IMG 20220321 WA0021

Kapolri Pastikan Jajaran Kepolisian Awasi Distribusi dan Harga Penjualan Minyak Goreng

mascipoldotcom – Ahad, 20 Maret 2022 (16 Sya’ban 1443 H)

Jakarta – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali melanjutkan rangkaian kunjungan kerja untuk memastikan ketersediaan minyak goreng curah dan kemasan serta harga penjualannya kepada masyarakat sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Setelah mengecek di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kapolri kali ini meninjau pihak produsen di PT. Asianagro Agungjaya, Cilincing, Jakarta Utara. Dalam tinjauannya kali ini, Kapolri mengecek bersama dengan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.

“Hari ini, kita mengecek langsung ke PT. Asianagro Agungjaya, mereka sampaikan hari ini mengeluarkan 800 ton per hari. Jadi kita ingin pastikan bahwa secara bertahap prosesnya. Kita melihat hari ini harga dengan harga eceran tertinggi yang ditentukan Pemerintah sudah berada di pasar. Dan tentunya secara bertahap diharapkan seluruh kebutuhan pasar tradisional, kebutuhan masyarakat terkait dengan minyak curah betul-betul tersedia,” kata Sigit dalam tinjauannya.

Sigit menegaskan bahwa, Polri melalui Satuan Tugas (Satgas) Pangan di tingkat pusat maupun daerah akan membantu dalam hal pengawalan, pengawasan dan proses pendistribusiannya ke pasaran.

Sigit menjelaskan, komitmen tersebut untuk memastikan minyak goreng tersalurkan dengan baik ke pasaran dengan dijual sesuai harga eceran tertinggi. Dengan begitu, kebutuhan masyarakat akan minyak goreng dapat terpenuhi dan diharapkan tidak perlu terjadi lagi antrean untuk mendapatkan barang tersebut.

“Saya minta Bhabinkamtibmas untuk melaksanakan pengecekan ke semua pasar tradisional. Sehingga bisa melaporkan pasar mana yang barangnya masih kosong dan mungkin yang harganya tidak sesuai untuk dilaporkan ke Satgas. Sehingga kita bisa koordinasi dengan rekan-rekan produsen dan distributor juga Kementerian terkait untuk memastikan semua sesuai aturan,” ujar Sigit.

Lebih dalam, Sigit menegaskan kepada seluruh pihak untuk disiplin terkait dengan proses rantai suplai minyak goreng untuk masyarakat. Ia tidak akan ragu atau segan untuk menindak tegas kepada seluruh pihak yang melanggar aturan.

“Saya ingatkan, jangan ada yang lakukan penyimpangan, apalagi yang harusnya masuk ke jalur konsumen dibelokkan ke industri, pasti kita kejar,” ucap Sigit.

Lebih dalam, Sigit mengimbau kepada masyarakat tidak perlu khawatir lantaran Pemerintah bersama dengan seluruh stakeholder terkait saat ini terus bekerja keras untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga penjualan yang telah diatur.

“Sekali lagi saya mengimbau rekan-rekan produsen, rekan-rekan distributor yang sudah terdaftar dan membuat pakta integritas untuk segera salurkan barang, salurkan minyak. Sehingga keberadaan minyak di pasar secara cepat bisa terisi,” tutup Sigit. (Leodepari)

_____________

Renungan

AL-KHIYAR, HAK PILIH DALAM TRANSAKSI

Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

Khiyar  Ghabn (Manipulasi Harga Barang)

Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi yaitu kehidupan pasar dewasa ini yang penuh dengan berbagai slogan yang intinya mengambil untung sebanyak-banyaknya walau dengan sumpah palsu. Untuk merealisasikan tujuan ini, segala cara ditempuh supaya bisa membeli dengan harga terendah lalu menjualnya dengan harga selangit, tanpa peduli apakah prilakunya itu menzhalimi orang lain atau tidak.

