mascipoldotcom – Rabu, 9 Maret 2022 (5 Sya’ban 1443 H)
Medan – Ketua Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI H. Ahmad Sahroni memberikan apresiasi secara khusus kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) dengan terobosannya melakukan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice).
Apresiasi itu disampaikan Ahmad Sahroni pada acara Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI ke Provinsi Sumut Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 yang digelar di Hotel JW Marriot Jalan Yos Sudarso, Medan, Selasa (8/3/2022).
Kajati Sumut Idianto, SH,MH dalam paparannya menyampaikan keberhasilan Kejati Sumut dalam penyelamatan, pengembalian dan pemulihan aset keuangan negara. Penyelamatan aset Pemprovsu (Intel) senilai Rp 152 juta, pengembalian keuangan negara Pemko Medan (Intel) Rp, 9.083.566.525. Walpam Rp. 210.620.599.683.
Kemudian, lanjut Idianto penyelamatan keuangan negara (Pidsus) Rp. 76.766.677.378, pemulihan keuangan negara (Datun) Rp. 359.647.283.540, penyelamatan keuangan negara (Datun) Rp.1.592.922.040.908. Sepanjang tahun 2021 telah mengamankan 18 orang DPO dan telah melaksanakan vaksin kepada 24.037 orang.
“Untuk penanganan perkara tindak pidana umum, perkara narkotika masih mendominasi, kemudian untuk pelaksanaan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif tahun 2021 ada 72 perkara dan sepanjang Januari-Februari 2022 sudah ada 25 perkara,” jelasnya.
Sementara untuk penanganan perkara bidang tindak pidana khusus, kata Idianto di tingkat penyelidikan ada 177 kegiatan, penyidikan 125 kegiatan, prapenuntutan/penuntutan 83 perkara dan eksekusi 42 perkara.
Pada kesempatan itu, mantan Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Jampidum Kejagung RI ini menyampaikan beberapa perkara yang menjadi perhatian masyarakat di wilayah hukum Kejati Sumut. Seperti, perkara narkotika di Tanjungbalai Asahan yang melibatkan 15 orang yang terdiri dari 11 anggota Polri, 1 TNI dan 3 sipil. Perkara pembunuhan berenana terhadap wartawan di Simalungun, tindak pidana menyimpan dan memelihara satwa dilindungi serta perkara vaksin kosong.
Setelah Kajati Sumut menyampaikan paparannya, beberapa Anggota DPR RI mengajukan pertanyaan terkait dengan beberapa hal yang berkaitan dengan upaya penegakan hukum di wilayah kerja Kejati Sumut.
Anggota DPR RI Mulfachri Harahap dari Fraksi PAN menyampaikan agar Kejati Sumut benar-benar dalam memberantas mafia tanah. Karena, permasalahan tanah di Sumut sangat kompleks terutama yang berkaitan dengan tanah-tanah eks HGU Perkebunan.
Pertanyaan dari anggota dewan lainnya juga disampaikan seperti dari Taufik Basari yang menyoroti beban kerja yang tidak sebanding dengan anggaran yang ada. Terutama dalam upaya Kejaksaan melakukan pencegahan lewat penyuluhan hukum dan penangkapan DPO.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan menyampaikan agar satker yang ada saat ini benar-benar dimaksimalkan. Sama halnya dengan Hinca Pandjaitan dari Fraksi Demokrat yang menyarankan Kajati Sumut segera memetakan kinerja 100 hari ke depan.
“Secara khusus, saya juga menyampaikan apresiasi kepada Kejati Sumut yang telah berinovasi dalam melakukan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif. Usulan Kampung Restoratif Justice yang disampaikan ke Kejagung diharapkan akan menjadi role model dalam penegakan hukum yang berkeadilan,” tandas Hinca Pandjaitan.
Sementara Romo H. R. Muhammad Syafi’i dan Arteria Dahlan menyoroti penanganan perkara pidana umum yang ada saat ini didominasi tindak pidana narkotika. Dalam proses penegakan hukumnya tentunya arif dan bijaksana.
Selain dihadiri Kajati Sumut, acara reses dan kunker Komisi III DPR RI juga dihadiri para Asisten, para Kajari dan beberapa Kasi di Kejati Sumut.
