mascipoldotcom – Minggu, 27 Maret 2022 (23 Sya’ban 1443 H)
Jakarta – Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran menyebut kita hendaknya menyambut bulan suci Ramadhan dengan sukacita. Pasalnya, Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah
Pernyataan tersebut disampaikan saat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1443 di Ponpes Ummul Qura, Pondok Cabe Raya, Tangerang Selatan, Minggu (27/2/2022).
“Kami segenap jajaran Polda Metro Jaya berkomitmen untuk menciptakan rasa aman dan nyaman agar seluruh umat Islam dapat menunaikan ibadah puasa Ramadhan,” ungkap Irjen Pol Fadil dalam sambutannya.
Irjen Pol Fadil mengatakan, Ramadhan hendaknya diisi dengan kegiatan yang bermanfaat seperti ibadah puasa dan tarawih.
Jangan sampai di bulan suci ini diisi dengan nongkrong-nongkrong, apalagi SOTR yang ujung-ujungnya ribut dan tawuran.
“Di ibu kota banyak ditemukan anak masih kecil sudah diberikan sepeda motor. Sehingga memicu tawuran yang akan merugikan diri sendiri dan mungkin orang lain,” tutur Irjen Pol Fadil.
Pada kesempatan yang sama, Irjen Pol Fadil juga mengajak semua santri yang hadir untuk melaksanakan vaksinasi pertama hingga booster. Hal ini untuk mendukung program pemerintah.
“Lebaran tahun ini kita sudah diijinkan untuk mudik, tapi dengan syarat sudah dilakukan vaksin hingga tiga kali atau sudah di booster, Yang belum divaksin Insya Allah pada Rabu besok akan di laksanakan di tempat ini,” tukas Irjen Pol Fadil. (Muhairo)
_________
Renungan
BULAN RAMADHAN ANUGRAH TERAGUNG
Oleh Syaikh Abdurrazaq bin Abdil Muhsin Al-Badr
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan kepada para hamba-Nya nikmat yang sangat banyak dan tidak terhitung. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, kamu tidak akan dapat menghitungnya [Ibrahim/14:34]
Nikmat-nikmat itu ada yang bersifat mutlak dan ada pula yang bersifat muqayyad (terikat); ada yang bersifat keagamaan dan ada pula yang bersifat keduniaan. Allâh Azza wa Jalla menunjukkan para hamba-Nya kepada kenikmatan- kenikmatan tersebut lalu Allâh Azza wa Jalla juga membimbing mereka untuk meraih kenikmatan tersebut. Allâh Azza wa Jalla juga menyeru para hamba untuk masuk ke dalam dâris salâm (surga). Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَىٰ دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allâh menyeru (manusia) ke dârus salâm (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). [Yûnus/10:25]
Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan kesehatan akal dan fisik kepada mereka, memberikan rezeki yang halal, menundukkan untuk mereka apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Semua anugerah ini berasal Allâh Azza wa Jalla diberikan kepada para hamba-Nya agar mereka bersyukur kepada-Nya, beribadah hanya kepadanya serta tidak menyekutukannya. Dengan melakukan itu semua, mereka akan meraih ridha Allâh Azza wa Jalla dan bisa selamat dari siksa-Nya.
Salah satu contoh nikmat agung yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya yang beriman yaitu disyari’atkannya buat mereka puasa pada bulan yang penuh berkah yaitu Ramadhan.
Allâh Azza wa Jalla menjadikan puasa ini sebagai salah satu rukun agama Islam. Oleh karena puasa itu merupakan nikmat agung yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada hamba-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla menutup ayat yang mengandung perintah untuk puasa pada bulan ramadhan dengan firman-Nya:
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Supaya kamu bersyukur [al-Baqarah/2:185]
Karena bersyukur merupakan tujuan dari penciptaan makhluk dan pemberian beragam kenikmatan.
Hakikat syukur adalah mengakui nikmat tersebut datang dari Allâh Azza wa Jalla dibarengi dengan ketundukan kepada-Nya, merendahkan diri dan mencintai-Nya.
Barangsiapa tidak mengetahui suatu nikmat maka dia tidak bisa bersyukur.
