuan dan takut tertangkap.
Saat itulah terjadi kebocoran yang semakin parah hingga kapal mati mesin akhirnya karam.
Terhadap tersangka polisi mengenakan pasal 2 undang-undang nomor 21 tahun 2007 dan tentang pemberatan tindak pidana perdagangan orang dan pasal 81 Subsider 83 undang-undang no 18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia dengan ancaman penjara 10 tahun.(Leodepari)
____
Renungan
Pengundian Disyariatkan Apabila Yang Berhak Tidak Diketahui
QAWA’ID FIQHIYAH
تُشْرَعُ الْقُرْعَةُ إِذَا جُهِلَ الْمُسْتَحِقُّ وَتَعَذَّرَتِ الْقِسْمَةُ
Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak Tidak Diketahui
Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan
Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian[1] -saat tidak diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam pengundian [ash-Shâffât/37:141]
Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus Alaihissallam ketika meninggalkan kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau, sehingga sampailah beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar, maka beliau pun naik ke kapal tersebut.
Ternyata muatan kapal tersebut terlalu penuh muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila muatan tidak dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu, mereka mengadakan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dikeluarkan dari kapal.
Setelah dilakukan undian, keluarlah nama Nabi Yunus Alaihissallam. Selanjutnya beliau dilemparkan keluar dari kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan dan tinggal beberapa waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala.[2]
Contoh lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. [Ali ‘Imrân/3:44]
Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani Israil yang berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak mengasuh Maryam.
Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk mengundi siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-pena mereka, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang penanya tidak hanyut terbawa arus sungai, maka dia lah yang berhak mengasuh Maryam.
Ternyata pena Nabi Zakariya Alaihissallam lah yang tidak hanyut terbawa air sungai, sehingga beliau lah yang berhak mengasuh Maryam.[3]
Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ, فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهَ.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ia berkata : Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin bepergian, maka beliau mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka beliau akan pergi bersamanya [4]
Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia antaranya adalah sebagai berikut :
1. Apabila ada dua orang berebut untuk mengumandangkan adzan, sedangkan keduanya bukan muadzin râtib[5] dan tidak ada kelebihan salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan, maka penentuan yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan dengan pengundian.
2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama berkeinginan menjadi imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan bacaan, kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi imam ditentukan dengan pengundian.
3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang tertentu, baik berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang paling layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang.
Ternyata sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang yang sama, dan sulit ditentukan siapa di antara mereka yang paling layak mendapatkan barang tersebut. Maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.
4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan disholatkan maka jenazah orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat dengan imam [6].
Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya, maka yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan pengundian.
5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan dalam satu liang lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau tenaga pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke liang lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah orang yang paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang paling berilmu dan paling banyak menghafal al Qur’ân [7]
Namun, apabila kedua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dalam ilmu dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke liang lahat ditentukan dengan undian.
6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa suatu barang tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka orang yang berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian.
Namun demikian, apabila barang tersebut bisa dibagi dan keduanya bersepakat untuk membagi barang tersebut menjadi dua bagian dan masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini diperbolehkan.[8]
7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan suatu barang atau perkara mubâhât[9] , dan barang tersebut tidak mungkin dimiliki secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan sama-sama berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di dalam masjid, maka dalam hal ini penentuan yang berhak duduk di tempat tersebut dilakukan dengan pengundian.
8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan pernikahan dan seluruh karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan menjadi wali nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali nikah dilakukan dengan pengundian.
9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak, kemudian ia membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah yang ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.
Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, perlu dipahami bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini termasuk perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân, Sunnah, dan Ijmâ’. Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus berikut:
1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh dua orang. Kemudian keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.
2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang kepada si Fulan (seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan pengundian, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya keluar dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini termasuk dalam kategori perjudian. [10] Wallâhu a’lam.[11]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
___
Footnote
[1]. Pengundian (undian) –seperti tercantum dalam kaedah di atas – ditujukan untuk menentukan pihak yang berhak mendapatkan sesuatu daripada pihak lain. Hal ini perlu ditekankan supaya tidak dibawa kepada undian-undian berhadiah – yang identik dengan perjudian – yang menjamur di media massa. Red)
[2]. Lihat Aisar at-Tafâsir, Abu Bakr Jabir al-Jazairi. Cet. VI, Tahun. 1424H/2003M. Maktabah Ulum wal Hikam, hlm. 1094
[3]. Lihat Tafsir al-Qur’ânul ‘Azhim, al-Hâfizh Ibnu Katsir, Tahun. 1412 H/1992 M. Dârul Fikr. Beirut, hlm. 446-447
[4]. HR. al-Bukhâri no. 2593 dan Muslim no. 2770
[5]. Yaitu muadzin yang memang telah ditugaskan secara khusus untuk mengumandangkan adzan di masjid tertentu.
[6]. Yang dimaksud dengan beberapa jenazah di sini adalah beberapa jenazah yang sejenis, yaitu sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan. Adapun jika jenisnya berbeda, maka jenazah-jenazah tersebut disholatkan dengan meletakkan jenazah laki-laki dewasa paling dekat dengan imam, kemudian anak laki-laki yang belum baligh, kemudian jenazah wanita dewasa, kemudian jenazah anak wanita yang belum baligh. Lihat Fatâwa fi Ahkâmil Janâiz, Syaikh al-‘Utsaimîn. Cet. I, Tahun. 1423H/2003M. Dâr ats-Tsurayyâ,. Riyadh, hlm. 102
[7]. Sebagaimana disebutkan dalam HR. al-Bukhâri no. 1347
[8]. Lihat ta’liq (komentar) Syaikh al-‘Utsaimîn terhadap kitab al-Qawâ’id wal Ushûl al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Cet. I, Tahun. 2002 M. Maktabah as-Sunnah, Kairo, hlm. 130
[9]. Yaitu barang-barang atau perkara-perkara yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat, tanaman, atau selainnya, sebagaimana dijelaskan pada kaidah sebelumnya.
[10]. Lihat contoh-contoh lain dari penerapan pengundian yang tidak diperbolehkan dan masuk dalam kategori perjudian dalam kitab Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh al-‘Utsaimîn. Cetakan Pertama. Tahun 1426 H. Dar Ibi al-Jauzi. Dammam, hlm. 317-318.
[11]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûl al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, tahqiq Syaikh DR. Khâlid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Cet. II, Tahun. 1422H/2001M, Dârul Wathan, Riyâdh, hlm. 76-77 dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.