Sementara dari Komisi III DPR RI dengan Ketua Tim H. Ahmad Sahroni, Anggota Trimedya Panjaitan, H. Arteria Dahlan, H. Kahar Muzakir. Romo H. R. Muhammad Syafi’i, Hj. Adde Rosi Khoerunnisa, Ir. Hj. Sari Yuliati, Habuburokhman, Muhammad Rahul, Eva Yuliana, Taufik Basari, Heru Widodo, N.M. Dipo Nusantara Pua Upa, Dr. Hinca I.P. Pandjaitan XIII, Dr. Didik Mukrianto, Habib Aboe Bakar Alhabsyi, H. M. Nasir Djamil, dan H. Mulfachri Harahap.
Di akhir kegiatan, Kajati Sumut Idianto memberikan cenderamata kepada Ketua Tim Ahmad Sahroni dan foto bersama.(Leodepari)
____________
Renungan
Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin
Hidup di dunia ini tidak akan lepas dari ikatan dengan pihak lain. Karena itu, bisakah seseorang terbebas dari kewajiban memenuhi hak pihak lain? Jawabannya tentu tidak bisa dan tidak akan pernah bisa, selama dia adalah makhluk berakal.
Bahkan, ternyata banyak sekali hak yang wajib dipenuhi oleh seseorang di dalam kehidupan dunianya ini. Misalnya, hak dan kewajiban suami–isteri, hak dan kewajiban orang tua–anak, hak dan kewajiban antar sesama saudara sekandung, seayah, seibu, sepersusuan, sepupu atau yang lainnya.
Hak dan kewajiban antar tetangga, hak dan kewajiban antara pemimpin dengan bawahan, hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan, hak dan kewajiban antara pedagang dengan pembeli, dan lain-lainnya. Di antara hak-hak itu adalah hak Allâh Azza wa Jalla , hak Rasul-Nya dan hak para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Maka alangkah indahnya jika fakta ini menjadi hal penting yang harus masuk secara sadar, benar dan proporsional dalam kurikulum pendidikan, formal maupun non formal, termasuk pendidikan anak semenjak usia dini.
Supaya pendidikan tentang hak dan kewajiban ini bisa berjalan dengan benar dan proporsional, tentu harus berpijak pada landasan al-Qurˈân dan Sunnah, termasuk dalam memilih skala prioritas, mana hak dan kewajiban paling besar yang harus didahulukan.
Sudah barang tentu hak terbesar yang wajib didahulukan atas hak-hak lainnya adalah hak Allâh Azza wa Jalla . Mengapa?. Karena Dia adalah Allâh Yang Maha Besar, Pencipta alam semesta, Pemilik dan Pengatur segala-galanya.
Dia adalah Raja Diraja, al-Hayyu al-Qayyûm, yang Maha Kekal Hidup-Nya dan Maha Tegak serta menegakkan segenap makhluk-Nya. Langit-langit dan Bumi menjadi tegak dengan kokohnya karena Dia. Dia-lah yang telah menjadikan segala sesuatu dan mentaqdirkannya berdasarkan hikmah-Nya yang luar biasa.
Dia adalah Allâh Azza wa Jalla yang telah menjadikan manusia dari tiada menjadi ada. Allâh Azza wa Jalla yang telah membimbing manusia dengan berbagai nikmat-Nya, semenjak manusia berada di dalam rahim ibunya.
Di saat tiada seorang makhlukpun yang mampu memberikan makanan apapun secara langsung kepada bakal calon manusia itu, tiada seorang makhluk pun bisa menumbuhkembangkannya.
Sesaat manusia lahir dari perut ibunya, Allâh Azza wa Jalla pulalah yang memancarkan air susu ibu bagi si bayi dikemudian hari, ketika manusia menjadi dewasa, Allâh Azza wa Jalla memberinya petunjuk : manakah yang harus ditempuh, apakah jalan kebaikan atau jalan keburukan; jalan keimanan atau jalan kekafiran.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Dan kami jelaskan kepadanya jalan kebenaran dan jalan kebatilan. [Al-Balad/90:10][1]
Allâh-lah yang menganugerahkan sepasang ibu bapa kepada seorang manusia. Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla senantiasa mensuplai segala kebutuhannya, menganugerahkan berbagai nikmat : akal, pemahaman dan lainnya.