Islam sebagai agama yang datang untuk menebar rahmat melarang semua bentuk tindakan yang akan merugikan orang lain tanpa didukung alasan yang dibenarkan syari’at. Termasuk diantara yang dilarang adalah prilaku para pelaku bisnis diatas. Bila sudah terlanjur terjadi, maka khiyâr al-ghabn bisa dijadikan solusi untuk menghindari kerugian lebih besar.

Definisi Khiyâr Ghabn

Kata al-ghabn diambil dari bahasa Arab dari kata (غَبَنَ – يَغْبِنُ – غَبْنًا). Secara etimologi, al-ghabn memiliki makna yang sama dengan an-naqs yaitu pengurangan, al-ghalab (mengalahkan) dan al-khidâ’ (menipu).[1]

Sementara dalam terminologi ilmu fikih, al-ghabn artinya adalah kekurangan pada salah satu alat pembayaran (akibat manipulasi). Dengan demikian al-Ghabn dapat didefiniskan sebagai kekurangan pada harga saat menjual dan membeli (akibat manipulasi). Kekurangan ini bisa dialami pihak pembeli dan penjual :

Bila dialami pihak pembeli, maka kekurangan harga ini maksudnya harga yang dibayar tidak setara atau tidak sesuai dengan nilai barang yang diterima. Dengan kata lain, harganya terlalu tinggi menurut pakar dibidang tersebut.

Bila ditinjau dari pihak penjual, maka maksudnya harga yang diterima tidak sebanding dengan nilai barangnya yang sebenarnya.[2]

Dari sini dapat diketahui bahwa al-maghbûn (pihak yang terkena manipulasi ini harga ini) bisa pembeli atau bisa juga penjual.

Pelaku manipulasi harga ini bila ia seorang pedagang, berarti ia menjual barang dengan harga lebih tinggi dari harga sebenarnya. Sebaliknya, bila pedagang yang menjadi korban, berarti ia menjual barangnya dengan harga jauh lebih rendah dari harga yang sebenarnya akibat ulah pembeli atau orang ketiga.

Dasar Pensyariatannya

Pensyariatan khiyâr al-ghabn ini masih diperselisihkan oleh para Ulamâ serta tidak ada satu dalil syar’i pun yang shahih dan tegas dalam hal ini. Namun yang râjih –menurut pendapat kami- adalah khiyâr ini berlaku, dengan dasar :

Secara umum, seorang pembeli apabila hendak membeli –khususnya barang-barang yang bernilai tinggi- tidak akan sepakat dengan penjual kecuali jika dia merasa bahwa uang yang akan dibayarkankan sesuai dengan nilai barang yang dibeli.

Apabila ia merasa tidak sebanding, maka ia tidak akan melakukan transaksi. Komitmen ini walaupun tidak terucap dan tidak dijelaskan dalam transaksi namun ia termasuk komintmen yang terbaca dari banyak indikasi. Bukti kongkritnya adalah ada upaya tawar menawar dan bertanya kepada beberapa tempat yang menjual barang tersebut.

Kaedah dalam agama yang melarang segala yang merugikan orang lain seperti dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak  boleh ada kerugian dan merugikan.[3]

Larangan dalam hadits ini bersifat umum. Artinya larangan terhadap semua yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi diri sendiri atau orang lain, termasuk larangan memanipulasi harga. jual beli yang mengandung unsur manipulasi (pemalsuan) harga apabila disahkan tanpa ada khiyâr (hak pilih) untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi merupakan madharat (kerugian) dan merugikan orang lain.