Barangsiapa mengetahui sebuah kenikmatan akan tetapi dia tidak mengetahui Pemberinya maka dia juga tidak akan bisa mensyukurinya.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui Pemberinya namun dia mengingkari kenikmatan tersebut maka itu artinya dia telah kufur terhadap nikmat tersebut.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui Pemberinya dan dia juga mengakui kenikmatan tersebut, hanya saja dia tidak tunduk kepada-Nya, tidak mematuhi-Nya, dan tidak mencintai Pemberinya serta tidak ridha dengan-Nya, maka dia belum dianggap bersyukur.
Barangsiapa mengetahui kenikmatan dan mengetahui pemberinya lalu dia tunduk kepada-Nya, mencintai Permberi nikmat, ridha terhadap-Nya serta menggunakan nikmat tersebut dalam hal-hal yang dicintai-Nya dan dalam rangka menaati-Nya, maka dialah orang yang dikatakan bisa bersyukur terhadap sebuah kenikmatan[1].
Dari penjelasan ini, tampak jelas bahwa syukur itu terbangun di atas lima kaidah :
Ketundukan orang yang bersyukur kepada Allâh
Mencintai-Nya
Mengakui nikmat yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya
Memuji-Nya karena Dia telah memberikan nikmat kepadanya
Menggunakan nikmat tersebut dalam rangka mentaati-Nya,
Lima hal ini merupakan pondasi syukur. Ketika salah satu dari lima pondasi ini hilang atau tidak ada, maka rasa syukur tersebut tidak dianggap atau nilainya berkurang. Dan semua orang yang berbicara tentang syukur serta pengertiannya, maka perkataannya tidak akan pernah keluar dari lima hal di atas[2].
Dalam upaya merealisasikan rasa syukur ini, manusia atau para hamba Allâh Azza wa Jalla terbagi menjadi berbagai tingkatan tergantung sejauh mana mereka mengenal Pencipta yang Mahaagung, Pemberi nikmat yang Mahamulia.
Diantara mereka ada yang memahami nama dan sifat Allâh Azza wa Jalla secara terperinci, memahami betapa agung ciptaan-Nya dan perbutatan-NYa, mengetahui betapa indah ciptaan Allâh.
Orang seperti ini hatinya akan penuh dengan kecintaan kepada Allâh, lisannya akan dipenuhi dengan pujian, anggota badannya akan selalu melakukan hal-hal yang diridhai oleh Allâh.
Dia mengakui semua nikmat yang diberikan kepadanya, dan mempergunakannya pada hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Azza wa Jalla. Diantara manusia juga ada yang tenggelam dalam kelalaian dan kejahilan tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang seperti ini akan semakin jauh dari Allâh Azza wa Jalla dengan sebab pengingkaran yang dia lakukan terhadap nikmat Allâh, atau dia tidak mengingkarinya akan tetapi dia tidak mau tunduk dan patuh terhadap perintah dan syari’at Allâh Azza wa Jalla .
Bulan Ramadhan yang penuh berkah merupakan anugrah ilahi kepada seluruh hamba, agar mereka yang beriman bertambah keimanan mereka, sementara orang-orang yang melampui batas (yang melakukan berbagai pelanggaran-red) serta yang meremehkan syari’ah bisa bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla mengistimewakan bulan ini dengan berbagai kekhususan dan keistimewaan yang tidak ada pada bulan yang lainnya.
Berikut akan disebutkan beberapa keistimewaan bulan ini dengan harapan agar kita bisa bisa memahami betapa agung nikmat bulan Ramadhan ini supaya kita semakin tergerak untuk bersyukur dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya.
