mascipoldotcom – Selasa, 8 Pebruari 2022 (7 Rajab 1443 H)
Jakarta – AKP Novandi Arya Kharizma, S.Ik,. M.Si, Putra Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara), Drs. H. Zainal A Paliwang, SH, M.Hum,. meninggal dunia akibat kecelakaan di Wilayah Polsek Senen, Jakarta Pusat.
“Kita dapat informasi almarhum terlibat kecelakaan lalu lintas di Jakarta,” kata Kabid Humas Polda Kalimantan Timur Kombes Pol Yusuf Sutejo, Selasa (8/2/2022).
AKP Novandi Arya Kharizma, S.Ik,. M.Si, diketahui menjabat Kepala Satuan Polisi Air dan Udara (Polairud) Polres Berau Polda Kaltim.
Kombes Pol Yusuf mengatakan AKP Novandi berada di Jakarta dalam rangka mengikuti pendidikan kepolisian.
“Benar yang bersangkutan dalam rangka tugas pendidikan di Jakarta. Almarhum merupakan Kasat Polisi Air Polres Berau,” katanya.
AKP Novandi diduga mengemudikan mobil jenis sedan merek Toyota Camry bernomor polisi B-1102-NDY di Jalan Raya Pasar Senen atau tepatnya di seberang Terminal Bus Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kecelakaan itu terjadi pada Senin (7/2) sekitar pukul 00.30 WIB.
Terpisah, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Zulpan juga membenarkan bahwa Novandi adalah korban tewas dalam insiden sedan terbakar di Senen, Jakarta Pusat.
“Benar, AKP Novandi salah satu korban tewas. Nanti dirilis selengkapnya,” kata Kombrs Pol Zulpan.
Kabar duka meninggalnya AKP Novandi sebelumnya disampaikan Biro Adpim Pemprov Kaltara melalui akun Instagram @kaltaraprov.
“Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Jajaran Pemprov Kalimantan Utara mengucapkan duka cita atas berpulangnya AKP Novandi Arya Kharizma, S.I.K., M.Si, Putra Gubernur Kalimantan Utara, Drs. H. Zainal A Paliwang, S.H.,M.Hum di Jakarta,” demikian keterangan di postingan @kaltaraprov, Selasa (8/2/2022).
Pemprov Kaltara membuat postingan tersebut pada hari ini. Mereka menyampaikan doa terbaik untuk almarhum dan keluarga.
“Semoga amal dan ibadah almarhum diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Aamiin,” ucapnya.
_____________
Renungan
KEHORMATAN MUSLIM YANG TELAH MENINGGAL TETAP TERJAGA
Penguburan merupakan sunnatullah yang sudah berlaku sejak pertama kali adanya mayat di muka bumi ini. Allâh Azza wa Jalla menceritakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh salah putra Nabi Adam terhadap saudaranya lalu dia kebingungan. Akhirnya Allâh Azza wa Jalla mengirimkan burung gagak untuk mengajarinya cara menguburkan. Allâh berfirman.
عَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ
“Kemudian Allâh menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil, “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. [al-Mâ’idah/5:31]
Inilah maksud dari firman Allâh
ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, [‘Abasa/80:21]
Artinya Allâh Azza wa Jalla menjadikannya terkubur, tidak dicampakkan dipermukaan bumi menjadi mangsa burung dan binatang buas. Jadi kubur termasuk cara untuk memuliakan bani Adam. [Jami’ul Bayan, at-Thabari]
Ulama kaum Muslimin telah sepakat bahwa menguburkan jenazah itu hukumnya fardhu kifayah. Jika sudah dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, maka kewajiban itu gugur dari yang lainnya. Membawa, memikul dan memasukkan mayit ke dalam kuburan bukanlah sebuah kehinaan. Juga tidak menghilangkan wibawa.
Termasuk juga berlaku lembut saat memandikan, membawanya dan memasukkan mayit ke dalam kubur. Bahkan itu termasuk perbuatan yang bernilai pahala dan merupakan sebentuk pemuliaan terhadap mayit. Perbuatan ini telah dilakukan oleh para Shahabat, Tabi’în dan para ahli ilmu setelah mereka.
Jika mayat sudah diletakkan dalam kuburnya, maka ketika itu juga dia masih memiliki kehormatan yang harus dijaga. Kita tidak boleh menyakitinya dengan perkataan maupun perbuatan. Kita tidak diperbolehkan menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Kita juga dilarang membuang kotoran kita di atasnya. Islam juga melarang kita duduk-duduk di atasnya dan berjalan-jalan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَة أَوْ سَيْف , أَوْ أَخْصِف نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِي عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقَبْر – كَذَا قَالَ – كَذَا قَالَ – قَضَيْت حَاجَتِي , أَوْ وَسْطَ الطَّرِيق
Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di atas kuburan seorang Muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk). [HR Ibnu Majah, II/154 no. 1589; dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu. Al-Mundziri menilai sanad hadits ini jayyid (baik). Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini shahîh]
Kita juga dilarang melakukan pembongkaran terhadap sebuah kuburan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخْتَفِيَ وَالْمُخْتَفِيَةَ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang membongkar kuburan, baik yang laki maupun yang perempuan. [Imam Mâlik, 1/238 no. 44; asy-Syâfi’i dalam kitab al-Umm, 6/202; Baihaqi, 8/496 no. 17244, 17245, 17246]
Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata, “Laknat Rasûlullâh terhadap orang yang membongkar kuburan merupakan bukti haramnya membongkar kuburan, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat peminum khamr dan penjualnya; begitu pula laknat terhadap pemakan riba dan pemberinya”.
Dalam rangka memelihara kehormatan kuburan juga, para Ulama membolehkan kuburan dipagar. Namun perlu diingat, pagar yang dibangun itu tidak boleh terlalu tinggi sehingga orang yang kebetulah lewat didekatnya masih bisa melihat kuburan. Dengannya dia akan tetap bisa mengambil pelajaran dan bisa mengucapkan salam kepada penghuni kuburan.
Demikianlah kuburan dalam Islam memiliki kehormatan yang harus dijaga. Dalam menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidah orang yang masih hidup. Sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah yang masih hidup, bukan dengan sesuatu yang menodai kehormatan yang telah meninggal. Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. ]