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ تَلَقِّي الْجَلَبِ فَإِنْ تَلَقَّاهُ مُتَلَقٍّ مُشْتَرٍ فَاشْتَرَاهُ فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ بِالْخِيَارِ إِذَا وَرَدَتْ السُّوقَ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (umatnya) mencegat orang yang membawa barang dagangan (dari luar kota, seperti makelar). Apabila yang melakukan pencegatan itu sekaligus pembeli, lalu  ia membeli barang (yang dibawa oleh orang yang dicegat) itu, maka pemilik barang (penjual) memiliki hak pilih (al-khiyâr) apabila sampai pasar. [4]

Wallâhu a’lam

Apakah Semua Manipulasi Menimbulkan al-Khiyâr?

Ulamâ ahli Fikih membagi perbuatan memanipulasi harga barang (al-ghabn) itu dalam dua macam yaitu manipulasi yang berat (al-ghabnul fâhisy) dan manipulasi yang ringan (al-ghabnul yasîr).

Manipulasi ringan yakni manipulasi pada harga barang yang tidak terlalu jauh dari harga pasar, masih pada batas kewajaran. Harga pasar maksudnya harga yang diperkirakan oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang perniagaan.

Kegiatan pasar hampir tidak bisa lepas dari manipulasi ringan seperti ini. Dalam semua jenis transaksi, manipulasi harga barang semacam ini dapat dimaklumi, tidak ada pengaruh apa-apa.

Manipulasi berat yakni manipulasi harga yang terlalu jauh dari harga pasar, diluar batas kewajaran, sehingga dianggap sebagai sebuah penipuan.

Barometer untuk menilai sebuah manipulasi itu termasuk berat atau ringan adalah kebiasaan. Karena tidak ada penjelasan dalam nash-nash syari’at dan tidak juga dalam pengertian bahasa Arab tentang batasan paten dalam persoalan ini.

Dari definisi khiyâr ghabn yang dibawakan para Ulama fikih diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tidak semua al-ghabn (manipulasi) menyebabkan khiyâr (hak pilih antara melanjutkan atau membatalkan transaksi) bagi yang merasa tertipu.

Hanya manipulasi berat saja yang berkonsekuensi munculnya khiyâr. Dan yang dijadikan sandaran dalam menentukan berat atau ringannya adalah kebiasaan para pedagang yang ahli [5]

Karena mereka ini juga menjadi standar dalam menentukan aib dan perkara lainnya yang menuntut keahlian dalam hal ini.[6]

Oleh karena yang menjadi barometer adalah kebiasaan para pedagang, maka tentu kadar dan ukuran al-ghabn al-fâhisy (manipulasi berat) berbeda-beda tergantung masyarakat, tempat dan zamannya.

Prof. DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân – hafizhahullâh – mengatakan, “Apabila al-Ghabn (manipulasi harga) itu ringan dan sudah biasa terjadi di tengah masyarakat maka tidak ada khiyâr.[7]

Syarat-Syaratnya

Hak pilih (khiyâr al-ghabn) ini dapat diterapkan apabila memenuhi dua syarat :

Korban penipuan memang tidak mengetahui adanya manipulasi harga pada saat transaksi. Apabila ia sudah tahu saat transaksi namun tetap bersikukuh meneruskan transaksinya maka hak pilih ini hilang.
Manipulasinya berat (al-ghabn al-fâhisy).

Hal-Hal yang Menggugurkan Khiyâr al-Ghabn[8]

Khiyâr al-ghabn ini dapat gugur apabila ada hal-hal berikut :

Barang hancur, telah dikonsumsi, berubah atau hilang. Apabila demikian keadaannya maka gugurlah khiyâr al-ghabn.

Diam, tidak mengambil tindakan apapun serta tetap beraktifitas dengan barang tersebut setelah mengetahui adanya al-ghabn.

Korban yang memiliki hak pilih ini meninggal.

Bentuk-Bentuk Jual Beli Yang Dikenakan Khiyâr Al-Ghabn.
Diantara bentuk jual beli yang dikenakan Khiyâr ini adalah :

Talaqqi rukbân (mencegat penjual). ar-Rukbân adalah orang yang datang membawa barang dagangan dari luar kota. Apabila orang ini dihadang dan barang bawaannya dibeli sebelum sampai ke kota maka inilah yang dinamakan talaqqi rukbân.