a.Bulan Ramadhan teristimewa dengan al-Qur’ân, karena pada bulan ini al-Qur’ân diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) [al-Baqarah/2:185]
Dalam ayat tersebut, Allâh Azza wa Jalla menyanjung bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya, dengan memilihnya sebagai waktu diturunkannya al-Qur’an, bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa bulan Ramadhân merupakan waktu diturunkan seluruk kitab-kitab Allâh Azza wa Jalla kepada para nabi. Dalam Musnad karya Imam Ahmad dan Mu’jamul Kabîr karya Imam Thabrani dari shahabat Wâtsilah bin ‘Asqa’, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنْزِلَتِ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Shuhuf Nabi Ibrâhim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, dan Taurat pada hari keenam bulan Ramadhan, sedangkan Injil pada hari ketiga belas dari bulan Ramadhan, sedangkan al-Qur’ân diturunkan pada hari kedua puluh empat dari bulan Ramadhan[3].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kitab-kitab samawiyah diturunkan kepada para rasul di bulan Ramadhan, hanya saja kitab-kitab itu diturunkan sekaligus (tidak bertahap), sementara al-Qur’ân karena kemulian dan keagungan yang dimilikinya, dia diturunkan sekaligus ke Baitil Izzah di langit dunia (pertama) dan itu terjadi saat lailatul qadar pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ân) pada malam kemuliaan [al-Qadr/97:1]
Dan firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.[ad-Dukhân/44:3]
Kemudian setelah itu, diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara bertahap. Ini menunjukkan keistimewaan bulan Ramadhan. Dan bulan ini menjadi istimewa dengan sebab al-Qur’ân, yang mana pada bulan ini ummat manusia mendapakan keutamaan yang besar dari Allâh, yaitu turunnya wahyu Allâh Azza wa Jalla yang membawa hidayah bagi ummat manusia, bagi kebaikan mereka di dunia maupun di akhirat. al-Qur’an juga merupakan pembeda antara petunjuk dan kesesatan, pembeda antara haq dan bathil, antara cahaya dan kegelapan.
b. Bulan Ramadhan menjadi istimewa karena padanya ada Lailatul Qadar yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah lailatul qadar (malam kemuliaan) itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.[al-Qadr/97:2-3]
Maksudnya adalah amalan yang dilakukan pada saat lailatul qadr lebih baik daripada amalan yang dilakukan pada seribu bulan selain bulan Ramadhan.
c. Bulan Ramadhan menjadi istimewa juga karena ada ibadah puasa.
Puasa pada bulan ini bisa menjadi sebab terhapusnya dosa. Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni[4]
Yang dimaksud dengan penuh keimanan adalah keimanan yang penuh kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengharapkan pahala dan ganjaran dari-Nya, tidak benci terhadap kewajiban puasa serta tidak ragu terhadap pahala yang akan didapatkannya.
Orang seperti ini, akan diampuni semua dosa yang telah lalu oleh Allâh Azza wa Jalla. Disebutkan dalam Shahîh Muslim dari shahabat Abi Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّراتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ
Shalat lima waktu, antara Jumat yang satu dengan yang lainnya, dan antara Ramadhan yang satu dengan yang lainnya, dosa diantara semua itu akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla , jika dosa-dosa besar telah dijauhi.[5]
Pada bulan ini juga para syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dan Allâh Azza wa Jalla pada setiap malam dari bulan Ramadhan membebaskan banyak orang dari api neraka.
d. Pada bulan ini juga Allâh Azza wa Jalla memenangkan kaum Muslimin atas musuh-musuh mereka diperang Badr, padahal jumlah musuh pada saat itu tiga kali lipat dari jumlah kaum Muslimin.
Pada bulan ini juga, Allâh Azza wa Jalla menaklukkan kota Mekah melalui tangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mensucikan kota Mekah dari kotoran berhala, dan ada tiga ratus enam puluh patung yang berada di Ka’bah dan sekitarnya. Rasulullah menghancurkan patung-patung tersebut seraya membaca:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. [al-Isrâ’/17:81]
(Dengan ini semua), maka bulan Ramadhan merupakan bulan untuk bersungguh-sungguh dan bulan untuk beramal, bulan ibadah serta jihad di jalan Allâh.
Dengan keutamaan yang dimiliki oleh bulan ini serta berbagai anugrah yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba-Nya yang beriman pada bulan ini, maka sudah selayaknya para hamba mengagungkan bulan ini dan menjadikan bulan ini sebagai momen untuk beribadah serta menambah bekal akhirat.
Ya Allah Azza wa Jalla jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mengerti kedudukan dan kehormatan bulan Ramadhan ini! Berikanlah taufiq kepada kami untuk melakukan amalan-amalan yang mendatang ridha-Mu! Sesungguhnya Engkau maha Mendengar doa
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.]
_______
Footnote
[1] Tharîqul Hijratain, Ibnul Qayyim, hlm. 172
[2] Madârijus Sâlikin, Ibnul Qayyim, 2/244
[3] Musnad Imam Ahmad, 4/107, no. 16921; at-Thabrani, no. 17646. lafazh ini milik Imam Ahmad
[4] Muttafaq ‘alaih; Imam al-Bukhâri, no. 2014 dan Imam Muslim, no. 760
[5] HR. Imam Muslim, no. 233