Semula, ketika manusia terlahir dari perut ibunya, ia tidak mengerti apapun, kemudian Allâh Azza wa Jalla mengajarinya, memberikan perangkat-perangkat hingga manusia menjadi mengerti, memahami dan mengetahui banyak hal serta dapat memanfaatkannya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allâh telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui apapun, dan Allâh telah menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.[An-Nahl/16:78]
Bayangkan, andaikata Allâh Azza wa Jalla menghentikan seluruh nikmat-Nya ini sekejap saja, niscaya manusia akan binasa. Andaikata Allâh Azza wa Jalla menghalangi rahmat-Nya sesaat saja, niscaya kehidupan manusia akan sirna.[2]
Oleh sebab itulah hak Allâh Azza wa Jalla adalah hak terbesar yang wajib ditunaikan oleh manusia. Akan tetapi sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak meminta apapun dari manusia, tidak menginginkan rizki, makanan atau apapun dari manusia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat yang baik itu hanyalah teruntukkan bagi orang yang bertaqwa. [Thâhâ/20:132]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan apapun dari manusia kecuali satu hal saja, yang itupun maslahatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Yaitu bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanya menginginkan agar manusia menyembah Allâh saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menginginkan rizki sedikitpun dari mereka dan tidak pula Aku menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allâh Dialah Pemberi rizki Yang mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh.[Adz-Dzâriyât/51:56-58]
Itulah hak paling pokok yang wajib dipenuhi oleh manusia. Supaya manusia hanya menyembah Allâh saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya. Sangat mudah. Hak yang secara garis besar berbentuk akidah serta keimanan yang indah terhadap al-Khâliq al-Haq, Allâh Jalla Jalâluh, dan buahnya berupa amal shalih.
Akidah yang dibangun berdasarkan mahabbah (cinta) dan ta’zhîm (pengagungan) terhadap Allâh yang Maha Agung. Buahnya adalah ikhlas, dan teguh hati untuk menjalankan apa yang mesti dilakukan, misalnya shalat lima waktu, zakat, puasa di bulan Ramadhan dan Haji di Baitullâh.[3]Itu semuanya mudah. Allah menjelaskan, bahwa agama yang ditetapkan-Nya itu mudah,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
Dan Allâh tidak menjadikan kesulitan apapun untukmu dalam hal agama, yaitu agama bapakmu, Ibrâhîm. [Al-Hajj/22:78]
Mudah dalam hal akidah, karena seseorang hanya mempertanggungjawabkan keyakinan, keimanan dan perbuatannya kepada satu sesembahan saja, tidak kepada sesembahan yang banyak, yang pasti masing-masing mempunyai tuntutan, sehingga menimbulkan kesulitan bagi para penyembahnya.
Demikian pula, shalat sangat mudah dilakukan. Jika seseorang tidak mampu melaksanakannya dengan berdiri, ia boleh melakukannya dengan duduk, bahkan jika tidak mampu pula, ia boleh melakukannya dengan berbaring. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. رواهالبخاري وغيره
Shalatlah dengan berdiri, jika engkau tidak mampu, maka shalatlah dengan duduk, dan jika engkau tidak mampu juga, maka dengan berbaring. [HR. Al-Bukhâri dll][4]
Zakat juga hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki nishâb, dan nishâb ini berumur satu tahun, kecuali zakat panenan yang tidak menunggu satu tahun. Itupun hanya sebagian kecil dari seluruh harta yang dimilikinya dan hanya setiap tahun.
Begitu pula puasa di bulan Ramadhân. Bila seseorang sakit atau melakukan perjalanan, ia boleh tidak berpuasa, tetapi dengan mengganti puasa pada hari yang lain sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam suatu perjalanan, maka ia boleh tidak berpuasa dengan mengganti puasanya itu di hari-hari yang lain sebanyak puasa yang ditinggalkannya. Allâh menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan. [Al-Baqarah/2:185]
Ibadah hajipun diperuntukkan bagi orang yang mampu melaksanakannya.
Demikianlah hak paling besar yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Hak yang sebenarnya mudah ditunaikan karena tidak rumit. Namun untuk menunaikannya diperlukan kesadaran tinggi di samping taufiq Allâh Azza wa Jalla .
Maka alangkah tepatnya jika penanaman tentang pemenuhan hak yang amat besar ini, dilakukan semenjak dini, di saat manusia masih anak-anak, supaya ketika ia tumbuh dewasa, ia telah memahami sepenuhnya, hak apa yang wajib dia penuhi bagi Penciptanya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Itulah kewajiban ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla yang unsur pokoknya adalah iman dan amal shalih.
Wallâhu Waliyyu at-Taufîq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 ]
_______
Footnote
[1] Lihat tafsirnya antara lain, Tafsir as-Sa’di; Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. QS.Al-Balad/90:10.
[2] Ungkapan seperti ini antara lain dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kutaib-nya berjudul : Huqûq Da’at ilahâ al-fithrah wa qarrarathâ asy-Syarî’ah,Hak Yang Pertama, Hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala.
[3] Ibid.
[4] Shahîh al-Bukhâri (Fathu al-Bâri), II/587, no. 1117