Praktek bisnis seperti ini dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan khiyâr kepada penjual yang dari datang dari luar kota ini apabila terjadi penipuan (manipulasi) harga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا تَلَقَّوْا الْجَلَبَ فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ

Janganlah kalian mencegat orang yang datang membawa barang dagangan dari luar kota (al-Jalab). Barangsiapa yangmenghadangnya lalu membeli barangnya, maka bila pemilik barang tersebut sampai di pasar maka ia memiliki hak khiyâr.[9]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang para pelaku bisnis menghadang penjual barang diluar pasar, tempat transaksi biasa berlangsung. Bila ini terjadi, si pedagang memiliki hak khiyâr antara meneruskan transaksi atau menggagalkannya, bila ia sampai ke pasar dan mengetahui harga sebenarnya dari barang yang dibawa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa pedagang yang membawa barang dari luar kota (ar-rukbân) memiliki khiyâr apabila dibeli sebelum masuk ke pasar. Karena bisnis seperti ini mengandung semacam tadlîs (nutupi-nutupi) dan ghisy (pembohongan). [10]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, karena mengandung unsur penipuan terhadap  penjual disebabkan ketidaktahuannya terhadap harga sebenarnya. Sehingga pembeli bisa membeli barangnya dengan harga lebih murah dari harga sebenarnya.

Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan khiyâr untuknya apabila telah masuk pasar.  Para Ulama tidak berselisih pendapat dalam menetapkan hak khiyâr untuk sang penjual apabila transaksi itu mengandung unsur  al-ghabn (penipuan harga).

Karena seorang pedagang yang datang dari luar kota jika tidak tahu harga sebenarnya maka itu berarti dia tidak tahu harga standar sehingga pembeli leluasa membohonginya. Demikian juga penjual apabila ia menjual sesuatu kepada para pendatang ini, lalu ketika mereka sampai ke pasar dan tahu bahwa mereka telah ditipu maka mereka memiliki Khiyâr, jika tipuan ini berat.[11]

Manipulasi harga yang disebabkan an-Nâjisy. an-Nâjisy adalah orang yang meninggikan harga barang padahal ia tidak berniat membelinya, tujuannya hanya untuk menipu. Ia hanya ingin meninggikan harga barang sehingga orang yang menginginkan barang tersebut harus merogok saku lebih dalam alias dengan harga mahal. Praktek an-nâjisy ini dilarang dalam Islam sebagaimana dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

لاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ يَبِعِ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ

Janganlah saling berbuat an-nâjsy dan janganlah seorang menjual sesuatu atas jualan saudaranya.[12]

Biasanya antara penjual dan an Nâjisy sudah ada ikatan perjanjian atau bahkan satu komplotan. Pada saat temannya berjualan dia pura-pura datang sebagai pembeli lalu memuji kwalitas barang dagangan temannya serta menawarnya dengan harga tinggi atau berbohong dengan mengatakan, “Saya kemarin membeli barang seperti ini dengan harga sekian.”

Ini memberikan image bahwa barang itu memang mahal. Padahal itu hanya sandiwara yang sudah diatur. Jika ada orang yang tertipu lalu membeli barang tersebut dengan harga tinggi, maka dia memiliki hak khiyâr untuk melanjutkan transaksi tersebut atau membatalkannya, ketika dia mengetahui harga sebenarnya.

Contoh lain, pernyataan dusta penjual yang mengatakan, “Saya beli barang ini dengan harga sekian.”, padahal dia membelinya dengan harga lebih murah. Dia mengatakan untuk menipu.  Ini juga termasuk praktek najsy yang diharamkan.

Bai’ul Mustarsil. al-Mustarsil adalah seorang yang tidak mengetahui harga dan tidak bisa tawar menawar barang. Jadi bai’ul mustarsi adalah traksaksi jual beli yang dilakukan oleh orang tidak tahu harga suatu barang dan tidak bisa tawar menawar. Dia hanya bersandar pada kejujuran penjual. Jika orang seperti ini tertipu, misalnya membeli dengan harga sangat mahal, maka dia memiliki hak khiyâr. [13]

Syaikh Shâlih bin Fauzân al Fauzân –Hafizhahullâhu Ta’âlâ– membawakan contoh praktek kontemporer dalam masalah al-ghabn ini. Beliau mengatakan, “Diantara praktek haram yang terjadi di sebagian pasar kaum Muslimin adalah ketika ada pendatang yang membawa barang dagangannya ke pasar lalu para pedagang pasar sepakat untuk tidak menawar atau membelinya.

Mereka menyuruh salah seorang dari mereka untuk menawarnya (dengan harga rendah). Apabila pendatang ini tidak mendapati seorangpun yang menawar dengan harga yang lebih tinggi darinya maka ia terpaksa menjualnya dengan harga sangat rendah.

Kemudian setelah itu, para pedagang di pasar tersebut membagi barang-barang ini.  Ini merupakan sebentuk praktek al-ghabn dan kezhaliman yang diharamkan. Jika kemudian pemilik barang mengetahui tipu muslihat ini, maka dia memiliki hak khiyâr dan berhak menarik kembali barangnya.

Bagi orang yang melakukan penipuan seperti ini, dia wajib segera untuk meninggalkannya dan bertaubat. Sedangkan bagi pihak yang mengetahuinya, wajib mengingkarinya dan melaporkannya kepada pihak berwajib (otoritas) untuk mencegah mereka dari hal tersebut.”[14]

Khiyar TadlisS (Kamuflase Barang)

Tidak dipungkiri lagi semua orang ingin menjual barangnya dengan harga tinggi. Sehingga terkadang ini mendorong mereka melakukan perbuatan tercela, seperti berbohong, menutupi kekurangan barangnya serta memolesnya supaya kelihatan lebih bagus dan menarik. Upaya-upaya ini terkadang menyeret pedagang berbuat tadlîs yang dilarang Islam karena mengandung unsur dusta (al-ghisy) dan membohongi orang lain (at-taghrîr).

Definisi Khiyâr Tadlîs

Kata tadlîs berasal dari bahasa Arab dari kata (الدَّلْسَة) yang berarti gelap; seakan penjual mengantar pembeli kedalam kegelapan dengan sebab tadlîsnya sehingga ia tidak sempurna melihat keadaan barang tersebut. Jadi, tadlîs adalah upaya menampakkan barang dalam bentuk yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Contohnya seorang yang menjual sapi perah untuk diambil susunya. Penjual ini sengaja tidak memerahnya dalam waktu tertentu agar pembeli menyangka sapi tersebut memiliki air susu yang banyak dan menyangka sapi ini memang senantiasa banyak susunya. Setelah sapi itu berpindah kepemilikan ke tangan pembeli, baru tampak aslinya yang tidak sesuai dengan yang diduga.

Bentuk Pemalsuan.

Bentuk pemalsuan pada barang sangat banyak sekali, khususnya di zaman ini. Syaikh Abdullâh bin Abdirrahmân aliBasâm rahimahullah menyatakan, “Amat disayangkan, mayoritas transaksi yang dilakukan masyarakat di zaman sekarang berlangsung diatas asas ini (yaitu penipuan dan pemalsuan (red)). Mereka menganggapnya sebagai satu hal yang biasa dan tidak merasa takut dengan akibat negatif perbuatan mereka. Ini menjadi sebab tertahannya hujan dan terjadinya kekeringan serta menghilangkan barakah.[15]

Bila dilihat dari pandangan jenis tadlîs (pemalsuan) ini tidak lepas dari dua hal :

Menutupi aib atau kekurangan yang ada pada barang
Memperindah dan memoles barang tersebut dengan sesuatu yang dapat mendongkrak harga. [16]

Dasar Pensyariatan Khiyâr Tadlîs

Pembeli yang tertipu dengan tadlîs seperti diatas memiliki hak khiyâr untuk menggagalkan atau ridha dengan yang ada. Hal ini didasarkan kepada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang  berbunyi :

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :لاَ تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melakukan at-tashriyah (menahan air susu tanpa diperas) pada onta dan kambing. Siapa yang membelinya (sapi atau kambing dalam keadaan sudah ditahan susunya-red), maka ia boleh memilih satu diantara dua (melanjutkan transaksi atau menggagalkannya) setelah memeras susunya; apabila ia ingin maka ia menahannya (artinya melanjutkan transaksinya-red) dan bila ingin, ia boleh juga mengembalikannya dengan tambahan satu sha’ kurma.[17]

Dalam hadits yang mulia ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang at-tashriyah yang mengandung unsur tadlîs dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan at-tashriyah sebagai sebab khiyâr. Ini menunjukkan syariat khiyâr bila ada tadlîs (pemalsuan) dalam suatu transaksi.

Demikianlah, tadlîs dalam jual beli diharamkan. Syariat membolehkan pembeli untuk mengembalikan barang dan meminta uangnya. Karena ia membeli barang berdasarkan sifat dan keadaan barang yang ditampilkan penjual dan seandainya mengetahui barang tersebut tidak sesuai dengan tampilan tersebut tentu ia tidak ingin membelinya.

Oleh karenanya wajib bagi seorang muslim untuk jujur dan menjelaskan hakekat barangnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Jual beli itu dengan khiyâr (hak pilih) selama belum berpisah atau hingga keduanya berpisah. Apabila keduanya jujur dan menjelaskan maka keduanya diberi barakah dalam jual beli mereka dan bila keduanya menyembunyikan aib dan berdusta maka barakah jual beli mereka dihapus [HR al-Bukhâri no. 1737]

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya agar berlaku jujur dalam jual beli dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kejujuran itu bisa mengundang barakah harta dan kedustaan menjadi sebab terhapusnya barakah harta.

Wabillahi taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 ]
_______
Footnote
[1] Mausû’atul Fiqhiyah, cetakan ke-4 tahun 2007/1428, cetakan  Wizâratul Auqâf  wa Asy-Syu`ûnil Islâmiyah al-Kuwaitiyah, 31/138 dan lihat asy-Syarhul Mumti’
[2] Lihat Mausû’atul Fiqhiyah, 20/148 dan al Fiqhul Muyassar, hlm. 72
[3] HR Ibnu Mâjah dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 896
[4] HR Abu Dâud no. 2980 dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâud.
[5] Lihat asy-Syarhul Mumti’  ;  al-Fiqhul  Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/149-150
[6] al-Fiqhul  Muyassar, hlm. 73
[7] al-Mulakhashul Fiqhi 2/23
[8] Diambil dari al-Fiqhul  Muyassar, hlm. 73 dan al-Mausû’atul Fiqhiyah, 20/150-151
[9] HR Muslim no. 3802
[10] Al-Mulakhash al-Fiqh 2/ 22-23
[11] Pernyataan beliau ini dinukil dari Hasyiyah ar-raudh al-Murbi` 4/434
[12] HR Muslim no. 3445.
[13] Lihat Hâsyiyah ar-Raudhil Murbi’ 4/438, al-Mulakhashul Fiqhi 2/25 dan al-Fiqhul Muyassarah, hlm. 73
[14] al-Mulakhashul Fiqhi 2/25
[15] Taudhîhul Ahkâm Syarhu  Bulughil Marâm, Syaikh Abdullâh bin Abdurrahmân alibasâm,  4/337
[16] al-Mulakhashul Fiqhi 2/26
[17] HR al-Bukhori no. 2148